Lika-liku Kasus Vanessa, Pasal Belok Hingga Misteri Rian Subroto
Vanessa Angel segera menjalani sidang vonis kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran konten asusila, hari ini Rabu, 26 April 2019, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Kasus yang menjerat artis film televisi (FTV) ini bermula enam bulan lalu, tepatnya 5 Januari 2019. Saat itu Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim mengaku mengamankan Vanessa di sebuah hotel di Surabaya.
Di hotel yang sama, polisi juga mengamankan seorang tersangka muncikari prostitusi daring (online) Endang Suhartini alias Siska
Selain itu, polisi juga mengamankan satu artis lain yakni seorang model majalah dewasa Avriella Shaqqila, di perjalanan saat hendak menuju hotel. Malam harinya penyidik kembali mengamankan satu orang muncikari bernama Tentri Novanta di wilayah Jakarta Selatan.
Usai 24 jam lamanya diperiksa, Vanessa dan Avriella kemudian dibebaskan 6 Januari 2019, keduanya dinyatakan masih sebagai saksi kasus tersebut. Sementara dua muncikari langsung dinyatakan sebagai tersangka.
Beberapa hari kemudian ada dua orang muncikari yang juga menyusul diringkus penyidik, mereka yakni Intan Permatasari Winindya atau Nindy dan Fitriandi.
Penyelidikan kasus pun berjalan, temuan polisi menyebutkan sedikitnya ada 45 artis dan 100 model yang diduga terlibat dalam jaringan prostitusi online tersebut.
"Tadi malam tim penyidik sudah melakukan pengembangan, bukan hanya dua, ada 45 semuanya artis," kata Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan ditemui di Mapolda Jatim, Surabaya, Senin, 7 Januari 2019.
"Siska ini yang memang langsung berhubungan dengan oknum artis yang dia sediakan. Yang Tentri yaitu di dari model dari FHM dari Popular. Ini nama-nama sudah kita pegang, ini ada 100 nama dari majalah populer dari iklan dan lain-lain," tambah Luki.
Polisi Dalami keterlibatan Vanessa
Meski masih saksi dan dikenai wajib lapor, ternyata polisi terus mendalami keterlibatan Vanessa dalam llingkaran dugaan bisnis prostitusi online tersebut.
Hasilnya, Vanessa ternyata pernah beberapa kali menerima transaksi keuangan terkait order prostitusi. Data itu berhasil dilacak penyidik berdasarkan transaksi digital dalam rekening Vanessa.
Hal itu diungkap oleh, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim, Kombes Ahmad Yusep Gunawa. Ia bahkan menyebut transaksi itu bersumber dari enam muncikari yang berbeda.
Yusep juga menyebut penyidik menemukan sembilan kali transaksi dana yang mengalir ke rekening Vanessa. Sembilan kali transaksi tersebut tercatat dari sembilan lokasi berbeda, dua di antaranya bahkan terjadi di luar Indonesia.
"Di Singapura 2 kali, Jakarta 6 kali, dan 1 kali Surabaya. VA difasilitasi 6 muncikari," kata Yusep, pada Kamis 10 Januari 2019.
Namun, pada Rabu 16 Januari 2019, alih-alih menjerat Vanessa dalam kasus prostitusi online, penyidik Polda Jatim malah mempersangkakan Vanessa dengan pasal pelanggaran UU ITE.
"Terkait dengan pengembangan hasil gelar penyidikan kasus bisnis prostitusi online. Menjerat Vanessa Angel melalui UU ITE Pasal 27 ayat 1, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara," kata Luki Hermawan.
Luki menjelaskan, penyidik menghimpun bukti-bukti berupa foto vulgar dan percakapan Vanessa terhadap muncikari yang bisa menguatkan penetapan status tersangka Vanessa Angel.
"Dari data forensik dan fakta-fakta yang ada, yang bersangkutan (Vanessa) mengeksploitasi diri pada dirinya sendiri. Mengirimkan fotonya dan ada pembicaraan-pembicaraan yang lain," kata dia.
