Lewat Wor dan Yospan Biak Pamerkan Kekayaan Budaya
Jangan pernah meragukan kekayaan Papua. Khususnya Biak. Kekayaan ini ditampilkan dalam Festival Biak Munara Wampasi (FBMW) 2018. Salah satunya melalui Parade Wor dan Yospan.
Parade ini menyajikan nyanyian dan gerakan tari. Efeknya, rute parade sepanjang 3 kilometer penuh dengan lautan manusia.
Cuaca labil Kota Biak, tidak menurunkan antusiasme masyarakat. Bahkan, hujan yang turun tidak membuat penonton beranjak dari tempatnya. Antusias penonton, membuat peserta parade makin semangat. Peserta Parade Wor dan Yospan tetap semangat menari dan bernyanyi diiringi musik khas Biak.
Penanggung Jawab Lapangan Parade Wor dan Yospan FBMW AM Dadang mengatakan, kegiatan ini menjadi event yang ditunggu.
“Parade Wor dan Yospan menjadi rangkaian FBMW. Event ini memang banyak ditunggu, bahkan oleh masyarakat di sini sekalipun. Mereka tertarik dengan berbagai kreasi yang ditampilkan para peserta,” kata Dadang yang juga Kabid KBKS DP3KB Biak Numfor.
Parade Wor dan Yospan membuat jalanan di pusat Kota Biak diubah jadi panggung raksasa. Total panjangnya mencapai tiga kilometer. Startnya dari Jalan Ahmad Yani, lalu finishnya di Lapangan Cenderawasih yang berada di Jalan Sisingamangaraja, Samofa. Para peserta lalu menampilkan opera di depan panggung utama. Posisinya berada Jalan Imam Bonjol.
“Pada prinsipnya, mereka melakukan berbagai gerakan Wor dan Yospan di sepanjang jalan. Sebab, pada beberapa titik akan dilakukan penilaian,” jelasnya lagi.
Parade Wor dan Yospan diikuti oleh 20 peserta. Rinciannya, masing-masing 10 peserta mengikuti Parade Wor dan Yospan. Mereka berasal dari 12 distrik di wilayah Biak Numfor daratan.Secara keseluruhan di wilayah Biak Numfor memiliki 19 distrik. Tujuh distrik diantaranya berupa kepulauan. Mereka berasal dari berbagai sanggar. Dadang menambahkan, keterbatasan peserta tidak mengurangi anemo.
“Animo masyarakat tetap tinggi, meski peserta berkurang. Kami mengalami keterbatasan anggaran di tahun ini. Untuk mensiasatinya, ada distrik yang hanya ikut di satu kategori parade saja. Tapi, ada juga distrik yang tetap mengikuti Wor dan Yospan sekaligus,” ujarnya.
Wor dan Yospan memiliki keunikan masing-masing. Yospan punya genre lebih modern. Para penari dan pengiring musiknya adalah generasi milenial Biak. Gerakan tariannya juga bervariasi. Yospan pun ditopang dengan beberapa alat musik. Ada ukulele, gitar, gendang, hingga krecek-krecek. Kostumnya mengalami penyesuaian. Dadang menjelaskan, kostum sebenarnya tetap memakai baju adat.
“Yospan ini gerakannya lebih banyak dan modern. Rata-rata peserta menciptakan gerakannya sendiri. Untuk kostum, saat ini juga ada perubahan. Peserta ada yang mengenakan konsep baju modern dengan warna warni cerah. Tapi, pada hakikatnya Yospan yang asli memakai baju adat berupa noken,” katanya.
Sedangkan Wor masih mempertahankan warna tradisionalnya. Peserta Wor dari dewasa berusia lebih dari 50 tahun hingga anak-anak kecil. Harapannya, generasi penerus ini tetap melestarikan tradisi asli Papua yang dimiliki leluhur. Ciri yang paling mendasar, Wor dimainkan hanya dengan tifa. Para penari ini memainkan tifa sembari mengangkat satu kaki. Lalu, kaki ini ditekankan pada tifa.
Wor dibawakan dengan baju adat. Selain noken dan penutup kepala, para penari Wor juga merajah tubuhnya dengan motif ukiran Papua.
“Wor ini lebih tradisional. Gerakannya juga harus mengikuti pakem yang sudah ditetapkan. Pada pertunjukan Wor juga biasanya memiliki alur cerita. Temanya seputar kehidupan sehari-hari masyarakat di sini,” terang Dadang lagi.
Secara garis besar, Wor terbagi menjadi 6 kategori. Ada Wor Beyusser yang menjadi simbol perdamaian. Gerak dasar peperangan dilambangkan dengan Wor Mamun. Para penari Wor Mamun juga melengkapi diri dengan peralatan perang khas Biak. Berikutnya adalah Wor Kobeoser untuk persatuan, lalu Wor Kapanaknik yang ditandai pemotongan rambut sebagai penanda kedewasaan dan status janda.
Selain itu, ada juga Wor Fakuken yang melambangkan pernikahan. Lalu, simbol menghantar kunjungan pengantin wanita menggunakan Wor Yakyaker.
“Wor ini bisa diartikan tarian dan nyanyian. Gerakan tentu akan berbeda. Sebelum menari, Wor akan diawali dengan teriakan khas yang menandakan waktu berkumpul. Yang jelas Wor dan Yospan semakin menambah khasanah budaya FBMW,” tegas Dadang.
Kuatnya budaya di FBMW 2018 mendapatkan apresiasi dari Menteri Pariwisata Arief Yahya.
“FBMW 2018 ini sangat menginspirasi. Mereka menyajikan panggung besar bagi para pelaku seni dan budaya melalui parade ini. Budaya memang harus dilestarikan. Sebab, budaya menjadi magnet penarik kunjungan wisman terbesar. Para wisman datang ke sini mayoritas untuk melihat budaya,” pungkas Menteri asal Banyuwangi tersebut.(*/idi)