Lebaran Natal di Budapest
Minggu kemarin waktu setempat puluhan Santa Claus berlari kecil di tepi Sungai Danube. Di bawah suhu minus 1 derajat Celsius. Tentu bukan Santa Claus sesungguhnya. Tapi orang-orang yang mengenakan baju Santa Claus. Mulai dari orang tua sampai dengan anak-anak.
Sungai Danube adalah sungai besar yang membelah kota Budapest. Sungai ini yang membuat Ibukota Hungaria menjadi kota yang indah. Menarik wisatawan dari banyak negara. Sungai yang memisahkan sisi kanan dengan sebutan Buda dan sisi kiri dengan sebutan Pest.
Di sisi Buda terdapat sejumlah bangunan kuno. Sisi ini banyak perbukitan. Sedangkan di sisi kiri sungai itu bangunan-bangunan baru berdiri. Juga pusat kotanya. Termasuk Gedung Parlemen yang megah. Yang dipercantik dengan bentangan jembatan Rantai Szechenyi yang menghubungkan antara sisi Buda bagian barat dan Pest bagian Timur.
Di ibukota Hungaria ini, perayaan Natal memang datang lebih dini. Di berbagai pelosok kota terlihat lampu hias menyambut hari besar umat Kristiani tersebut. Tempat-tempat publik bersolek dengan atribut perayaan hari besar mereka. Termasuk dirayakan dengan lari santai Santa Claus di cuaca yang sangat dingin itu.
Tak terkecuali pusat kota yang menjadi jujugan para wisatawan: Fashion Street Budapest. Pusat perbelanjaan ini sudah dipenuhi dengan asesoris Natal. Juga, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjual makanan khas dan souvenir di alun-alunnya: Vorosmaty Square. Mereka menyebutnya dengan Christmast Market.
Tidak hanya di sekitar Fashion Street Budapest yang berjajar toko-toko barang branded itu bersuasana perayaan Natal. Tapi juga di depan Gereja Basilika Budapest. Dua tempat ini selalu menjadi pusat Christmast Market sejak jelang bulan Desember sampai dengan tahun baru.
Suasana Natal memang terasa sangat berbeda di beberapa negara Eropa. Juga sangat berbeda dengan di Indonesia. Meski spirit beragama di Eropa semakin menyusut, namun Natal tetap menjadi even penting setiap tahun. Inilah lebarannya mereka. Menjadi hari-hari liburan mereka.
Rupanya, Natal bagi masyarakat Eropa bukan lagi sebagai hati besar keagamaan. Ia menjadi lebih seperti hari-hari perayaan. Masa-masa bersenang-senang dan berkumpulnya keluarga. Maka, pada bulan-bulan seperti ini, semua penerbangan dan hotel menjadi mahal harganya. Semacam festival.
Sebelum ke Budapest, seminggu saya di Inggris. Mulai dari London, Manchester, Liverpool, Glasgow dan Edinburgh. Mayoritas dari pendudukan Inggris Raya adalah Kristen Protestan. Mulai dari aliran Anglikan, Presbiterian dan Metodis. Hanya sedikit menjadi pengikut Katolik dan Kristen Ortodok.
Di berbagai kota itu, sejak akhir Desember sudah bermunculan asesoris kota bernuansa Natal. Apalagi, setiap momentum demikian selalu diringi dengan monetisasi hari keagamaan untuk duan belanja dan perdagangan. Di Inggris ada Black Friday, sebutan untuk The Great Sale atau pesta diskon.
Saya ke Inggris dan Hungarai bukan untuk menyaksikan perayaan Natal itu. Tapi untuk menghadiri wisuda anak yang selesai program post graduate di University of Glasgow dan nyambangi anak yang sedang dapat beasiswa satu semester di Eszterhazy Karoly Catholic University di Eger. Namanya Nizar Mohamad Afandi.
Anak saya yang di Indonesia menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu belajar seni rupa murni di kampus ini. Kampus yang berdiri sejak 1774 ini memang menjalin kerjasama dengan ISI Yogyakarta. Mereka saling tukar menukar mahasiswa setiap tahunnya. Setiap tahun, kampus ini juga mengirim mahasiswanya ke Jogja.
Tahun ini, kampus yang banyak melahirkan seniman di Indonesia itu mengirim dua orang mahasiswa. Selain Nizar, ada Ibra Aghari Muin. Kebetulan keduanya sama-sama dari jurusan Seni Rupa Murni. Mereka dibiayai melalui program Erasmus Plus. Baik biaya kuliah maupun biaya hidup selama satu semester di kota yang berjarak tempuh dua jam dengan kereta dari Budapest ini.
