Latihan Militer Bersama Indonesia-AS
Latihan militer bersama Amerika Serikat (AS) - Indonesia di pusat latihan militer di Sumatera Selatan beberapa hari lalu mengundang kritik bernada keras dari sejumlah pihak. Saya bisa memahami kritik keras semacam itu yang muncul dari jiwa patriotisme dari suatu bangsa yang memperoleh kemerdekaan melalui revolusi fisik dan bukan hadiah dari kolonial.
Di Asia Tenggara, Vietnam mempunyai pengalaman revolusi fisik seperti Indonesia, merebut kemerdekaan dari kolonial Perancis dan mengusir Amerika Serikat dari Vietnam Selatan. Pada tahun 1979, Vietnam secara tidak gentar menolak klaim RRC atas wilayah sengketa perbatasan dan serbuan militer RRC berhasil dipukul mundur dengan persenjataan yang lebih modern berkat bantuan dari Uni Soviet.
Reaksi Berlebihan
Namun menurut pendapat saya, reaksi bernada keras itu berlebihan kalau dikaitkan dengan potensi konflik di Laut Cina Selatan. Indonesia, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei punya kepentingan bersama menjaga wilayahnya dari ancaman luar negeri cq RRC.
Justru latihan perang bersama itu untuk memperkuat “leverage” kita dalam berhadapan dengan RRC di meja diplomasi. Latihan militer bersama juga tidak bisa dianggap melanggar prinsip Non-Blok, kecuali misalnya kita mengizinkan pangkalan asing.
Soal Tenaga Kerja China
Sikap bernada keras terhadap latihan bersama Indonesia - AS, sama halnya dengan sikap sejumlah pihak yang berlebihan dalam menyikapi masuknya tenaga kerja China , khawatir akan diikuti dengan masuknya illegal imigran China. Padahal kedatangan tenaga kerja China tersebut sebagai konsekwensi masuknya modal dan teknologi RRC ke Indonesia dalam rangka kerjasama kedua belah pihak.
Seorang ahli metalurgi mengatakan kepada saya, Indonesia dalam 3 sampai 5 tahun mendatang, akan menjadi salah satu negara produsen Stainless Steel terbesar di dunia berkat kerja sama tersebut.
Indonesia mempunyai pengalaman sukses dalam mengatasi illegal imigran sekitar akhir tahun 1960 - awal 1970 an. Ceritanya Hoakiau yang kembali ke tanah leluhur sebagai dampak G-30- S / PKI , berusaha kembali ke Indonesia karena kehidupan di China daratan sangat sulit pada masa revolusi kebudayaan. Dan atas dasar pengalaman itu, kita tidak perlu khawatir berlebihan, tetapi juga tetap waspada, sehingga kritik yang terkait imigran gelap bukan suatu hal yang negatif sepanjang disampaikan secara wajar.
Patriotisme sebagai Inner Energy
Perlu digarisbawahi bahwa jiwa patriotisme merupakan inner energy (tenaga dalam) yang sangat vital bagi bangsa Indonesia. Persoalannya dalam era globalisasi ini dimana persaingan antar bangsa semakin keras, bagaimana melakukan aktualisasi patriotisme itu menjadi kekuatan nasional yang nyata.
Jiwa patriotisme mestinya disalurkan secara rasional menjadi penggerak kemajuan bangsa, materiil maupun spiritual. Sebaliknya jangan disalurkan secara emosional karena akan kontra produktif bagi bangsa kita.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, Tinggal di Jakarta