Lebaran di Groningen, Ramadhan ala Negeri Ratu Wilhelmina
Hari Raya Idhul Fitri merupakan salah satu momen penting bagi seluruh umat muslim di dunia. Setelah satu bulan berpuasa, Idhul Fitri adalah waktu melepas dahaga.
Begitupula bagi orang Indonesia, negara yang terkenal dengan negara muslim terbesar di dunia. Hari Raya Idhul Fitri atau sering diucap Lebaran, menjadi ajang untuk merayakan kemenangan setelah khusyuk puasa.
Tahun 2019 ini, Lebaran di Indonesia jatuh pada tanggal 5 Juni 2019 setelah ditetapkan oleh Pemerintah melalui sidang isbat Kementerian Agama. Meski, Muhammadiyah telah menetapkan jauh-jauh hari. Bahkan, jamaah Aboge sudah melakukan Lebaran sehari sebelumnya, tepatnya pada 4 Juni 2019.
Sehingga momen Lebaran adalah momen penting bagi orang Indonesia baik muslim maupun non-muslim. Begitupula bagi orang Indonesia yang sedang dalam perantauan di negeri nan jauh di mato.
Salah satunya di negeri kincir angin, Belanda. Ribuan masyarakat Indonesia yang beragama islam, terpaksa harus menjalani bulan Ramadhan dan Hari Raya Idhul Fitri jauh dari sanak keluarga. Berbagai alasan menjadi landasan mereka tak bisa mudik ke Indonesia.
Ribuan diaspora Indonesia tersebut tersebar di puluhan kota besar maupun kecil di Belanda. Salah satunya di Groningen, Kota besar di utara Belanda.
Perbedaan waktu kurang lebih 7 jam dengan Indonesia, membuat WNI di Groningen dan Belanda umumnya merasakan susahnya menjalani Ramadhan di Eropa.
Bagaimana tidak, Ramadhan 2019 ini, Eropa sedang musim panas, dan itu membuat matahari tetap bersinar hingga pukul 8 malam. Sehingga diaspora Indonesia harus berbuka pada pukul 9 malam. Tak lama kemudian, pukul 3 pagi, mereka langsung melaksanakan sahur.
Bahkan, buka puasa terakhir sebelum Idhul Fitri jatuh pada jam 10 malam.
Hal itu diungkapkan oleh salah satu diaspora Indonesia asal Surabaya yang sedang mengenyam pendidikan S2 di Groningen, Zerry A. Yudisetyo.
Bagi Zerry, perbedaan waktu buka dan sahur yang tak terlampau jauh membuatnya terkadang tak tidur agar tak telat saat santap sahur.
Salah satu faktor yang membuat para diaspora agak kesusahan yakni kumandang adzan yang tak bisa mereka dengar hingga kediaman para diaspora.
"Adzan ada, cuma berkumandang hanya di dalam masjid saja," ujar Zerry.
Budaya berbuka bersama pun tak bisa setiap saat digelar. Alasan kesibukan dan jarak menjadi poin utama saat berpuasa di Belanda.
Menurut pria lulusan Universitas Airlangga tersebut, buka bersama lebih sering diadakan oleh kawan-kawan terdekat saja.
"Ya kalau rindu dengan suasana Indonesia pasti, namun sedang berjuang semua harus bisa dilewati," lanjutnya.
Ini adalah bulan Ramadhan pertama bagi Zerry yang ia lewati di benua biru. Meski begitu, bukan alasan bagi Zerry untuk tak menunaikan ibadah di bulan puasa ini.
Bahkan beberapa kali ia datang ke salah satu dari dua masjid utama yang berada di Groningen. Yakni di masjid Turki 'Moskee Eyüp Sultan Camii' yang berada di daerah Korreweg, untuk melakukan i'tikaf.
Namun perbedaan yang mencolok saat i'tikaf di Indonesia dan Belanda adalah tak banyaknya umat muslim yang melakukan i'tikaf.
"Ibadah i'tikaf di sini tidak se hiruk pikuk di Indonesia. Itu perbedaan mencolok," lanjut pria asal Gayungan tersebut.
Tak ada mercon khas anak-anak Indonesia selepas i'tikaf ataupun tarawih. Tak ada pasar tumpah ala gang-gang Indonesia. Bahkan tak ada budaya Sahur on The Road di jalan-jalan utama.
Paling mencolok, tak ada bunyi teng-teng-teng milik satpam komplek ataupun suara pemuda keliling kampung mengingatkan sudah masuk waktu sahur.
Selain itu, untuk ibadah Salat Jumat selama Ramadhan, mayoritas diaspora Indonesia di Groningen melaksanakan Salat bersama di gedung serbaguna 'De Plutozaal'.
Salat jumat saat Ramadhan di De Plutozaal hanya dilaksanakan hanya 3 kali pada tanggal 10, 24, dan 31 Mei 2019. Karena jamaah mayoritas WNI, maka khatib pun adalah orang Indonesia.
Namun di Masjid lainnya, Salat jumat tetap dilaksanakan 4 kali. Sehingga WNI yang berdomisili dekat dengan masjid umum di Groningen, tetap melaksanan Salat Jumat 4 kali.
Di gedung 'De Plutozaal' ini pula, para WNI di Groningen juga melaksanakan Salat Ied pada pagi Hari Raya Idhul Fitri.
Berbeda dengan Lebaran di Indonesia yang jatuh pada tanggal 5 Mei 2019, Idhul Fitri di Belanda, diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 2019. Hal itu sesuai dengan arahan para Ulama di Eropa dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kerajaan Belanda.
Meskipun ada perbedaan tanggal pelaksanaan Idhul Fitri antara Belanda dan Indonesia, namun adat silahturahmi tetap dilaksanakan.
Selepas Salat Id, para jamaah melakukan salam-salaman dan berbincang. Ya seperti di Indonesia lah.
"Itu sudah budaya nusantara, pasti langsung ada seperti itu," ujar Zerry.
Selain di kota masing-masing, biasanya para WNI di Belanda bisa melakukan Salat Id dan Silaturahmi di KBRI Belanda yang berada di Kota Den Haag.
"Sabtu besok ada halal bihalal WNI, sehingga budaya kita tidak akan bisa hilang meski sedang berada di negeri orang," pungkas Zerry.
Hal itu sesuai dengan lirik lagu Tanah Air, 'Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanah ku cintai engkau ku hargai'
Beribu-ribu kilometer meninggalkan bumi pertiwi, bertahun-tahun tak menginjakan kaki di negeri surgawi. Budaya dan kebiasaan khas Indonesia tak akan bisa hilang meski badan telah mati.
*Diberitakan oleh Zerry A. Yudisetyo, Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang sedang menempuh S2 Public International Law di University of Groningen, tahun 2018.
Tak ada mercon khas anak-anak Indonesia selepas i'tikaf ataupun tarawih. Tak ada pasar tumpah ala gang-gang Indonesia. Bahkan tak ada budaya Sahur on The Road di jalan-jalan utama.Paling mencolok, tak ada bunyi teng-teng-teng milik satpam komplek ataupun suara pemuda keliling kampung mengingatkan sudah masuk waktu sahur.
Advertisement