Hal ini berbeda dengan pasal yang menjerat para muncikari Vanessa, Tentri, Siska Winindya dan Fitriandi, yakni pasal pasal 296 dan 506 KUHP tentang prostitusi.
Vanessa dan para muncikari pun bersamaan mendekam di Rutan Polda Jatim, selama beberapa puluh hari. Sementara Fitriandi ditangguhkan lantaran ia diketahui tengah hamil tua.
Pasal Tak Terbukti
Selama menunggu kelengkapan berkasnya hampir dua bulan lamanya, Vanessa kemudian bersiap menghadapi persidangan perdananya di PN Surabaya, Rabu 24 April 2019. Namun, sebelumnya ia juga sempat beberapa kali hadir dalam persidangan muncikari, dalam kapasitasnya sebagai saksi.
JPU pun menjerat Vanessa dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Jo. Pasal 45 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain pasal tersebut salah satu JPU, Novan Arianto mengatakan pihaknya ternyata juga mendakwa Vanessa dalam pasal pasal 296 KUHP jo 55 KUHP tentang prostitusi online.
Hal ini tak diketahui langsung oleh para awak media lantaran persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan, sempat digelar secara tertutup oleh majelis hakim lantaran kasus ini memiliki unsur asusila. Saat itulah, kata Novan JPU membacakan dakwaan Vanessa dalam pasal kedua.
Namun, ketika tuntutan, kata Novan, JPU hanya menjerat Vanessa dalam pasal pelanggaran UU ITE. Ia menyebut, tak dijeratnya Vanessa dalam pasal prostitusi lantaran JPU memiliki mempertimbangkan alternatif.
"Jadi kami memilih alternatif satu (pasal 27 ayat 1) atau dua (pasal 296) dan kami berkeyakinan kami lebih condong lebih menuntut dia berdasarkan fakta-fakta yang kami ajukan, (pasal) yang pertama tentang ITE," kata Novan.
Janggal Perkara
Menanggapi tuntutan jaksa tersebut, kuasa hukum Vanessa, Milano Lubis mengatakan bahwa dicabutnya pasal prostitusi online tersebut lantaran banyak hal yang tak bisa dibuktikan oleh jaksa saat persidangan, terkait dugaan praktik prostitusi. Bagi Milano hal itu adalah sebuah kejanggalan.
Kejanggalan yang dimaksud Milano, salah satunya adalah tak pernah hadirnya pria penyewa jasa Vanessa sekaligus Avriella, yakni Rian Subroto, dalam persidangan.
Milano mempertanyakan sosok, Rian yang disebut-sebut sebagai pengusaha tambang asal Lumajang, Jawa Timur itu. Ia bahkan mencurigai Rian adalah sosok fiktif.
Hal tersebut diketahui dari tanda tangan Rian yang berubah-ubah di tiap BAP, alamat rumahnya yang ternyata tak ditemukan, hingga nomor telepon yang sedari awal sudah tak tercantum.
Hal tersebut bahkan pernah diungkapkan Vanessa usai menjakani sidang tertutup di PN Surabaya. Artis berusia 27 tahun itu mengatakan bahwa fakta hukum perkara yang kini menjeratnya makin terungkap.
"Yang jelas fakta hukum udah mulai berjalan, doain aja semoga cepat selesai masalahnya, rekayasanya makin kelihatan," kata dia, Kamis, 9 Juni 2019.
Fakta hukum tersebut, kata Vanessa diketahuinya dari kejanggalan keterangan penyidik Polda Jatim, yang turut memberikan kesaksian dalam kasusnya, saat ditanyai tim penasihatnya, perihal siapa sosok Rian Subroto.
Menurutnya kesaksian penyidik janggal saat menjelaskan perihal ciri-ciri Rian Subroto. Salah satunya adalah tanda tangan Rian yang dianggapnya selalu berubah-ubah dalam BAP.
"Tanda tangannya (Rian) beda-beda, setiap BAP beda," kata Vanessa.
Milano kemudian menambahkan, bahwa saat persidangan tadi, penyidik juga memberikan keterangan yang janggal perihal ciri-ciri Rian Subroto.
