Lelucon Khas Gus Dur, dari Tegalrejo hingga Tambakberas
Tidak semua orang mempunyai rasa kemanusian tinggi. KH Abdurrahman Wahiad alias Gus Dur, merupakan kekecualian. Dalam bernegara, putra Kiai Wahid Hasyim ini mengambil saudara sesama bangsa. Sehingga pengikut Konghucu bisa bergerak bebas di negara ini sejak dirinya menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Tak heran bila Gus Dur pun mempunyaui rasa kemanusian yang sangat tinggi. Sebagai rakyat Indonesia yang sah, Konghucu mempunyai hak sama atas warga negara lainya. Sehingga haknya tidak boleh dimutilasi atau bahkan dibunuh.
Alasannya sederhana, kemanusiaan. Dari mana Gus Dur mempunyai pandangan seperti itu? Hal ini bisa dilacak dari asal-usulnya, dari kalangan santri bahkan lahir dari orang tua pengasuh pesantren. Pengasuh pesantren berhadapan dengan santri-santri dari berbagai kalangan sehingga dituntut untuk merangkul mereka.
Ada cerita menarik ketika dia berhenti dari pendidikan pesantren di Tegalrejo, Magelang. Saat berguru kepada Kiai Chudhori, Gus Dur diminta Kiai Haji Abdul Fattah Hasyim, pamannya, untuk membantu mengurus PondokPesantren Bahrul Ulum Tambakberas di Jombang pada 1959. Usia Gus Dur saat itu sudah hampr 20 tahun. Demikian yang dituturkan dalam buku Gus Dur, Siapa sih Sampeyan?
Setelah mendapatkan restu dari Kiai Chudhori, Gus Dur membantu Kiai Fattah mengurus pesantren sebagai kepala keamanan pondok. Tugas Gus Dur sebagai Kepala Keamanan saat itu sangat sederhana, meninddak santri yang melanggar peraturan, kalau perlu bisa menghukum secara langsung. Dalam bahasa santri “ditakzir”. Takzir mempunyai beberapa level di pondok, mulai dari hanya digundhul, membaca Al-Qur’an dan menguras kamar mandi serta hukuman dengan level paling tinggi adalah diusir (di-boyong-kan) dari pondok pesantren.
Santri Mencuri Kulit Beduk
Saat Gus Dur menjadi bagian keamanan pesantren, ia punya satu santri yang luar biasa nakal. “Saya gregetan sama santri nakal itu.” Kata Gus Dur. Bahkan, hal itu membuat Gus Dur niteni “mengincar” setiap kesalahan yang diperbuatnya karena begitu jengkel. Bagaimana tidak jengkel jika kulit beduk pesantren sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang.
“Siapa ini ada orang berani-beraninya mencuri kulit beduk masjid?” kata Gus Dur.
Setelah diselidiki oleh bagian keamanan, akhirnya pencuri ketemu. Dia diinterogasi oleh Gus Dur.
“Kenapa kamu mencuri kulit beduk?” Tanya Gus Dur.
Si santri menunduk. Diam saja.
“Kamu jual ya?” Gus Dur mencecar.
Belum ada jawaban.
“Biar dapat duit?” Gus Dur terus mendesak.
“Anu, Kang ”
Santri itu terbata-bata sebelum kemudian menjawab, ”digoreng buat lauk makan, jadi kricek.”
Bukannya marah, Gus Dur ternyata tertawa mendengar alasan santri itu. Si Santri tetap dihukum akan tetapi di tingkatan hukuman ringan.
Sayangnya bukan kapok, santri tersebut tetap nakal. Dia kerap sekali masuk ke kompleks pondok putri. Mengintip para santri putri. Masalahnya, tidak pernah bisa ditemukan bukti-bukti yang bisa ditemukan untuk melaporkan itu kepada Kiai Fattah.
Kenapa harus ditindak oleh Kiai Fattah. Bukan ditindak oleh Gus Dur sendiri? Sudah menjadi pandangan umum di kalangan pesantren bahwa jika santri melakukan pelanggarang berat, maka santri akan dibawa ke pengasuh langsung. Dan konsekuensi yang akan didapat adalah diusir dari pondok pesantren.
