Lewat Tulisan, Perempuan Lantang Mengumbar Rahasia Dapur
Oleh Hamurasandrini
Ada yang berbeda di Marketing Gallery Trans Icon Surabaya pada Minggu lalu (26/3). Sekitar 30 orang berkumpul di ruangan yang berhias maket dan brosur properti. Tapi, yang mereka bahas siang itu adalah tentang dapur dan rahasia-rahasianya.
---
‘’Saya takjub pada tema yang diangkat. Dapur,’’ kata Tengsoe Tjahjono. Dia mengatakan kalimat itu sambil menimang buku bersampul hitam berjudul Rahasia Dapur.
Di dalam buku setebal 264 halaman itu, Tengsoe mendapati fakta yang menyenangkan. Ternyata, dapur punya banyak makna. Bukan sekedar tempat para ibu rumah tangga berkreasi dengan bumbu dan bahan makanan, tapi juga bisa menjadi area berbagi kisah, dan bahkan ruang rapat.
Pria yang tercatat sebagai dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengapresiasi kemampuan para penulis Rahasia Dapur dalam mengolah tema. Berangkat dari tema dapur, sebanyak 19 penulis kemudian melakukan riset dan bermain-main dengan imajinasi mereka dalam mereka-reka cerita pendek (cerpen).
Rahasia Dapur adalah antologi cerpen terbaru Kelas Menulis Padmedia yang pembuatannya memakan waktu 3,5 bulan. ‘’Untuk batch yang ini memang sengaja kami desain agak berbeda. Saya dan para mentor penulisan cerpen sepakat untuk memberikan tema tulisan dari awal. Tujuannya adalah agar pola pikir dan karya para penulis lebih terarah,’’ papar Wina Bojonegoro, kepala sekolah Padmedia.
Tengsoe mengatakan bahwa konsep yang Kelas Menulis Padmedia terapkan itu terbukti manjur menghidupkan imajinasi para penulis. Meski kesannya sederhana, hanya dapur, tapi tulisan-tulisan yang lahir punya kelebihan sendiri-sendiri. Yang pasti, para penulisnya mampu menunjukkan keterampilan berbahasa yang baik dalam karya mereka.
‘’Saya tidak percaya bakat. Itu kontribusinya hanya 0,5 persen. Sedangkan, sebanyak 99,5 persen sisanya adalah ketekunan dalam berlatih. Buku ini adalah buktinya,’’ ungkap sastrawan yang juga dikenal sebagai presiden pentigraf tersebut.
Ada 21 cerpen dalam buku yang menampilkan jendela dapur sebagai sampulnya itu. “Balada Sepiring Babi Guling” menjadi tulisan yang menarik hati Tengsoe. Dengan kekuatan alur dan pilihan katanya, Made Ayu Dyah menyajikan sekelumit fakta yang dialami masyarakat pasca tragedi Bom Bali di Kuta.
Yang dialami tokoh bernama Astri dalam ruang penceritaan Made Ayu Dyah adalah kenyataan yang terjadi di Denpasar pasca pengeboman. Ada banyak perempuan yang ditinggalkan suami dan berubah peran dari tulang rusuk menjadi tulang punggung.
Kepiluan, kekecewaan, dan kegelisahan Astri juga dialami banyak perempuan Bali. Beban psikologis itu berkelindan dengan tekanan masyarakat, nilai budaya, dan tuntutan ekonomi dalam tokoh Astri. Demikian pula kenyataan yang dihadapi masyarakat.
‘’Sastra itu berangkat dari fakta. Bukan berangkat dari imajinasi, bukan dari kekosongan. Yang ditulis adalah pengalaman hidup,’’ kata Tengsoe.
Kentalnya budaya para penulis dalam karya mereka juga menjadi pelangi dalam buku tersebut. Rilda Taneko menyuguhkan perspektifnya tentang tanah ulayat dengan sangat tegas dalam “Rahasia Dapur”. Mitos dari Tanah Pasundan dihadirkan Ari Pandan Wangi dari sudut dapur sebuah kafe dalam “Sebuah Rasa di Dapur Panjalu”.
Urban legend seputar Gunung Pamaton mengilhami tulisan Fie Z yang berlatar Borneo dalam “Kambang Tigarun”. Senada dengan itu adalah “Lengking Karinding di Dada Saodah” yang dituliskan dengan indah dan ghaib oleh Asti Mulyana.
Sasti Gotama dalam “Kari” bercerita tentang kekhasan bumbu masakan Indonesia sambil membalutnya dengan kritik kesetaraan gender. Nikmatnya kopi rempah yang digambarkan Wina Bojonegoro dalam “Rahasia di Balik Jendela Dapur” berubah menjadi kengerian saat pembaca dibawa masuk ke dalam kisah pembunuhan gara-gara pohon rukem.
Lain lagi tulisan RWilis tentang kisah cinta rahasia seorang anak lelaki yang di-skakmat ayahnya sendiri lewat pernikahan siri. Kisah berbalut bumbu kari dan ayam kampung muda itu bisa dibaca dalam “Adu Rasa di Dapur Kari”. Ada pula dilema asmara kaum liyan yang Dewi Purboratih ramu dari sudut dapur yang kental masakan Madura dalam “Dapur Mak Pur”.
Keragaman budaya dan geografis turut memperkaya Rahasia Dapur. Dalam satu buku itu, pembaca diajak melanglang buana. Kendati sebagian besar kisah memilih Indonesia sebagai latar, ada beberapa yang mengambil setting mancanegara. Turki, Paris, dan Inggris.
‘’Tulisan-tulisan ini tentu perlu studi. Perlu kajian mendalam. Entah penulis meriset dengan bantuan buku, Google, YouTube, atau media lainnya,’’ kata Tengsoe. Karena itu, dia tidak ragu memuji karya bareng para penulis Padmedia Publisher tersebut. Meskipun, ada pula karya-karya yang dia kritisi.
Siang itu, bedah buku Rahasia Dapur juga melibatkan aktivitas seru yang biasa dijumpai di dapur. Yakni, menghias cupcake. Mewakili Cake Studio Indonesia, Windy Effendy mengajarkan trik dasar menghias kue-kue mungil dengan butter cream. Dia lantas mengajak para peserta bedah buku untuk praktik. Dekorasi paling cantik pun diganjar hadiah.
Acara diakhiri dengan kuis Susun Kata yang dipandu Fifin Maidarina. Yang disusun, tentu saja kata-kata dari kalimat dalam buku Rahasia Dapur. Keseruan bedah buku, bermain butter cream, dan kuis berakhir sekitar pukul 3 sore.
Mendung kelabu sudah memulas tipis langit Surabaya ketika satu per satu peserta bedah buku meninggalkan Marketing Gallery Trans Icon. Hujan deras yang turun kemudian pada hari itu, melesakkan perbincangan tentang sastra dan budaya jauh ke dalam sanubari. Bahwasanya realita hidup menjadi ilham kelahiran karya sastra. (*)