Liga 1 Baru Sebulan Lebih Dihentikan, Klub Mulai Menjerit
Kompetisi sepak bola Indonesia resmi dihentikan PSSI sejak 16 Maret lalu. Semula, keputusan itu hanya berupa penangguhan selama dua pekan, namun diubah hingga batas waktu tak tentu seiring dengan wabah virus corona di Indonesia yang semakin meluas. Meski terhitung baru sebulan lebih, klub-klub kontestan Liga 1 mulai menjerit.
Tidak ada yang salah dengan keputusan ini, sebab pencegahan penyebaran Covid-19 tak akan berjalan efektif jika masih ada kerumunan massa dalam jumlah besar. Hanya saja, bagi pelaku sepak bola di Indonesia, dihentikannya kompetisi ini membawa dampak buruk, atau bahkan membunuh mereka.
Saat ini napas klub tersengal seakan mau sekarat lantaran tak ada lagi pemasukan dari tiket penonton. Kerja sama dengan pihak ketiga atau sponsor pun ambyar. Di sisi lain, mereka masih berkewajiban membayar gaji pemain yang besarannya bervariasi.
PSSI memang menginstruksikan klub kontestan Liga 1 dan Liga 2 dapat melakukan perubahan kontrak kerja yang disepakati antara klub dan pemain, pelatih serta ofisial atas kewajiban pembayaran gaji di bulan Maret-Juni 2020, yang akan dibayarkan maksimal 25 persen dari kewajiban yang tertera di dalam kontrak kerja.
Sekilas, instruksi ini meringankan klub untuk bernapas. Namun, klub di Indonesia berbeda dengan klub-klub di luar negeri, khususnya di Eropa. Pundi-pundi keuangan klub di Tanah Air sangat mengandalkan pemasukan dari tiket penonton. Bahkan, 80 persen pendanaan klub didapatkan dari pemasukan tiket penonton, sisanya dari sponsor dan siaran langsung televisi. Sehingga ketika kompetisi berhenti berputar, klub tak lagi memiliki pemasukan.
Wajar bila kemudian sejumlah klub mulai kelimpungan. Sebab, meski secara persentase relatif lebih kecil dibanding besaran gaji normal, mereka tetap kewalahan lantaran tetap memberatkan.
Jika dilihat dari persentasenya, 25 persen memang relatif kecil. Namun, jika melihat besaran gaji normal para pemain, khususnya di Liga 1, tentu saja masih cukup besar.
PSSI sendiri belum menanggapi permintaan klub-klub kontestan Liga 1 itu. Federasi sepak bola Indonesia itu masih menunggu arahan dari pemerintah. Hingga kini federasi sepak bola Indonesia itu masih berpegang pada penetapan pemerintah terkait status darurat sampai 29 Mei.
Induk semang organisasi sepak bola Indonesia itu berencana melanjutkan kompetisi pada 1 Juli 2020 setelah status itu selesai. Mereka baru bisa menghentikan kompetisi secara total jika pemerintah memperpanjang status darurat tersebut.
Hanya saja, meski baru terhitung sebulan lebih dari putusan PSSI menghentikan kompetisi pada 16 Maret lalu, beberapa klub mulai berteriak agar kompetisi dihentikan total.
"Saya tak mau berandai-andai. Lebih baik, kompetisi 2020 di-shutdown. Kita restart sepak bola Indonesia ke 2021, sehingga pemain dan klub dapat kepastian dan fokus ke musim 2021,” kata Haruna Somitro, manajer Madura United beberapa waktu lalu.
Pendapat serupa disuarakan Persita Tangerang. Klub yang membayar pemainnya 10 persen dari besaran gaji normal itu juga meminta PSSI membatalkan kompetisi musim 2020.
Saat ini, mungkin yang lantang bersuara baru dua klub saja. Namun tak sedikit yang meyakini bahwa klub-klub lain juga sedang tercekik akibat penghentian kompetisi ini. “Saya yakin, sebetulnya banyak klub yang ngos-ngosan membiayai klub di saat seperti ini. Namun mereka memilih menahan diri,” ujar Freddy Muli, pengamat sepak bola dari Sidoarjo.
Ia yakin, banyak masalah yang akan bermunculan setelah pandemi ini berakhir, atau bahkan jika kompetisi resmi dihentikan secara total bila status darurat diperpanjang oleh pemerintah. “Mengaca dari pengalaman penghentian kompetisi saat terjadi konflik di PSSI, saya kok tidak yakin tidak ada masalah yang muncul, terutama kaitannya dengan uang maupun hak dan kewajiban,” katanya.
Freddy sendiri melihat ada sisi positif dan negatif dari kedua opsi yang ada. Ia hanya meyakini, bahwa PSSI harus membicarakan masalah ini dengan klub untuk mendapatkan solusi terbaik.
Advertisement