Lempar Batu Sembunyi Tangan, Lempar Kopi Sembunyikan Pilihan
Entahlah. Mengapa judulnya begitu. Lempar batu sembunyi tangan, orang sudah pada tahu artinya. Perumpamaan ini setara dengan orang kentut, lalu bergeser dari tempatnya. Meninggalkan bau yang tak terdeteksi dari mana sumbernya.
Si empunya kentut sudah pasti tak akan mau membuat pengakuan. Bisa blunder. Bisa dicibir. Bisa malu. Dibilang tak tahu sopan-santun, dan seterusnya. Andainya mengaku, besoknya, kalau ada kerumunan, kalau ada dia, pelan-pelan orang akan menjauh. Tak mau resiko. Ketimbang kena gas seperti bau amoniak.
Kalau lempar kopi sembunyikan pilihan, apa artinya? Tak tahulah! Bisa karena momentum Pemilu 2019. Pemilu raya seraya rayanya itu. Pemilu presiden hingga wakil rakyat. Lalu muncul kalimat konotatif tersebut. Mungkin juga asal njeplak saja yang bikin perumpamaan. Kalau nadanya sih cukup mirip dengan perumpamaan lempar batu sembunyi tangan itu.
Warung-warung kopi, kedai-kedai kopi, coffee shop, sudah pada buka hari ini, Kamis 18 April 2019. Mereka buka setelah kemarin tutup seharian. Sehari tutup untuk penghargaaan dan kepatuhan kepada negeri. Coblosan memilih pemimpin, 17 April 2019. Legislatif. Juga presiden.
Seperti biasa, bau kopi selalu mampu membuat semarak. Aktivitas warung, kedai, coffee shop juga selalu mampu berdenyut dengan kesemarakannya. Apalagi kalau "ruang publik" yang satu ini tak melulu membicarakan untung rugi bisnis kopi, kesemarakannya bisa mengalahkan tontonan pertandingan bola.
Sudah lama, ruang publik satu ini jadi persinggahan aktivitas politik. Benar-benar hanya singgah. Hanya pengunjung. Hanya pelanggan. Mereka mumpluk bicara politik. Begitu menggebu ngomong pemimpin, keterwakilan, hingga siapa yang harus dipimpin. Owner, pemilik kedai, satu dua saja yang kecemplung. Ikut berputar dalam pusaran politik dukung mendukung.
Sejak berhembus hajatan lima tahunan, pemilihan presiden dan wakil rakyat 2019 mendominasi pembicaraan di ruang-ruang publik, pengunjung warung kopi pelan-pelan terbelah. Biasanya, kenal tidak kenal, begitu gayeng ngobrolin apa saja. Mereka juga betah duduk berlama-lama meski hanya memesan secangkir kopi dan segelas teh, lalu meminta gratisan air putih. Baru pulang kalau kompor dan listrik sengaja dimatikan penjaganya.
Makin ke sini, makin mepet April, seperti ada jurang menganga di dalam warung kopi. Ada kelompok-kelompok. Menata meja sendiri-sendiri. Seperti ada minyak dan air. Tidak pernah bisa bertemu. Malah ada yang mengubah jadwal ngopi. Mulanya ngopi malam hari, digeser jadi siang. Malam tidak mau datang karena ada kelompok ini itu yang selalu bikin pertemuan malam hari.
Warung kopi jadi ikut panas. Padahal kopi suka diseduh panas-panas. Jadilah panas kuwadrat. Tidak nyaman suasananya untuk sekadar menyeruput kopi.
Coblosan sudah rampung. Suara sedang dihitung. Isunya tak kalah panas. Ada yang bilang suara menggelembung. Ada juga yang bilang suaranya hilang sekian. Entahlah! Tak tahu pasti mana yang benar. Tapi, minimal, siapa yang bakal menang Pemilu 2019 ini sudah intip-intip dari luar jendela.
Lempar kopi sembunyikan pilihan. Apa artinya? Masih belum ketemu jawabnya. Namun, minimal, sudah keraba imajinasinya. Pengunjung/pelanggan warung-warung kopi yang semula terlelah, seperti ada jurang menganga di antara mereka, tampaknya meleh perlahan-lahan. Duduk sudah tidak saling mengelompok lagi. Sekat-sekat mereka bubarkan sendiri.
Sesekali ada yang pergi. Entah bekerja entah ada keperluan lain. Pergilah ke kasir. Membayar dengan uang lebih. Sembari berpesan kepada kasir: sisanya buat bayar pesanan kopi yang lain. Kalau kurang tinggal nagihkan kekurangannya sama mereka. Ngeloyor pergi. "Bro duluan ya..." pamitnya.
Mungkin ini melempar kopi itu. Mbayari gelas-gelas kopi punya sesama pengopi. Entah kenal entah tidak. Tapi soal pilihan, kemarin nyoblos siapa, bagaimana tokoh yang disukungnya, masih dalam diam seribu bahasa.
Eh, iya, jadi siapakah yang menang dalam coblosan kemarin? Pak Joko atau Pak Prabo? Siapa Cal...?
Husss! Jurang sudah mau nutup, jangan dibuka lagi! (widikamidi)
Advertisement