Lebih Murah, Alat Bantu Komunikasi Penderita ALS Bikinan Anak UB
Stephen Hawking, ilmuwan asal Inggris yang meninggal pada 14 Maret 2018. Dia meninggal di usia ke-76 tahun. Sejak usia 21 tahun, Fisikawan Teoretis ini menderita penyakit Amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Hawking menjadi satu-satunya orang yang bisa bertahan hidup lebih dari 50 tahun dengan penyakit ALS.
Orang yang didiagnosis terkenan ALS, angka harapan hidupnya cenderung kecil. Rata-rata mereka hanya bisa bertahan hidup sejak 3-5 tahun saat penyakit berkembang.
ALS merupakan penyakit saraf degeneratif yang mengakibatkan semua gerakan refleks atau spontan pada otot mengalami kelumpuhan. Umumnya, ALS ditandai dengan adanya kemunduran secara bertahap mematikan sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang.
Kemunduran pada penderita ALS dapat menyebabkan kehilangan kendali pada otot dan mengalami kelumpuhan. Sehingga, otot penderita tak lagi mampu menggerakkan bibir. Karenanya, penderita ALS kesulitan melakukan komunikasi secara langsung.
Dengan latar belakang tersebut, tiga orang mahasiswa angkatan 2016 Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya (Filkom UB) menciptakan sebuat alat bantu komunikasi bagi penderita ALS.
Rachmalia Dewi mahasiswa jurusan Teknik Informatika (TI) menceritakan awal mula dia bersama kedua temannya menciptakan alat bantu komunikasi yang diberi nama Electrooculography for Amyotrophic Lateral Sclerosis (E-FALS ). “Awalnya ini project kuliah untuk bisa membaca pergerakan bola mata” terangnya.
Dewi bersama Axel Elcana Duncan (Teknik Komputer), Muhajir Ikhsanushabri (Teknik Komputer) mengembangkan alat ini lebih jauh. Setelah observasi beberapa permasalahan, mereka mencoba fokus menyelesaikan permasalahan terkait dengan penderita ALS di Indonesia.
Bertemu dengan Yayasan ALS Indonesia, di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan, mereka mengetahui bahwa sebagian besar penderita masih mampu menggerakkan mata mereka untuk berkomunikasi. Selama ini para penderita ALS tersebut masih menggunakan komunikasi secara tradisional yaitu menggunakan papan atau buku album.
Mereka kemudian membuat E-FALS menyerupai kacamata. Memanfaatkan sistem Electrooculography (EOG) agar dapat membaca pergerakan bola mata dan mengenali karakter yang ditulis dari pergerakan tersebut. Hasil dari sistem ini berupa tulisan yang ingin disampaikan oleh penderita ALS, yang kemudian dikirimkan ke aplikasi E-FALS di android pengguna lain.
Sebelumnya, memang sudah ada alat bantu serupa. Meski begitu, harganya sangatlah mahal. Untuk satu full set sekitar $5000. Maka dari itu sebagian besar pasien di Yayasan ALS Indonesia memilih untuk menggunakan papan atau buku album.
Selain perbedaan harga, E-Fals memiliki juga memiliki dua fitur unggulan. Pertama fitur tambahan untuk memudahkan penderita ALS dalam mengirimkan pesan darurat ke rumah sakit tertentu dalam jaringan E-FALS. Kedua adalah fitur untuk mengetahui perkembangan dari otot mata penderita ALS secara berkala melalui grafik yang menunjukkan peningkatan atau penurunan kerja otot pada mata penderita ALS. (fjr)