Lesunya Museum Surabaya
"Sejak 2015 memang belum banyak masyarakat yang tahu ya, malah kebanyakan masyarakat yang tahu SIOLA ini sebagai Mall Pelayanan Publiknya, museumnya malah orang gak tahu."
Saat masyarakat Surabaya lebih suka membanjiri pusat-pusat perbelanjaan dan taman hiburan, ada objek-objek wisata sejarah yang edukatif, tapi malah sepi dari pengunjung, salah satunya adalah Museum Surabaya.
Museum yang diresmikan pada Mei 2015 lalu, terletak di lantai dasar Cagar Budaya, Gedung SIOLA, yang berada di pojok jalan antara Jalan Genteng Kali dengan Jalan Tunjungan.
Saat memasuki Gedung ini, anda akan menemui ruangan museum di sisi kiri. Penanda masuknya, terpampang tulisan Museum Surabaya, ada pula buku tamu dan pemandu yang ada berjaga.
Lurus di dekat situ terpajang 18 foto Wali Kota Surabaya terdahulu. Dimulai dari Wali Kota Surabaya di zaman Belanda, yang disebut Burgemeester Soerabaia yang pertama kali dijabat oleh Mr. A. Meijroos pada 1916-1920, hingga yang masih menjabata saat ini, Tri Rismaharini.
Tak jauh dari itu, dipamerkan di atas meja yang diberi pelindung kaca tertutup puluhan tanda penghargaan yang pernah diraih Kota Surabaya, baik penghargaan nasional, maupun internasional.
Selanjutnya ada beberapa benda di dalam Museum Surabaya ini yang menarik untuk lebih diperhatikan karena usianya, maupun karena keunikannya.
Di antaranya ada dua Grand Piano peninggalan Belanda yang awalnya berada di Simpang Societeit (kini namanya Balai Pemuda). Alat itu pernah digunakan oleh musisi legendaris, Gombloh saat menciptakan lagu-lagunya yang terkenal, seperti Kugadaikan Cintaku, Kebyar-Kebyar, dan Lestari Alamku.
Ada pula buku-buku administrasi Kota Surabaya, yang diketahui sudah ada sejak abad 1800-an. Kemudian juga alat transportasi jaman dulu seperti, Bemo dan Angguna (angkutan serba guna).
Fasilitas yang tak memadai
Sayangnya, 1000-an koleksi benda bersejarah yang ada ditempat ini, tak diiringi dengan fasilitas museum yang memadai. Hal itu terlihat dari tak berfungsinya beberapa lampu penerangan, sehingga menyebabkan kondisi museum menjadi gelap, bahkan ketika cuaca masih siang hari sekalipun.
Reza Prasetya, salah satu Pengelola Museum Surabaya yang ngopibareng.id temui, menyadari hal itu. "Penerangan memang minim sekarang, beberapa lampu mati, kami masih mengajukan perbaikan ke pemerintah kota, dan masih menunggu" ujarnya saat ditemui, Rabu, 28 Desember 2017 kemarin.
Alur bagi pengunjung juga masih tak tertata. Pengunjung dibiarkan mengitari areal museum tanpa petunjuk arahan dan alur urutan benda-benda.
Meski baru dua tahun diresmikan, beberapa keterangan benda itu sudah tak terbaca jelas, seakan jadi tempelan saja, adapula yang terkelupas.
"Sulit bacanya, karena hurufnya kecil-kecil ada yang mengelupas, gak ada lampu juga," ujar Nurul, salah satu pengunjung museum.
Fasilitas dan lesunya Museum Surabaya ini seakan kontras dengan tetangganya yang juga berada di dalam satu Gedung SIOLA, yakni Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA), ramai dikunjungi warga.
"Animo masyarakat untuk berkunjung kesini saat kemarin sampai nanti tahun baru sebetulnya naik turun, orang yang berkunjung kesini biasaya yang ke Dispenduk ," kata Reza.
Reza mengatakan, sehari-harinya pengunjung Museum Surabaya adalah masyarakat yang sedang mengurus legalitas di UPTSA, mereka cuma mampir sembari nunggu antrian.
Bahkan di masa liburan akhir tahun seperti saat ini, pengunjung museum juga tak mengalami lonjakan, catatan penegelola, dalam sehari Museum Surabaya hanya dikunjngi 180 sampai 200 orang saja.
"Kalau hari biasa kurang lebih 200-an orang, kalau masa liburan ya sama seperti itu," ujar Reza.
Lesunya pengunjung kata Reza, disebabkan oleh minat masyarakat yang rendah terhadap situs-situs bersejarah.
"Kalau dibandingkan dengan tempat taman hiburan lain serta mall mall, ini kan tempat sejarah, yang berkunjung kesini memang rata-rata memiliki minat khusus," katanya.
Ia sempat menyayangkan bila gedung yang dibangun sejak 1877 ini lebih dikenal dengan Mall Pelayanan Publik, dibandingkan dengan situs sejarahnya.
"Sejak 2015 memang belum banyak masyarakat yang tahu ya, malah kebanyakan masyarakat yang tahu SIOLA ini sebagai Mall Pelayanan Publiknya, museumnya malah orang gak tahu," keluhnya.
Sejarah SIOLA
Sejarah Gedung SIOLA berawal dari tahun 1877 ketika gedung itu untuk pertama kalinya dibangun oleh orang Inggris bernama Robert Laidlaw (1856-1935), pemilik Whiteaway Laidlaw & Co, salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia kala itu.
Namun pada 1935, Gedung SIOLA diambil alih oleh pengusaha Jepang, namanya pun berganti menjadi Toko Chiyoda, yang menjual koper dan tas.
Masa jaya Chiyoda tak lama, setelah Jepang menyerah kalah kepada sekutu, Toko Chiyoda ditutup. Pemiliknya kembali ke Jepang. Gedung itu menjadi kosong.
Tahun 1945, saat perang antara rakyat Surabaya dengan pasukan sekutu yang dikenal dengan perang 10 November, pecah, Gedung ini pun digunakan tempat pertahanan untuk berlindung dari gempuran pasukan sekutu. Akibatnya bangunan ini pun
sempat rusak berat dan terbakar.
Setelah perang berakhir, gedung ini jadi terbengakalai. Namun, saat Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset pemerintahan kolonial, Pemerintah Kota Surabaya mengambil-alih gedung tersebut menjadi aset.
Pada 1960, lima orang pengusaha, yaitu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ong mengontrak gedung tersebut dari Pemkot Surabaya. Mereka memperbaiki dan merenovasi gedung tersebut dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya, lalu membuka
pusat toko grosir di situ, yang diberi nama dari singkatan nama-nama mereka sendiri, yaitu SIOLA.
Sejak itulah gedung itu dikenal masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA, sampai sekarang.
Pada 3 Mei 2015, Museum Surabaya dibuka untuk umum untuk pertamakalinya setelah diresmikan oleh Wali kota Surabaya. Setelah museum diresmikan, menyusul kemudian UPTSA diresmikan pada 15 Juli 2015. (frd)