Lapor Irjen Kemdikbud, KPAI Curiga Ada Kecurangan dalam PPDB
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibanjiri laporan dari orangtua murid terkait ruwetnya Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020-2021.
Laporan dari berbagai daerah termasuk Jawa Timur, umumnya mengeluhkan sistem zonasi, surat keterangan domisili (SKD), jalur afirmasi serta persyaratan umur yang dianggap tidak sesuai dengan Pemendikbud nomor 44/2019.
KPAI mencurigai ada kecurangan dalam PPDB ini. Ada yang jarak rumah dengan sekolah lebih dekat tidak lulus, tapi ada yang jaraknya lebih jauh justru lulus.
Menurut para pengadu, jalur zonasi dalam PPDB 2020 menyebabkan banyak pendaftar yang menggunakan cara dengan memalsukan surat domisili. Sehingga, mereka malah diterima. Padahal rumahnya jauh dari sekolah tersebut
Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Ristyarti berharap kasus tersebut ditindaklanjuti, agar masalah yang ada kaitannya dengan permainan Surat Keterangan Domisili. Jika dari hasil pengawasan Itjen Kemdikbud terbukti ada kecurangan dengan melibatkan Dinas Dukcapil misalnya, maka pejabatnya harus ditindak tegas oleh pemerintah daerah atas rekomendasi Itjen Kemdikbud. Karena berdasarkan laporan masyarakat, kesemrawutan pelaksanaan PPDB ini ada kaitannya dengan penerbitan Surat Keterangan Domisili.
Menurut catatan KPAI problem yang selalu muncul dalam pelaksanaan zonasi sejak 2017 adalah persebaran sekolah yang tidak merata, jumlah sekolah negeri yang tidak bertambah selama bertahun-tahun lamanya, dan infrastruktur yang tidak memadai.
"Masih banyak daerah yang penyebaran sekolah negerinya tidak merata dan jumlahnya minim, terutama untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA/SMK, bahkan tidak ada SMPN atau SMAN di suatu kecamatan." kata Retno, setelah menyampaikan pengaduan masyarakat itu pada Irjen Kemdikbudi di Jakarta 2 Juli 2020.
Selain itu KPAI juga menerima keluhan para orangtua di DKI Jakarta yang anaknya memiliki nilai prestasi tinggi, antara 90 sampai 95 tidak diterima di SMPN. Karena kalah akreditasi sekolah asalnya dengan sekolah-sekolah swasta bagus dan mahal.
Ada satu SDN di Jakarta Pusat yang tidak ada satu pun siswanya diterima di SMPN.
“Dampak penggunaan akreditasi sekolah asal membuat sejumlah calon siswa yang berasal dari sekolah-sekolah negeri di Jakarta kalah bersaing dengan anak-anak yang sekolah asalnya di swasta papan atas. Akreditasi sekolah negeri kisarannya hanya 87 sampai 92. Sedangkan sekolah swasta seperti Labschool dan Al-Azhar, yang akreditasinya mencapai 98-99,” ujar Retno.
Hal ini sangat merugikan anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri yang notabene adalah sekolah pemerintah. Sekolah negeri secara fasilitas terbatas dibandingkan sekolah swasta kaya, sehingga nilai akreditasinya tidak setinggi sekolah swasta.
“Tidak adil ketika nilai akreditasi sekolah berpengaruh dalam penerimaan siswa berprestasi. Nilai sekolah adalah variable yang kurang tepat kalau dikaitkan dengan prestasi seorang anak,” urai Retno.
Sehubung dengan temuan dan fakta tersebut, KPAI mendorong Itjen Kemdikbud menindaklanjuti permasalahan PPDB yang terkait dengan permainan Surat Keterangan Domisili.
Jika dari hasil pengawasan Itjen Kemdikbud terbukti ada kecurangan dengan melibatkan Dinas Dukcapil umpamanya, maka pejabatnya harus ditindak tegas oleh pemerintah daerah atas rekomendasi Itjen Kemdikbud. Karena berdasarkan laporan masyarakat, kesemrawutan pelaksanaan PPDB ini ada kaitannya dengan penerbitan Surat Keterangan Domisili
Kedua, KPAI mendorong Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah harus memastikan pemerataan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan tenaga pengajar.
Tanpa disertai upaya ini, tujuan sistem zonasi menciptakan pemerataan pendidikan mustahil tercapai. Peserta didik dan orang tua murid juga akan merasa sistem tidak adil. Upaya untuk menjamin ketersediaan sarana dan prasarana yang layak, mudah diakses, terjangkau dan tidak diskriminatif sejatinya adalah tanggung jawab pemerintah berdasarkan Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketiga, KPAI mendesak Pemerintah mengevaluasi pelaksanaan sistem zonasi agar tujuan pelaksanaannya tercapai dan tidak menjadi polemik tahunan. Karena sistem zonasi PPDB jika diterapkan secara konsisten dapat berdampak baik untuk menciptakan keadilan akses pendidikan.
Selain mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga peserta didik, sistem ini dapat menghapuskan paradigma “unggulan” yang selama bertahun-tahun menciptkan kesenjangan layanan pendidikan.
Evaluasi juga harus dilakukan pada daerah-daerah yang tidak menerapkan juknis PPDB sesuai ketentuan dalam Permendikbud 44/2019.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus konsisten menerapkan aturan zonasi dan tidak mencampur adukan faktor-faktor lain seperti nilai maupun tingkat ekonomi yang tidak sejalan dengan tujuan zonasi. Sudah ada jalur lain untuk mengakomodir faktor-faktor tersebut Penentuan zona dengan memperhatikan ketersediaan daya tampung tidak selalu mudah terutama untuk daerah-daerah yang distribusi sekolahnya tidak merata.
Padahal, amanat Permendikbud No 44/2019 adalah pemerintah daerah menyelenggarakan PPDB dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah.