Larangan Berhijab di Sekolah India Memicu Protes Dunia
Sedikitnya enam siswi di Udupi melakukan protes di sebuah sekolah milik pemerintah. Keenam murid tersebut menyebut, mereka tidak dapat mengerjakan ujian jika tidak melepas jilbab. Para peserta aksi juga membantah keterlibatan sejumlah organisasi Islam radikal, di balik protes mereka.
Pelarangan hijab ini lantas merembet di perguruan tinggi di negara bagian Karnataka, India selatan. Larangan ini memicu kontroversi yang besar. Pasalnya, hal ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran, bahwa serangan terhadap simbol dan praktik Muslim, adalah bagian dari agenda sayap kanan Hindu.
Tujuannya untuk memaksakan nilai-nilai mayoritas pada minoritas. Larangan mengenakan jilbab di sekolah menegah dan perguruan tinggi di India telah membuat hidup sebagian besar siswi Muslim kesulitan.
Sementara, isu perempuan Muslim berhijab telah muncul di beberapa sekolah lain di Karnataka. Tetapi mulai mendapatkan momentum ketika foto pengunjuk rasa perempuan di Udupi menjadi viral.
Larangan Hijab Dibuat Pemerintah
Setelah dirunut, peraturan pelarangan hijab di sekolah Karnataka dibuat oleh Partai Bharatiya Janata Party (BJP) melalui pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi. Karnataka merupakan satu-satunya dari lima negara bagian selatan India yang diperintah oleh partai nasionalis Hindu.
Pengadilan tinggi dalam perintah sementara sambil menunggu pertimbangan semua petisi yang terkait kasus hijab, pekan lalu melarang semua siswa mengenakan safron, syal, hijab, dan bendera agama apa pun di dalam kelas.
Tak Langgar Konstitusi
Di sisi lain Pemerintah Karnataka, India di hadapan pengadilan tinggi mengatakan mengenakan jilbab bukanlah praktik keagamaan yang penting dalam Islam. Menurut pemerintah Karnataka, melarang pemakaian jilbab tidak melanggar jaminan konstitusional kebebasan beragama.
Pernyataan itu untuk membela perintah terkait larangan jilbab di ruang kelas. "Kami telah mengambil sikap bahwa mengenakan jilbab bukanlah bagian penting agama Islam," ujar Advokat Jenderal Karnataka Prabhuling Navadgi kepada pengadilan yang terdiri dari Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi, Hakim JM Khazi, dan Hakim Krishna M Dixit, seperti dikutip dari NDTV.
Pengacara top pemerintah negara bagian ini menambahkan, tidak ada yang melanggar hukum tentang perintah melarang pakaian yang disebut mengganggu kesetaraan, integritas, dan ketertiban umum.
Sementara, Jaksa Agung menolak tuduhan beberapa mahasiswa Muslim yang menyebut pemerintah melanggar pasal 25 konstitusi. Perlu diketahui pasal 25 memberikan kebebasan hati nurani dan profesi, praktik, dan penyebaran agama yang bebas kepada warga negara India.
"Perintah pemerintah (India) juga tidak melanggar pasal 19 (1) (a) konstitusi yang menjamin hak kebebasan berbicara dan berekspresi bagi semua warganya," bantah Navadgi.
Ada Dua Petisi
Dari pelarangan hijab tersebut, dua petisi telah diajukan atas nama para pengunjuk rasa. Satu sisi berpendapat bahwa memilih apa yang akan dikenakan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi India. Sedangkan yang lain mempertanyakan legalitas larangan jilbab dan hijab di negara bagian.
Pengacara pendukung pembuat petisi ini berpendapat bahwa perintah pemerintah untuk melarang jilbab adalah inkonstitusional dan ilegal. Karenanya pengadilan harus mengeluarkan perintah sementara yang mengizinkan siswa berhijab mengikuti kelas dengan aman.
Menanggapi hal itu, Hakim Krishna Dixit mengatakan akan bertindak sesuai dengan konstitusi. “Saya akan bertindak sesuai dengan sumpah jabatan yang saya ambil. Bukan situasi yang sehat bahwa murid harus berada di luar kelas,” katanya.
Motif Politik
Sementara, melansir berbagai sumber Menteri Pendidikan, Karnataka Nagesh BC mendukung otoritas sekolah melarang penggunaan selendang safron dan jilbab di dalam institusi pendidikan. Karnataka Nagesh juga menuduh murid yang melakukan protes dihasut oleh kelompok “penjahat”.
“Ini pada dasarnya politik. Semua ini terjadi karena pemilihan anggota majelis negara bagian dijadwalkan tahun depan,” kata Nagesh kepada BBC Hindi, mengacu pada upaya sayap politik Front Popular India dalam mendapatkan dukungan di wilayah tersebut.
Berbeda dengan Nagesh, Ketua Menteri Basavaraj S Bommai dan menteri dalam negeri negara bagian mendesak para pelajar untuk menjaga perdamaian dan keharmonisan antar umat.
Deretan Perundungan atas Hijab
Isu konflik Hindu-Muslim menjadi sorotan dunia saat ini setelah video siswa Udupi viral. Sebuah video menunjukkan siswi berhijab di luar gerbang sekolah di Karnataka melakukan protes lantaran dilarang memakai hijab di dalam kelas.
Kelompok pelajar Hindu, baik laki-laki maupun perempuan, juga mulai melakukan pawai sebagai balasan untuk aksi siswa berhijab itu.
Selain kasus tersebut, terjadi kasus serupa di distrik lainnya. Salah satunya di distrik Shivamogga. Sekelompok siswa laki-laki tertangkap kamera mengibarkan bendera safron di sekolah mereka. Tak hanya itu, di distrik Mandya, sebuah video viral menunjukkan seorang perempuan muda berburka didekati oleh kumpulan pria dengan selendang safron.
Saat para pria itu meneriakkan Jai Shri Ram (salam Tuhan Ram) berulang kali, perempuan itu berdiri tegak, meneriakkan “Allahu Akbar” (Tuhan Maha Besar). Dalam video terlihat pula, pihak otoritas sekolah mengawal perempuan berjilbab itu pergi.
Larangan Hijab Dikecam Dunia
Sebanyak 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengkritik larangan pelajar perempuan Muslim mengenakan hijab di sekolah-sekolah negara bagian Karnataka, India.
OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi, menggambarkan dirinya sebagai suara kolektif dunia Muslim. Terutama didukung oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). OKI juga memiliki Pakistan di antara anggotanya.
OKI mendesak lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil langkah-langkah untuk memeriksa dugaan penganiayaan terhadap umat Islam di India.
Perselisihan soal larangan hijab yang sedang berlangsung di Karanataka, India, juga menarik kritik dari Rashad Hussain, Duta Besar AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (IRF).
Hussain mencuit di Twitter dengan menyebut bahwa larangan tersebut melanggar kebebasan beragama. Selain itu, akan menstigmatisasi dan meminggirkan perempuan dan anak perempuan.
Senada dengan Hussain, Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Qureshi mengatakan hal serupa. Shah Mahmood menyebut keputusan larangan hijab sebagai kebijakan yang menindas.
Advertisement