"Ciri-cirinya beda yang disampaikan oleh penyidik. Banyak kesalahan yang dilakukan oleh penyidik. Karena Rian diperiksa tidak identitas sama sekali, terus tidak pernah ada fotonya," kata Milano.
Perbedaan ciri-ciri fisik itu kata Milano terletak pada ciri rambut, bentuk wajah, postur tubuh. Vanessa mengatakan bahwa Rian adalah pria berpostur pendek, botak, tidak gemuk. Sedangkan keterangan penyidik, Rian adalah pria tinggi, berkulit putih, dan berambut ikal.
"Saksi sempat menggambarkan sosok Rian. Rian (kata penyidik) agak putih, rambut ikal. Terdakwa (Vanessa) menolak. Rian itu agak pendek, botak, nggak gemuk, sedang," katanya.
Kejanggalan tak berhenti di situ, kuasa hukum salah satu muncikari Endang Suhartini alias Siska, Frangky Desima Waruwu, juga membeberkan keterangan ganjil kepada saksi penyidik, lainnya.
Salah satunya adalah soal bukti transfer uang Rp80 juta ke rekening salah satu muncikari Tentri, yang disebut-sebut berasal dari rekening dengan atas nama Herlambang Hasea.
Nama Herlambang Hasea itu muncul dalam bukti rekening Tentri. Dan berdasarkan penelusuran Frangky dan Milano, Herlambang diketahui sebagai seorang sipil yang bekerja sebagai tenaga IT di Subdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim.
Frangky menyebut hal itu juga berdasarkan keterangan para terdakwa, Vanessa dan Siska, saat persidangan. Mereka bersaksi bahwa Herlambang Hasea hadir saat penangkapan Vanessa di sebuah hotel di Surabaya.
Herlambang juga selalu ikut membantu penyidik untuk mendokumentasikan saat Vanessa dan muncikari lainnya menjalani pemeriksaan di Polda Jatim.
"Para terdakwa menyampaikan selama mereka ditahan di Polda Jatim dan setiap diperiksa Herlambang itu selalu ada di situ. Bahkan Herlambang tersebut pada saat penangkapan dia yang melakukan dokumentasi," kata Frangky.
Selain Rian dan Herlambang, Milano mengungkapkan ada juga dua orang lain yang tak pernah dihadirkan jaksa dalam persidangan kasus kliennya. Mereka adala pria yang bernama Deni dan Dhani. Dalam dakwaan peran keduanya adalah sebagai perantara antara Rian dengan para muncikari.
Dengan sejumlah kejanggalan tersebut, tim pengacara Vanessa pun melaporkan tujuh penyidik Polda Jatim ke Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri.
Milano mengatakan laporan tersebut dilayangkan lantaran ada sejumlah kejanggalan terhadap proses pemeriksaan atas kasus yang menjerat kliennya itu.
"Kami sudah laporkan hari ini ke Propam Mabes Polri terhitung kalau enggak salah pukul 13.00 WIB. Dan tujuh penyidik kita laporkan," ujarnya.
Di sisi lain, tiga muncikari Vanessa, yakni Siska, Endang dan Tentri kini telah menghirup udara bebas, usai divonis bersalah dan dihukum 5 bulan penjara dengan denda Rp5 juta subsider 1 bulan penjara.
Putusan majelis hakim itu berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat 1 UU RI No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal yang divonis hakim Anne Rusiana kepada ketiganya diketahui hanya terkait pada pelanggaran UU ITE tentang penyebaran konten asusila. Dan tak memilki sangkut paut dengan pasal prostitusi online.
Kini tersisa Vanessa yang akan menghadapi putusan hakim PN Surabaya. Milano optimis kliennya dapat divonis bebas, sebab konten yang ditransmksikan Vanessa berada dalam ruang privatnya.
"Kalau mau diterapkan ITE harus ada pidana dalam hal ini kan prostitusi, mustinya prostitusinya itu dibuktikan dulu. Kalau tidak, tidak bisa diterapkan ITE," kata dia. (frd)