Perjalanan Transgender Amar Al Fikar, dari Ning Menjadi Gus
Namanya Amar Al-Fikar, seorang priawan atau transgender man asal Kendal, Jawa Tengah. Laki-laki yang dahulunya perempuan itu, mulai banyak dikenal setelah membagikan kisah perjalanan dirinya di Twitter.
Amar Al Fikar terlahir dengan tanda biologis perempuan, 29 tahun lalu. Orang tuanya memanggilnya dengan nama Amalia. Ia dibesarkan di lingkungan pondok pesantren sebagai seorang Ning. Kedua orang tuanya mengelola pondok pesantren di Kendal, Jawa Tengah.
Amar kecil mengingat, ia sering kesulitan menempatkan ekspresi gender dan kondisi biologisnya sebagai perempuan. Saat kecil, penyuka sastra puisi ini mengaku tak tahu apa yang sebenarnya ia alami.
Merasa Berbeda
Ia sering menggunakan pakaian laki-laki. Bahkan, ketika duduk di bangku sekolah dasar, Amar sering tidur di kamar santri putra di pondok pesantren milik orang tuanya.
Seiring bertambahnya usia, ia semakin kesulitan menempatkan dirinya. Lingkungan melihatnya sebagai perempuan menjelang dewasa. Ia tak lagi bebas mengenakan baju yang ia sukai. Mental Amar semakin tertekan ketika menginjak bangku sekolah menengah pertama. Amar dipaksa mengenakan jilbab dan tidur di kamar santri putri. Merasa stres, Amar sering menyakiti dirinya sendiri.
“Saya nggak memahami apa yang saya rasa. Waktu saya disuruh tidur di kamar santri putri dan memakai jilbab, saya sering memecahkan kaca. Selain itu, melukai tangan tangan dengan silet, pokoknya destruktif sekali karen tertekan,” jelasnya.
Ia pun berupaya melupakan kegalauannya. Amar memilih tenggelam dalam kegiatan pengembangan siswa di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, krisis identitasnya pun seolah terkaburkan. Meski kebingungan tentang siapa dirinya tak pernah sirna. “Saya dari dulu merasa berbeda, apa dan siapa sebenarnya saya. Pas SMA terkaburkan rasanya, karena saya ikut banyak kegiatan. Tetapi rasanya (krisis identitas) nggak ilang-ilang,” ingatnya.
Bangku kuliah menjadi jalan awal bagi Amar untuk menemukan dirinya. Ia yang gemar membaca berbagai karya sastra, memilih mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Banyak waktunya ia habiskan di perpustakaan.Lewat berbagai buku, ia bertemu dengan cakrawala baru, tentang keberagaman gender, identitas seksual, dan juga Islam.
“Saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Hingga pada saat kuliah, wawasan saya semakin terbuka. Saya membaca buku tentang keberagaman, gender, Islam, identitas, seksualitas. Dan di situ saya menemukan muaranya,” beber Amar.
Berbagai buku dan wawasan baru membuatnya tak lagi ingin berlari dari pertanyaanya. Rasa ingin tahu untuk menemukan dirinya, semakin membuncah. Di tanah suci, tahun 2012, ia menitipkan keresahannya, melangitkan doanya, meminta agar Tuhan memberi petunjuk tentang pertanyaanya, tentang identitas dirinya.
Bantuan Psikolog
Doa itu terijabah. Amar memberanikan diri mencari psikolog. Lantaran psikolog di kota asalnya terbatas, Amar memutuskan pergi ke Semarang hingga Jogjakarta.
Menemukan psikolog tak semudah membalik telapak tangan bagi sosok seperti Amar. Butuh dua tahun untuk mencari bantuan yang memberikan bimbingan bagi pertanyaanya. Sejumlah psikolog justru membuatnya semakin tersesat. Hinga di tahun 2016 ia menemukan bantuan atas masalahnya.
“Sejak 2014 tiga kali bertemu psikolog, dari Kendal ke Semarang dan Jogjakarta. Sayangnya mereka transphobic dan justru menceramahi saya. Pada 2016 di Jogjakarta, Alhamdulillah akhirnya bertemu psikolog yang bisa mengidentifikasi masalah saya,” tuturnya.
