Lebaran Seni
Sehari setelah Hari Raya Idul Adha alias lebaran kurban, di Jogjakarta berlangsung lebaran seni. Ditandai dengan pembukaan Artjog, sebuah pameran seni kontemporer di Jogja Nasional Museum (JNM).
Inilah peristiwa kesenian yang telah berlangsung sejak 13 tahun lalu. Sebuah daya tahan even kesenian yang bisa diandalkan. Digelar secara konsisten setiap tahun. Termasuk dengan cara online saat pandemi COVID-19 selama dua tahun.
Ini even kesenian besar yang diinisiasi oleh seorang seniman setengah gila. Heri Pemad, namanya. Setengah gila karena ia berani tutup lubang buka lubang untuk membiayai perhelatan itu. Perhelatan yang tahun ini menghabiskan biaya sampai Rp5 miliar.
Tahun ini, Artjog digelar 30 Juni-27 Agustus 2023. Mengambil tema Motif Lamaran. Sebanyak 73 seniman ambil bagian. Ada yang diundang dan ada yang melalui seleksi tim kurator. Tahun ini lebih inklusif karena disiapkan ramah difable –kecuali persoalan lift– dan ada Artjog Kid.
Pembukaannya meriah. Dihadiri Dirjen Kebudayaan Hilman Farid. Seniman dari berbagai daerah kumpul. Baik yang ikut menjadi penampil maupun yang tidak. Termasuk Gunawan Mohamad, jurnalis kawakan yang juga dikenal sebagai budayawan. Hadir juga Menkopolhukam Mahfud MD bersama Butet Kertarejasa.
Artjog telah berkembang menjadi model pertunjukan seni kontemporer yang berhasil digelar secara rutin setiap tahun. Menjadi model gotong royong para seniman dari berbagai jenis dan latar belakang. Menjadi wahana baru yang mencerahkan dan mencerdaskan. Wahana pengolah rasa.
Di luar Artjog, sejumlah seniman menggelar pameran di artspace maupun gallery di Jogja dan sekitarnya. Secara bersamaan. Karena itulah, setiap berlangsung gelaran Artjog disebut sebagai lebaran seni. Perayaannya para seniman.
Misalnya, di Museum OHD Magelang berlangsung pameran tunggal Nasirun. Bertema Perayaan Persahabatan. Di museum itu digelar karyanya yang sudah dikoleksi dr Oei Hong Djien. Hanya sedikit lukisan Nasirun disitu yang baru. Diantaranya lukisan di media 1000 peci. Karya peci Nasirun ini dijual Rp1 juta per biji.
Gelaran di Museum OHD ini seperti unjung-unjung seni. Semacam open house lebaran. Unjung-unjung dengan suguhan karya maestro. Digelar seorang kolektor yang dihormati banyak seniman sekaligus peminat karya seni. OHD hostnya, sedang Nasirun co-host.
Dihadiri para tokoh. Ada KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang dikenal kiai sekaligus seniman. Guru-guru Nasirun seperti Edi Sunaryo, Suwarno, Dwi Mariyanto, Sudarisman, dan Agus Kamal. Diisi pidato kebudayaan Inayah Wahid dan pembacaan puisi karya penulis muda Sarah Monica oleh Sosiawan Leak.
Gojekan mentes mewarnai unjung-unjung seni ini. Trio pemandu acara yang terdiri dari Ampun Sutrisno, Putu Sutawijaya dan Bambang Heras menjadikan suasana begitu cair dengan gojlokan-gojlokan bernasnya. Mulai dari ngerjai OHD yang kata Nasirun tak tahu caranya pakai sarung sampai “sabotase” Nasirun memborong peci di Jogja.
Bagi saya pembukaan Artjog dan Pameran Nasirun di OHD ini ibarat peristiwa salat Idul Fitri dengan unjung-unjung. Artjog upacara ritualnya, pameran halal bihalalnya. Di acara Artjog lebih formal dan resmi, sedangkan di Museum OHD lebih renyah dan informal. Di Artjog ada ritual yang harus diikuti, di OHD lebih intimate dan bebas.
Tapi itu hanya pengamatan dari yang tampak. Kalau ingin melihat ke dalam, keduanya memang ada perbedaan yang perlu mendapat renungan bersama. Ada ekosistem yang berbeda antara peristiwa yang menyangkut seni kontemporer dengan dunia seni rupa.
Artjog adalah gelaran seni kontemporer. Pameran karya seni yang berbentuk lukisan, patung, fotografi, instalasi, pertunjukan, dan video yang diproduksi pada masa sekarang atau hari ini. Sedangkan senirupa lebih menunjuk kepada karya seni lukis.
