Lawan Rusia, Muslim Chechnya - Tatar - Ukraina pun Bersatu
Perang Ukraina-Rusia ternyata memperhadapkan kelompok-kelompok Islam di kedua sisi yang berseberangan. Paramiliter Muslim Chechnya pimpinan Ramzan Kadyrov ada di pihak Rusia dan di pihak Ukraina ada pejuang-pejuang Muslim asal Chechnya dan Tatar.
Pemimpin Republik Chechnya, Ramzan Kadyrov, yang dikenal sebagai salah satu sekutu paling setia Presiden Vladimir Putin, mengumumkan di saluran Telegramnya bahwa anak buahnya akan bertempur di “titik terpanas di Ukraina.”
Namun beberapa analis militer meragukan apakah “bualannya” di media sosial itu secara akurat mencerminkan kinerja pasukannya di medan perang.
Di seberang garis depan, sekelompok orang Chechen lainnya juga ikut dalam perang — tetapi mereka berniat mempertahankan Ukraina dari invasi Rusia.
“Warga Ukraina yang terhormat, tolong jangan melihat orang-orang itu sebagai orang Chechen,” kata Adam Osmayev, seorang pemimpin Chechnya di pengasingan, dalam sebuah video yang diterbitkan di media sosial, merujuk pada tentara Kadyrov. “Mereka pengkhianat … boneka Rusia.”
Berdarah-Darah dalam Perang
“Orang-orang Chechen sejati berdiri bersamamu, berdarah-darah bersamamu, seperti yang mereka lakukan dalam delapan tahun terakhir,” katanya sambil memegang pistol dan berdiri di samping tiga pria bersenjata lainnya dengan wajah bertopeng.
Osmayev memimpin Batalyon Dzhokhar Dudayev –diambil dari nama mendiang pemimpin pemberontak Chechnya. Kelompok ini merupakan salah satu dari dua kelompok sukarelawan Chechnya yang dikenal publik berperang melawan separatis yang didukung Rusia dan pasukan Rusia di Ukraina sejak 2014. Yang lainnya disebut Batalyon Sheikh Mansur dan dipimpin oleh seorang komandan bernama Muslim Cheberloevsky.
Identitas dan jumlah pasti relawan Chechnya tidak diketahui. Tetapi kebanyakan dari mereka diyakini sebagai orang-orang yang meninggalkan Chechnya, baik setelah berakhirnya perang di sana pada tahun 2003 atau yang telah lolos dari kekuasaan despotik Kadyrov selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2013, Pemerintah Ukraina, yang saat itu merupakan sekutu Moskow, memenjarakan Osmayev karena merencanakan untuk membunuh Putin—tuduhan yang dibantahnya. Ketika dia dibebaskan setahun kemudian, dia pergi ke wilayah Donbas untuk melawan separatis pro-Rusia.
Media Barat Bersuara
Baik media Rusia maupun Barat telah melaporkan dugaan adanya hubungan antara Batalyon Sheikh Mansur dan “Negara Islam” (ISIS).
Ketika tentara Putin mulai berbaris menuju Kyiv, para pemimpin kedua batalyon, bersama dengan ribuan pejuang sukarelawan asing lainnya, mengumumkan bahwa mereka akan terus mempertahankan Ukraina melawan “musuh bersama mereka.”
Tekad mereka untuk membantu Ukraina di tengah invasi Rusia yang sedang berlangsung berasal dari kesamaan yang mereka lihat antara apa yang dialami Ukraina dan nasib mereka sendiri.
Sejarah yang panjang dan penuh kekerasan
Chechnya, sekarang menjadi Republik Rusia, merupakan rumah bagi penduduk mayoritas Muslim sering memiliki sejarah yang rumit dan seringkali penuh kekerasan dengan Moskow.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, Rusia mengobarkan dua perang yang menghancurkan untuk menjaga agar Chechnya tidak merdeka, tujuan yang telah dicita-citakannya sejak runtuhnya Uni Soviet. Konflik pertama pecah pada tahun 1994 ketika Rusia mengirim pasukan ke Republik Chechnya demi menggagalkan upayanya untuk melepaskan diri. Pertempuran berhenti hanya dua tahun kemudian, pada tahun 1997, setelah penandatanganan perjanjian damai pada bulan Agustus 1996.
Namun pada tahun 1999, tentara Rusia kembali setelah serangkaian serangan teror mematikan yang dilakukan oleh panglima perang Chechnya di wilayah Rusia. Perang baru meletus, yang berlangsung selama 10 tahun dan berpuncak pada pengepungan Grozny oleh pasukan Rusia, yang mengakibatkan kehancuran besar dan korban puluhan ribu rakyat sipil.
Dua tahun pertama perang itu bertepatan dengan naiknya Putin ke tampuk kekuasaan. Fase aktif perang berakhir pada April 2000. Dua bulan kemudian, Putin menunjuk Akhmad Kadyrov sebagai kepala Republik Chechnya, yang akan memerintah sampai dia dibunuh oleh pemberontak Islam pada 2004.