Karena selalu merasa gagal dalam “operasi tangkap tangan”, Gus Dur akhirnya memilih cara lain untuk menangkap santri nakal tersebut dengan alasan yang cukup kuat. Dalam kesimpulannya Gus Dur, jika suka mengintip perempuan, itu berarti pikiran santri tersebut mesum. Dan karenanya, pasti ada sesuatu di dalam lemarinya yang menunjukkan kemesumannya.
Akhirnya Gus Dur melakukan razia ke lemari santri putra. Pada saat itu ditemukan kutang dalam lemarinya. Ketika diselidiki ternyata itu milik salah satu santri putri. Gus Dur senang karena mempunyai bukti untuk dibawa ke Kiai Fattah.
Gus Dur kemudian pergi ke dalem Kiai Fattah dan mengeluarkan kutang milik santri nakal tersebut.
“Itu apa, Dur? Kenapa kamu bawa kutang kemari?” Tanya Kiai Fattah heran.
“Pak Kiai, ini hasil curian salah satu santri putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering mengintip ke pondok putri. Di dalam lemarinya saya temukan bukti ini.” Kata Gus Dur, “Saya dan teman-teman dari keamanan pondok sepakat, santri ini mesti segera dikeluarkan.”
“Oh begitu.” Kata Kiai Fattah.
“Santri ini nakal banget, Kiai.” Kata Gus Dur kepada pamannya.
“Lho, santri nakal, kok dilaporkan ke aku? Mau dikeluarkan lagi.” Kata Kiai Fattah. “Kalau lapor ke aku, lapor santri yang sudah baik. Sudah pintar. Biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik. Bukan malah jadi tambah nakal.” Tambah Kiai Fattah.
Mendengar itu, Gus Dur heran. “Lha, terus bagaimana ini, Kiai?” Tanya Gus Dur.
“Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat.” Kata Kiai Fattah.
Gus Dur tersenyum senang mendengarnya.
“Keluar dari pondok lalu masukkan ke sini lagi saja.” Kata Kiai Fattah menunjuk ke kediamannya sendiri
Gus Dur terkejut mendengarnya, “Maksudnya, Kiai?”
“Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku. Kamu aturlah sama teman-temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke sini.” Kata Kiai Fattah, menunjuk ke kediamannya sendiri.
Meski bingung dengan perintah pamannya, pada akhirnya Gus Dur tetap menurut. Ia mengeluarkan santri dari pondok, dan memasukkannya ke ndalem Kiai.
Pada akhirnya, karena kamarnya dekat dengan Kiai Fattah, si santri jadi orang pertama yang selalu ditemui Kiai Fattah ketika bangun dari tidur, berangkat ngaji sampai dengan shalat tahajjud.
Ketika Kiai Fattah mengajar ngaji, Si santri diberikan tugas untuk membawakan kitabnya dan menandai halaman-halamannya ketika berhenti. Dari itu ia tidak sekalipun bolos, sehingga ia dengan sendirinya belajar membaca kitab dari Kiai Fattah. Selain itu, Kiai Fattah memberikan tugas untuk menyiapkan tempat shalat kepadanya, baik shalat wajib atau shalat sunnah. Pada akhirnyanya dengan kebiasaan seperti itu dia menjadi santri yang saleh dengan mengikuti titah Kiainya.
Dengan sederhana, Kiai Fattah mengajari kepada Gus Dur bahawa ada yang lebih penting dari nalar hukum, yaitu nalar kemanusiaan.
“Ternyata di atas hukum masih perlu adanya rasa kemanusiaan.” Gus Dur menandaskan.
Menurut cerita dari K.H. Anwar Zahid, santri tersebut kemudian menjadi Kiai besar dan banyak santrinya. Suatu ketika Gus Dur dan santri nakal tersebut bertemu.
Dengan akrab Gus Dur pun bertanya, “yang kamu curi dulu warnanya apa, Nda?”
Sumber: Dari Bilik Pesantren Karya Ahmad Khadafi.