Pemeran seni rupa lebih menjadi ruang presentasi karya para perupa. Bisa berbentuk pameran tunggal atau bersama dan bertema. Sedangkan pameran seni kontemporer lebih menjadi pertunjukan karya seni. Pameran lukisan berbeda dengan gelaran seni kontemporer.
Pameran seni rupa sudah terbentuk ekosistemnya melalui jaringan pelukis, kurator, kolektor dan galeri. Semuanya sudah menjadi sebuah sistem yang bisa menjamin transaksi karya dari para seniman. Bahkan, kolektor dan galeri bisa menjadi pencipta valuasi dari karya seni.
Bagaimana dengan seni kontemporer? Tampaknya masih jauh dari panggang api untuk terbentuknya ekosistem yang berkelanjutan. Even seni kontemporer masih belum bisa hidup dari dirinya sendiri. Ia belum melahirkan sistem yang membuat seniman dan pemerannya tertopang dengan karya mereka.
Ini yang terjadi pada Artjog. Event pertunjukan seni kontemporer yang sudah berjalan lebih dari satu dekade itu masih memendam problem berat untuk sustainabilitasnya. Masih amat tergantung kepada “kegilaan” Heri Pemad sebagai penyelenggaranya.
“Artjog ini bagus luarnya. Dalamnya remuk. Heri Pemadnya yang remuk. Ia masih harus menanggung problem keuangan untuk bisa menghidupinya,” kata Bambang Paningron, seniman yang banyak bergulat dengan even kesenian.
Padahal, Artjog telah memberikan kontribusi besar secara material. Seperti diungkap Heri Pemad, ada yang meneliti dampak ekonomi dari kegiatan Artjog dalam PDRB (Product Domestic Regional Bruto) DIY. Kegiatan yang menghabiskan biaya Rp5 miliar ini diperkirakan bisa menghasilkan multiplier effect sampai Rp5 triliun.
Namun, valuasi Artjog belum bisa diandalkan. Sponsor baru menyumbang 30 persen dari total biaya. “Lihat saja, mana dari daftar sponsor Artjog ini yang besar. Tidak banyak. Itu pun nilainya masing-masing di bawah Rp100 juta,” kata Pemad.
Kontribusi terbesar, menurutnya, adalah Pegadaian. Sebab, anak perusahaan BRI ini yang meminjami modal untuk penyelenggaraan Artjog. Nah, ketika terkena pandemi Pegadaian merestrukturisasi hutangnya. “Karena itu, ia saya tempatkan sebagai sponsor besar,” tambahnya.
Valuasi sponsor di dunia kesenian kontemporer ini sangat jauh dibandingkan dengan pertunjukan musik. Banyak perhelatan musik yang mendapatkan dukungan sponsor jauh dsri itu. Ini artinya, pertunjukan musik dianggap lebih memberikan keuntungan bisnis bagi sponsor ketimbang seni kontemporer.
Pendapatan lainnya dari tiket penonton. Menurut dia, tahun ini, Artjog menargetkan 60 ribu penonton. Harga tiket kali ini Rp75 ribu. Sementara itu, berbeda dengan pemeran lukisan, Heri Pemad mengaku tidak memperoleh pendapatan dari hasil penjualan karya. “Instalasi siapa yang beli,” timpal dia.
Gunawan Mohamad sampai mengaku selalu terharu setiap hadir di Artjog. Terharu karena selalu ada karya baru. Ini membuktikan kreatifitas hidup meski terkadang membingungkan. Terharu karena melihat banyak anak muda yang menonton Artjog.
‘’Dan juga terharu karena Heri Pemad selalu tombok dan kebingungan mencari tempat. Terharu karena totalitas para seniman yang ikut dalam Artjog ini. Tentu, dana yang disediakan tidak cukup untuk membuat karya mereka. Pasti mereka mengeluarkan dana dan tenaga untuk ini,’’ tambahnya.
Barangkali, dalam jangka panjang, gelaran seni kontemporer masih butuh orang setengah gila seperti Heri Pemad. Sampai pada saatnya, dunia bisnis dan industri memberi valuasi yang tinggi akan even seperti ini. Sampai pada pemerintah membangunkan infrastruktur pameran dan museum yang memadai. Sampai ekosistemnya bisa menopang seni kontemporer secara mandiri.
Kali ini, kita mungkin masih bisa menikmati Artjog dengan senang hati. Bahkan menggerakkan seniman sehingga menjadi lebaran seni. Namun –seperti kata Gunawan Mohamad– kesenangan itu masih disertai rasa haru karena di balik even yang berdampak besar itu ada pihak yang remuk dan harus nomboki.
Dunia kesenian memang masih sering dianggap sebelah mata oleh para pengambil kebijakan kita. Atau memang dunia kreatif di negeri ini tidak pernah boleh bergantung ke institusi resmi dan berkuasa. Para seniman tetap harus membangun rumahnya sendiri. Tapi sampai kapan?