Lebaran Ketupat Bid'ah Haram? Ini Jawaban untuk Ustadz Wahabi
Kedatangan Islam di Bumi Nusantara tanpa melalui jalan kekerasan, perang dan tekanan politik, tak lain karena para juru dakwah dengan tekun mempertimbangkan faktor budaya. Apresiasi terhadap nilai budaya menjadi kentara ketika dakwah di Tanah Jawa dipelopori Walisongo hingga berkembang pesat hingga ke wilayah Nusantara.
Sayangnya, jalan dakwah damai yang demikian kini dicabik-cabik para ustadz Salafi - Wahabi, yang dengan mudah membid'ah-bid'ahkan makna nilai budaya dan ritual.
Sebagai hobi membid'ahkan, belakangan atas kasus Lebaran Ketupat, tradisi masyarakat di Nusantara yang membikin ketupat sebagai apresiasi pada hari ketujuh bulan Syawal.
Benarkah demikian itu bid'ah? Berikut ustadz Ma'ruf Khozin, Ketua Aswaja NU Center Jawa Timur memberikan jawabannya:
Para ustadz yang ditanya tentang Hari Raya Ketupat tidak pernah menyelidiki dan mencari tahu lebih jauh. Hanya mendengar nama ‘Hari Raya’ langsung menjawab Bid’ah karena di dalam Islam tidak ada hari raya selain Idul Fitri dan Idul Adha. Nabi pun tidak melakukan perayaan apapun setelah Syawal dapat 7 hari.
Terkadang memang ada sebagian ulama yang secara spontanitas menjawab tapi kemudian meralat setelah meneliti hakikat pertanyaan.
Hari Raya Ketupat bukan tambahan ibadah, tidak ada unsur-unsur ibadah sama sekali. Hanya sekedar bentuk menghantar sedekah makanan berbentuk ketupat. Bagaimana hukum perayaan semacam ini?
Berikut ringkasan fatwa ulama Al-Azhar, Mesir:
ﻣﺎ ﺭﺃﻯ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻰ اﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺪﻭﻝ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩ ﻣﺜﻞ ﺃﻋﻴﺎﺩ اﻟﻨﺼﺮ ﻭﻋﻴﺪ اﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭﻋﻴﺪ ﺭﺃﺱ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ؟
Apa pandangan Islam tentang perayaan di sebagian negara seperti memperingati hari kemerdekaan, hari buruh, perayaan awal tahun dan sebagainnya?
Syekh Athiyyah, Mufti Mesir, menjawab:
ﻭﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩﻳﻨﻰ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻌﻴﺪﻯ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻷﺿﺤﻰ، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮﺹ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻭاﻹﺳﺮاء ﻭاﻟﻤﻌﺮاﺝ ﻭاﻟﻤﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻮﻯ
(Hukum Memperingati Hari Besar) kaitannya dengan agama ada 2. Pertama, adalah dijelaskan dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Kedua, tidak dijelaskan dalam agama seperti hijrah, Isra’ dan Mi’raj, serta Maulid Nabi
ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﺆﺩﻯ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻯ ﺷﺮﻉ، ﻭﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻠﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻔﺎﻥ، ﻣﻮﻗﻒ اﻟﻤﻨﻊ ﻷﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﻣﻮﻗﻒ اﻟﺠﻮاﺯ ﻟﻌﺪﻡ اﻟﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻪ
Perayaan yang dijelaskan dalam Islam hukumnya disyariatkan dengan syarat dilakukan sesuai perintahnya. Dan perayaan yang tidak dijelaskan dalam Islam maka bagi umat Islam ada 2 pendapat. Ada yang melarang karena dianggap Bid’ah. Ada juga yang membolehkan karena tidak ada dalil yang melarangnya.
ﻓﺎﻟﺨﻼﺻﺔ ﺃﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﺄﻳﺔ ﻣﻨﺎﺳﺒﺔ ﻃﻴﺒﺔ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻐﺮﺽ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻭاﻷﺳﻠﻮﺏ ﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻻ ﺿﻴﺮ ﻓﻰ ﺗﺴﻤﻴﺔ اﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺑﺎﻷﻋﻴﺎﺩ، ﻓﺎﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺴﻤﻴﺎﺕ ﻻ ﺑﺎﻷﺳﻤﺎء
Kesimpulannya. Apapun bentuk perayaan yang baik adalah tidak apa-apa, selama tujuannya sesuai dengan syariat dan rangkaian acaranya masih dalam koridor dalam Islam. Boleh saja peringatan itu disebut perayaan. Sebab yang dinilai adalah subtansinya, bukan namanya (Fatawa Al-Azhar, 10/160)
Sekali lagi, Hari Raya ketupat hanya sekedar bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dengan menyuguhkan makanan khas, ketupat, dinikmati bersama setelah puasa sunah 6 hari bulan Syawal.
Tapi bukankah Nabi hanya mengakui 2 hari raya dan tidak mengakui selain Idul Fitri dan Idul Adha? Nabi bersabda:
«ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﻭَﺇِﻥَّ ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻫَﺬَا اﻟﻴَﻮْﻡُ»
“Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita” (HR Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Bahkan Antar Para Sahabat Pun Saling Bertabarruk Satu Sama Lain
Mufti Al-Azhar juga menjawabnya:
ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻧﺺ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﻔﺮﺡ ﻭاﻟﺴﺮﻭﺭ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻌﻴﺪﻳﻦ، ﻓﻘﺪ ﺳﺠﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺮﺡ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻨﺼﺮ اﻟﻠَّﻪ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺮﻭﻡ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻐﻠﻮﺑﻴﻦ ” ﺃﻭاﺋﻞ ﺳﻮﺭﺓ اﻟﺮﻭﻡ “.
Tidak ada dalil yang melarang untuk menampakkan rasa bahagia di selain 2 hari raya tersebut. Sungguh Al Qur’an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yang diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yang dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum (Fatawa Al-Azhar, 10/160)
Demikian wallahu a'lam.
Advertisement