Lebih Dulu Masuk Surga, Antara Sopir Angkot dan Pemuka Agama
Dari sahibul kisah, dituturuakan: dalam hari kebangkitan hidup di akhirat, tampak tiga orang pemuka agama sedang berada di depan pintu masuk menuju Surga.
Ketiganya sedang berdebat mengenai siapa di antara mereka yang lebih berhak memasuki Surga lebih dahulu.
Malaikat penjaga pintu gerbang Surga hanya memandangi ketiganya. Ia enggan memutuskan siapa yang bisa memasuki Surga lebih dulu hingga perdebatan di antara ketiganya rampung.
Secara tiba-tiba, datang seorang pemuda yang terlihat kumal dan tidak terlalu gagah. Pemuda ini langsung menuju depan pintu Surga dan meminta kepada malaikat agar bisa segera masuk.
Setelah malaikat memeriksa buku daftarnya, malaikat langsung mempersilakan pemuda itu masuk. Melihat kejadian itu, ketiga pemuka agama tercengang. Mereka tak terima lantaran pemuda itu langsung masuk begitu saja.
"Pak malaikat, itu tadi siapa? Kok langsung nyelonong masuk Surga?" tanya seorang pemuka agama.
"Itu si Ucok, pemuda rantau asal sebuah desa di ujung Sumatera," jawab malaikat.
Pemuka agama semakin bingung. Ia terus bertanya-tanya apa keunggulan pemuda asal Sumatera itu sehingga ia bisa masuk ke dalam Surga tanpa menjawab pertanyaan apa pun.
"Emang dia kelebihannya apa dibanding kami bertiga, kok nggak ditanya?" kata pemuka agama.
"Dia sopir angkot jurusan Joyoboyo-Jembatan Merah. Tukang ngebut," balas malaikat. (Rupanya, terdeteksi ulah sang sopir angkutan umum di Surabaya)
Jawaban dari malaikat semakin membuat ketiga pemuka agama bingung. "Lho, lha kami bertiga ini pemuka agama. Kami lebih berhak masuk Surga lebih dulu dibanding dia," protes pemuka agama.
Dengan cepat, malaikat menjawab, "Ah sampean bertiga ini bagaimana. Justru karena si Ucok ini tukang ngebut saat bawa Angkot membuat para penumpang selalu menyebut-nyebut nama Gusti Allah supaya nggak kecelakaan. Sampean bertiga ini sebaliknya, ketika ceramah dan khotbah bikin jamaah bosan dan ngantuk semua. Boro-boro jamaah mau berkhidmah dan ingat kepada Allah".
Ha????!!!!
Catatan:
Humor ini kerap disampaikan KH Abdurrahman Wahid semasa hidupnya. Kini, disegarkan kembali saat pandemi Covid-19 agar jiwa kita tidak tegang melulu.