Selain dua orang mahasiswa ISI, juga ada mahasiswa UPN Yogyakarta yang mengikuti program pertukaran mahasiswa di Hungary. Dia adalah Siti Nur Azizah Ikhwani. ‘’Mestinya kami berdua berangkat ke sini. Tapi permohonan visa teman saya ditolak karena sesuatu hal. Akhirnya saya sendiri,’’ katanya.
Perempuan yang biasa dipanggil Eji ini mahasiswa Fakultas Pertanian UPN Yogyakarta. Karena itu, ia juga mengambil kuliah pertanian di Eger. ‘’Namun, peserta kuliah pertanian di sini sangat sedikit. Bahkan, saya sering sendirian di kelas. Saya dan dosennya,’’ kisahnya menceritakan perkuliahannya selama di Hungary.
Mereka bertiga tinggal di dalam asrama kampus. Bersama para mahasiswa internasional lainnya. Ada dari Yaman, Maroko, India, Columbia, Turki, dan Malaysia. Kampusnya ada dua tempat. Di pusat kota yang menjadi kantor pusatnya. Di depan kantor pusat yang megah dan kuno ini berdiri Gereja Basilika yang begitu besar.
Saya sempat juga berkunjung ke Eger. Ini kota di selatan Budapest. Daerah berbukit-bukit. Dari kampus tempat tiga mahasiswa Yogyakarta itu kuliah, bisa menyaksikan pusat kota yang indah. Mereka harus jalan 20 menit kalau ingin ke tengah kota.
Tapi jangan bayangkan kota Eger seramai Yogyakarta. Ia seperti kota kecamatan. Penduduknya hanya ratusan ribu. Lebih sedikit dari penduduk satu kecamatan terbesar di Surabaya seperti Tambaksari. Karena itu, hari-hari biasa terasa amat sepi. Hanya akhir pekan, banyak wisatawan dari Budapest dan kota lainnya.
Di kota inipun juga terasa suasana Natalnya. Apalagi, saat saya mengunjungi kota ini, masih ada sisa salju yang turun dua hari sebelumnya. Akibatnya suasana Natal seperti digambarkan film-film Barat menjadi terasa. Christmast Market juga digelar di alun-alun yang tampak kabut di siang hari.
Ada taman seluas tiga hektar di antara stasiun kereta dan pusat kota. Inilah menjadi tempat bermain anak-anak dan keluarga. Namun, siang itu, tak banyak terlihat orang yang sedang bermain di taman. Padahal akhir pekan. Hanya tampak beberapa ruas memutih oleh gumpalan salju yang tersisa.
Saya membayangkan betapa susahnya hidup di daerah yang punya empat musim seperti di Eger atau Hungaria ini. JIka musim panas, terkadang panasnya bukan main. Bisa sampai 40 derajat Celsius. Sementara, gedung-gedung tidak dipersiapkan mesin pendingin. Yang disiapkan mesin penghangat.
Barangkali karena itu, Natal menjadi hiburan yang menjanjikan setiap tahunnya. Ia menjadi pengharapan baru dalam menghadapi alam yang tidak bersahabat dengan kehidupan normal. Apalagi bagi mereka yang hidup di negeri tropis. Ia menjadi festival yang membahagiakan di tengah iklim yang menggigilkan.
Saya pernah ke Budapest bersama rombongan Wakil Gubernur Jawa Timur (Saifullah Yusuf alias Gus Ipul), saat itu. Tentu ketika ia masih menjabat sebagai orang kedua di Jatim. Namun, saat itu tak merasakan kegembiraan seperti sekarang. Selain karena pas tidak berbarengan dengan Lebaran Natal yang meriah, juga karena dalam perjalanan dinas. Atau karena kali ini saya pergi bersama istri.
Rasanya memang lebih asyik mengunjungi Eropa di musim Natal dini seperti ini. Bisa menyaksikan kegembiraan orang-orang di tengah cuaca menggigil yang mendera mereka. Mereka punya cara merespon lingkungan alam yang melingkupinya. Respon itulah yang membentuk budaya.
Karena itu, jangan pernah berpikir menyeragamkan apa yang ada dunia. Yang dihadapi masing-masing berbeda. Maka responnya dalam bentuk kebiasaan yang disebut budaya pasti berbeda. Yang sama hanyalah manusia yang mempunyai akal. Disinilah ilmu menjadi jembatannya.