Amar pun menjalani observasi selama enam bulan. Hasilnya, ia didiagnosa mengidap dysphoria gender. Yaitu, kondisi di mana identitas gender tidak sesuai dengan genitalia. Amar merasa lega, pertanyaannya selama ini terjawab sudah. Amar lantas menjelaskan keadaannya kepada kedua orang tua.
Dukungan Orang Tua
Amar bersyukur karena Ayah dan Ibunya menghargai pilihan Amar. Meski sebelumnya terjadi perdebatan yang tak berujung, baik Amar dan orang tuanya memilih bertemu di titik tengah. “Saya bersyukur karena mereka masih menganggap saya sebagai anak dan memperhatikan hak-hak saya. Saya tidak diusir, ibu saya juga lega karena saya sudah mau cerita,” ujarnya.
Tentu bukan hal mudah menerima kondisi Amar. Ayah dan Ibunya adalah Kiai dan Bu Nyai, pengasuh pondok pesantren. Ibunya sering menerima cemoohan tentang kondisi anaknya. Ning Amalia yang dulu mengenakan kerudung, bertransformasi menjadi Gus Amar, berkopiah dengan jambang lebat di wajahnya.
Amar pun tak henti meyakinkan dan memberi pemahaman. Amar menjelaskan jika yang dilakukannya diakui dan dihargai dalam Islam. Berikutnya, orang tuanya mulai menerima kondisi anak bungsu dari tiga bersaudara itu. Keduanya saling menghormati dan mendukung. Bahkan saat Amar melakukan sidang pergantian nama, orang tua dan kakak Amar hadir untuk memberi kesaksian.
“Saya dengar penjelasan kiai kalau yang dilihat Allah itu ketakwaan kita, bukan gender kita. Saya juga sering diskusi dengan tokoh Islam yang humanis dan menghargai keberagaman. Orang tua saya sendiri alhamdulillahnya tidak memaksa pun menyerang,” kisahnya.
Kedua orang tuanya pun menjadi pendukung terbesar bagi Amar. Mereka menyayangi Amar dengan kasih sayang yang tak henti. Selalu mendengarkan kisah anaknya, pun terbuka dengan apa yang mereka pikirkan terhadap Amar.
Ia mengingat, suatu saat ibunya sempat menyampaikan keinginannya agar Amar kembali menjadi perempuan. Laki-laki yang merupakan anak ketiga itu menjawab dengan santai. “Waktu itu ibu bilang, Ibu boleh kan doakan kamu sebagai perempuan? saya menjawab, boleh Bu, itu hak Ibu. Saya juga punya hak untuk saya sendiri. Yang penting kita saling menghargai dan menghormati dan tetap menerima satu sama lain,” katanya.
Bagikan Kisah di Twitter
Juni lalu, ia membagikan kisah pencarian dirinya lewat sebuah utas di Twitter. Unggahan itu kini telah diretweet lebih dari 12 ribu kali dan disukai sedikitnya oleh 35 ribu akun.
Lewat kisahnya, laki-laki yang masuk dalam jajaran kaum minoritas itu mengaku ingin menginspirasi dan mengedukasi orang lain, tentang keberagaman gender. Meski tak mudah, ia mengaku lebih beruntung dibanding orang lain yang tak mendapat dukungan dari orang tuanya sendiri.
Ia berharap, sedikit kisahnya mampu menggerakkan empati warganet pada kelompok gender minoritas, dan mengikis berbagai ancaman serta kekerasan yang banyak dialami oleh kaumnya.
“Saya ingin mengedukasi masyarakat tentang keberagaman gender. Saya beruntung orang tua saya mendukung menjadi transman, tetapi di luar sana banyak yang tidak. Ada yang sampai diruqyah, diusir, bahkan diperkosa,” katanya.
Amar mengaku, kendati ada komentar negatif dari warganet, dia tetap bersyukur. Sebab ada banyak warganet yang memberikan dukungan dan penyemangat baginya.