Putranya Ramzan Kadyrov menjadi pemimpin Chechnya pada 2007 dan tetap menjabat sejak itu.
Di bawah pemerintahan Kadyrov, hak asasi manusia telah memburuk ketika para kritikus, aktivis, dan jurnalis menghadapi tindakan keras. Dia diduga terlibat dalam pembunuhan beberapa kritikus di luar Chechnya, termasuk Zelimkhan Khangoshvili, mantan komandan militer yang ditembak mati di Berlin pada 2019.
“Dapat dikatakan bahwa sebagian besar diaspora Chechnya meninggalkan tanah air mereka setelah Kadyrov berkuasa, bukan selama perang,” kata Marat Iliyasov, seorang peneliti di Universitas Vytautas Magnus Lithuania, dikutip dw.com.
Membawa kembali kenangan Chechnya
Bagi banyak orang Chechnya yang diasingkan, Putin memperlakukan orang Ukraina seperti dia memperlakukan mereka.
“Upaya Moskow hari ini untuk memaksakan kendalinya atas Ukraina merdeka bergema di hati dan pikiran banyak orang Chechen yang mengingat perjuangan mereka untuk kemerdekaan melawan mesin penjajah Rusia,” papar Albert Bininachvili, seorang profesor ilmu politik di Universitas Bologna.
Putin bercita-cita untuk memperluas dominasi Rusia ke perbatasan Soviet, jelasnya, tetapi tanpa niat untuk mengembalikan sistem Soviet, “yang pada dasarnya tidak menyisakan apa pun bagi kita selain kolonialisme Rusia.”
“Orang-orang Chechnya menganggap perang di Ukraina sebagai kelanjutan dari perang di Chechnya,” kata Iliyasov. “Jadi mereka ingin berkontribusi pada kemenangan akhir melawan kejahatan yang dirasakan ini – sesuatu yang tidak dicapai di tanah Chechnya.”
“Itu di samping motivasi lain, yang merupakan semacam kewajiban moral untuk membantu orang-orang yang berada dalam situasi seperti itu, dan menunjukkan solidaritas dengan mereka,” tambahnya.
Cheberloevsky, kepala Batalyon Sheikh Mansur, juga menganggap pertempuran terakhir sebagai bagian dari konflik yang jauh lebih lama. Dia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan layanan Kaukasus Radio Free Europe, “Kami telah berperang di Ukraina sejak 2014 untuk mengalahkan musuh bersama kami.”
Akhmed Zakayev, kepala pemerintah separatis Chechnya di pengasingan, mendorong semua orang Chechnya yang tinggal di luar negeri untuk berjuang bersama pemerintah Ukraina dalam sebuah video yang dibagikan di media sosial.
Mendiskreditkan propaganda Putin
Chechnya bukan satu-satunya kelompok Muslim yang membantu Ukraina.
Said Ismagilov, salah satu pemimpin Islam terkemuka Ukraina, yang berasal dari Tatar, memposting foto dirinya dalam seragam militer di samping anggota Pasukan Pertahanan Teritorial di Kyiv. Dalam video lain, ia menyerukan umat Islam di dunia untuk berdiri dalam solidaritas dengan Ukraina.
Tatar Krimea, etnis minoritas Muslim yang berasal dari Krimea, semenanjung Ukraina yang dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014, telah menentang pendudukan Rusia sejak 2015. Beberapa dari mereka bertempur bersama angkatan bersenjata Ukraina.
Dalam sebuah video yang dibagikan secara luas oleh media Ukraina, Ayder Rustemov, kepala komunitas Muslim Krimea yang diakui oleh Ukraina, mendesak Muslim Ukraina untuk membela negara mereka dan meminta Muslim Rusia untuk mengecam agresi Rusia.
Pasukan Jihad?
Kadyrov, yang menganut Sufisme, sebuah sekte Islam moderat dengan akar sejarah yang panjang di Chechnya, mencoba menyebut pertempuran di Ukraina sebagai jihad. “Kami memiliki perintah, kami memiliki jihad!” tulisnya di Telegram pada 4 Maret.
Kelompok hak asasi, termasuk Human Rights Watch, mengatakan pasukan paramiliter Kadyrov memiliki catatan panjang meneror, menyiksa dan membunuh pembangkang politik yang mengklaim mereka pemberontak Islam.
Klaim terbaru Kadyrov secara khusus mendapat kecaman tidak hanya oleh para aktivis dan pemimpin Muslim tetapi bahkan oleh orang-orang yang percaya pada perang jihad, termasuk jihadis di Suriah dan Irak.
“Rusia telah membunuh ribuan Muslim dan masih akan membunuh mereka,” tulis Maysara bin Ali alias Abu Maria al-Qahtani, seorang komandan kelompok Islam Heyaat al Tahrir Sham, di Telegram. “Memperkuat Rusia di Ukraina berarti memperkuat penjahat,” tandasnya