Layla Majnun, Kisah Cinta yang Mengharukan
KH Husein Muhammad punya kisah tentang Majnun. Kisah cinta yang melegenda. Begini:
Dalam gulita malam yang hening, Majnun mendengar Layla memanggil-manggil dirinya dengan suaranya yang memelas. "Qais, Qais. Oh Qais, di manakah kau. Kemarilah sayangku".
Ia memendam rindu yang tak tertahankan.
Majnun mencari-cari suara itu ke seluruh pelosok hutan. Dia berjalan tanpa lelah. Bila Layla tak dijumpai di sana, ia bergegas datang ke arah rumah Layla.
Ia memberanikan diri dengan menerima seluruh risiko yang terjadi, termasuk kematian. Ia juga tak lagi peduli dengan tubuhnya yang kotor dan berbau tak sedap, serta rambutnya yang telah menjadi gimbal, atau gembel dengan bau yang menyengat.
Bila malam kemudian menjelang, ia segera menyalakan kayu. Dan dengan obor kayu di tangan. Ia berjalan terus menuju rumah Layla.
Layla yang di dalam rumah merasa kekasihnya akan datang. Ia memang terus menyebut nama Majnun dalam rintihan yang memelas. Ia mengintip ke luar. Dadanya bergemuruh keras, berdegup-degup kencang.
Saat matanya melihat Majnun di depan halaman rumahnya sambil memegang obor kayu dengan api yang menyala-nyala. Dia membuka pintu. Kini dia tak takut lagi kepada ayahnya bila nantinya mengetahui pertemuan itu. Dia sudah siap menerima hukuman apapun.
Saat bertemu mata Majnun tak berpaling dari mata Layla. Mata Layla juga terus menatap mata Qais. Api kayu bakar menjalari tangan Majnun. Tetapi majnun tak merasakannya. Dirinya telah hilang dalam Layla.
Masih dalam saling menatap, Lyla seperti tak percaya kekasihnya datang, lalu bertanya : “Qais?. Kamu Qais?”.
Majnun berteriak keras. Suaranya mengguncang dedaunan pohon di sekitarnya : “Bukan. Aku Layla”. “Aku bukan Qais. Aku Layla. Aku Layla!”.
“Aku adalah Kau”. Qais mengalami ekstasi : “Hulul”, “Ittihad” dan “Fana” (hilang bentuk, lebur). Hatinya larut menyatu di dalam hati Layla.
Qais al-Majnun itu jatuh, semaput saat bertemu Layla, kekasihnya. Pandangan matanya menghunjam jantung hati Qais.
Layla terguncang keras. Syok berat. Ia tak bisa berkata apa-apa. Bisu. Bahkan tak bisa lagi menangis. Air matanya telah terkuras sejak kemarin, dan tak lagi tersisa. Tubuhnya kaku. Ia pun terkulai dan jatuh. Ia tak lagi bisa menjerit. Suaranya telah lama habis.
Qais, si “gila” itu akhirnya tak lagi bernafas. Ia mati. Tubuhnya dingin.
Esok hari yang sunyi- sepi Layla menyusul kekasihnya, pulang. Bibirnya mengembang senyum yang sangat indah. Ia tampak begitu cantik jelita. Wajahnya berbinar-binar. Bercahaya.
Ia ditidurkan di samping Qais, seperti bisiknya kepada ibunya sebelum nafasnya berhenti. "Tidurkan aku di samping Qais".
Di atas lempung dua pusara bersahaja itu, tumbuh pohon yang dahan dan rantingnya saling melilit, lalu berbunga. Wanginya memenuhi ruang dan waktu.
“Di sini kami tak lagi dapat dipisahkan. Cinta kami abadi”.
26.09.18
HM
Advertisement