Liberasi Menguatkan Keimanan, Bebaskan Diri dari Budak Nafsu
Bagi umat Islam, liberasi atau kebebasan berarti terbebas dari semua belenggu yang berasal dari godaan setan dan hawa nafsu. Untuk itu, liberasi secara hakikat bermakna mengembalikan segala sesuatu kepada aturan Allah SWT.
Kemerdekaan berarti tunduk sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Prof Dr Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia mengingatkan dan berwasiat kepada umat Islam dan masyarakat Indonesia.
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dalam surat ini Allah mengingatkan bahwa jin ciptaan Allah, bukan Tuhan untuk disembah atau diibadahi. Bahkan, para jin juga dibebani untuk beribadah kepada Allah dan tidak berhak untuk disembah (Ibnu ‘Asyur (t.t) At-Tahrir wa At-Tanwir, Mesir: Dar Al-Fikr).
Pandangan Ahli Tafsir Al-Quran
Bahkan, Imam Qurtubhi menjelaskan bahwa makna utama (ليعبدون) pada ayat tersebut adalah agar mereka tunduk, patuh, dan melakukan peribadatan (Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).
Lebih tedas, dalam kitab Tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia serta Allah mengutus semua rasul untuk menyeru kepada tujuan tersebut. Tujuan tersebut yaitu menyembah Allah yang mencakup berilmu tentang Allah, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.
Semua tujuan itu tergantung pada ilmu tentang Allah, sebab kesempurnaan ibadah itu tergantung pada ilmu dan makrifatullah. Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba terhadap Rabbnya, maka ibadahnya akan semakin sempurna.
Adapun malaikat tidak disebutkan pada ayat ini, karena malaikat tidak memiliki hawa nafsu dan tidak mempunyai kebebasan berkehendak sebagaimana jin dan manusia. Demikian pula hewan dan makhluk lainnya, beribadah dengan caranya masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah SWT.
Penyebutan jin terlebih dahulu atas manusia pada ayat ini, didasari pada waktu penciptaan. Penciptaan jin lebih dahulu dibandingkan manusia. Bukankah ketika Allah menciptakan Nabi Adam AS., para makhluk yang lebih dahulu diciptakan, mereka diperintahkan untuk sujud sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan manusia sebagai makhluk baru. Di antara yang diperintahkan adalah Iblis, dari golongan jin. (Sumber: al-Alusi, Syihabuddin Mahmud Ibn Abdullah. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azim wa al-Sab al-Masani, Juz 14. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H; al-Baidawi, Nasruddin Abu Said Abdullah Ibn Umar. Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Juz 5. Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, 1418 H).
Dengan demikian, ayat ini merupakan pesan penting khususnya bagi manusia agar dalam menjalani kehidupan tidak melepaskan diri dari hakikat penciptaan-Nya. Sebab itu, segala aktivitasnya harus dilandasi niat ibadah. Makna ibadah dalam konteks kehidupan tidak terbatas pada aspek-aspek khusus, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan mencakup semua aspek kehidupan.
Nilai-nilai pendidikan
Ayat penciptaan jin dan manusia di atas mengandung sejumlah nilai-nilai pendidikan, di antaranya: pertama, mendidik manusia agar memahami dan mengenal Allah SWT. Kedua, mendidik kita menjadi mukmin dan tidak berbuat syirik. Ketiga, mendidik kita agar menjadi hamba yang ikhlas dan hanya mencari ridha-Nya. Keempat, agar kita meningkatkan kualitas ibadah.
Menciptakan situasi yang tenang dan aman merupakan salah satu prakarsa dalam meningkatkan kualitas Ibadah. Dengan kata lain, agar kualitas ibadah yang dilakukan bisa berhasil maksimal, tentu ketenangan dan keamanan dalam beribadah menjadi faktor penting.
Menjalankan ibadah kepada Allah, tidak cukup dengan keimanan saja. Kuatnya keimanan harus didukung dengan kondisi keamanan lingkungan agar ibadah bisa dilaksanakan dengan khusyuk atau tenang.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah, karena sampai saat ini bisa beribadah dengan tenang untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah karena didukung dengan kondisi lingkungan dan negara yang aman, jauh dari konflik yang menjadikan ibadah kita tidak tenang.
Makna kemerdekaan
Seorang hamba dapat menemukan arti kemerdekaan yang sebenarnya jika ia mampu terbebas dari semua belenggu yang berasal dari godaan setan dan hawa nafsu, dan mengembalikan segala sesuatu kembali kepada aturan Allah SWT. Hal ini disebut Syaikh Ibnu Utsaimin RA dalam Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, ia mengatakan: “Ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah kepada Allah semata, maka dia adalah hamba (budak) bagi selain Allah.”
Momen kemerdekaan bangsa Indonesia, yang di dalamnya memuat sejarah penting proklamasi kemerdekaan setelah mengalami penjajahan berabad-abad, seyogianya menjadi momentum yang spesial bagi bangsa Indonesia.
Tiga Hal Positif Isi Kemerdekaan
Oleh karena itu, kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal positif di antaranya mulai dari:
Pertama, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Umat Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.
Kedua, para guru mari terus didik para generasi bangsa untuk menjadi penerus tongkat estafet peradaban luhur.
Ketiga, bagi para pelajar dan generasi muda, mari terus tingkatkan kualitas diri dengan belajar sungguh-sungguh.
Pertolongan Allah Ta'ala
Allah SWT berfirman:
فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْهُ بَلَاۤءً حَسَنًاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal: 17)
Dalam menguatkan keimanan dan kebebasan kemerdekaan dari penghambaan selain kepada Allah, kita dilarang menghambakan diri kepada hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia. Allah SWT berfirman:
أَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيۡهِ وَكِيلًا
Artinya: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al-Furqan: 43)
Demikian pesan-pesan Prof Dr Sofyan Sauri, MPd, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia.