Langgar Gipo Diduga Dibangun Dalam Dua Tahap
Tidak ada prasasti, yang menunjukkan angka tahun pendirian Langgar Gipo di jalan Kalimas Udik I/51 Surabaya. Angka tahun yang selama ini disebut-sebut di media masa dan sosial sifatnya adalah dugaan-dugaan.
Mungkin acuannya adalah adanya angka tahun yang tertulis di papan plafon bangunan. Ada angka tahun yang ter"print" pada sebuah papan plafon ruang musholah bagian timur, 1830, tapi penulisan ini tidak lazim sebagai tanda angka tahun pendirian sebuah bangunan.
Ada juga angka lainmya 1817, yang tertulis pada sebuah papan plafon pada ruang langgar bagian depan (barat). Penulisan angka ini juga tidak lazim sebagai tanda angka tahun pendirian sebuah bangunan.
Umumnya angka tahun ditulis pada sebuah prasasti yang kemudian ditempatkan pada bidang bangunan yang mudah dilihat publik. Namun, apakah ketidaklaziman di langar Gipo ini memang menunjukkan angka tahun pembangunan langgar atau bukan? Tidak ada jawaban yang pasti juga.
Mengamati materialan bangunan antara ruang langgar bagian depan (barat) atau utama dan belakang (timur) serta ruang lantai atas, maka terlihat ada unsur unsur bahan bangunan dan design bangunan, yang berbeda.
Yang jelas bahwa langgar ini dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dan tahap kedua (perluasan). Pembangunan model seperti ini juga terjadi pada masjid Ampel dan masjid Kemayoran.
Keduanya sama sama mengalami tahap perluasan masjid. Tahap perluasan itu dapat dikenali baik dalam penggunaan materialan bangunan maupun pada designnya.
Ruang langgar Gipo bagian depan (barat) atau utama berlantai batu marmer berukuran 60 x 60 cm, memiliki aksen plengkung pada bagian pengimaman dan tembok bagian timur, yang menurut kerabat keluarga, M Yunus, keturunan Sagipoddin ke 7, bahwa dahulu pada lengkung tembok sisi timur ini terdapat tiga pintu kayu yang berbentuk kupu tarung.
Pada bagian atas setiap tembok, yang menjadi pembatas dengan plafon, diselesaikan dengan motif profil besar yang artistik. Sedangkan bagian plafon sendiri menggunakan materialan papan papan jati.
Model kontruksi ini mengingatkan pada model kontruksi bangunan gedung Grahadi, yang dulu dikenal dengan nama Huis Van Simpang dan Rumah Setan di Kupang.
Kedua gedung negara ini dibangun pada akhir abad 18. Grahadi dibangun pada tahun 1795. Sedangkan, Rumah Setan Kupang dibangun awal abad 19, sekitar tahun 1809.
Melihat langgam bangunan langgar Gipo bagian depan (barat), yang mirip dengan kontruksi interior Grahadi dan Rumah Setan, maka dapat diduga bahwa langgar ini, pada tahap pertama, dibangun pada akhir abad 18 atau awal abad 19.
Selain langgam bangunan, di langgar ini juga ditemukan tegel tegel besar yang terbuat dari tanah liat (Terakota) yang terpasang di bagian depan toilet, sebagian tangga dan teras luar atas (lantai dua).
Dengan luas lahan (sekarang 15x15 meter), langgar Gipo tahap pertama ini diduga memiliki lahan atau plataran terbuka (open space) di sisi timur bangunan langar.
Sedangkan sumur tetap di bagian utaranya (seperti sekarang). Di lahan plataran inilah, kira kira, struktur tegel terakota ini terpasang, yang kemudian di saat pengembangan dan pembangunan tahap ke dua, tegel-tegel terakotanya dimanfaatkan untuk teras toilet, tangga dan plataran lantai 2. Tegel-tegel terakota seperti ini khas materialan bangunan di era VOC.
Pada perluasan dan pembangunan tahap kedua ini, pada akhirnya menjadikan lahan terbuka langgar menjadi hilang dan tertutup (termanfaatkan) oleh bangunan tambahan.
Meski demikian, konstruksi dan desain tata ruang bangunan tidak meninggalkan fungsi ventilasi dan pencahayaan. Meski dari depan terlihat bahwa bangunan langgar dengan perluasannya terhimpit oleh bangunan bangunan besar di kiri kanannya, konsep ventilasi dan pencahayaan natural yang masuk ke langgar begitu terbuka. Ini terlihat di bagian belakang bangunan.
Secara fisik, bangunan tambahan ini menggunakan bahan-bahan yang berbeda dari bangunan utama. Misalnya, pada bangunan tambahan ini, bagian plafonnya menggunakan plat baja, baik di lantai bawah maupun lantai atas.
Struktur lantai di bagian ruang langgar belakang (timur) atau tambahan menggunakan tegel teraso ukuran 20 x 20 warna kuning dan maron. Termasuk adanya tegel motif kembang kembang yang diduga pernah menghiasi tembok langgar sisi bawah (sekarang diganti keramik warna putih).
Motif tegel kembang dengan warna natural gelap ini sebagaimana yang terlihat masih menempel pada bagian relung pengimaman.
Sementara itu, perluasan langgar pada bagian atas atau lantai dua, kontruksinya dominan menggunakan papan-papan kayu jati, mulai dari lantai hingga sebagian kontruksi dindingnya. Kecuali plafon yang total menggunakan plat baja, seperti halnya bangunan tambahan di lantai bawah.
Dalam rangka perbaikan secara swadaya oleh warga dan komunitas, mereka mencoba konsentrasi pada perbaikan bagian dinding dinding dan kusen kusen jendela-pintu untuk menciptakan kesan yang awalnya kusam, suram dan kotor menjadi bersih dan terang.
Sehingga, selanjutnya nyaman dipakai tempat beribadah oleh public. Setiap hari mereka bekerja membersihkan dan memperbaiki bagian bagian yang rusak.
Namun, di kala hari Minggu, partisipasi komunitas secara masal sangat terlihat, bahkan mereka juga datang untuk memberikan bantuan (donasi) untuk beaya perbaikan. Perbaikan langgar Gipo terbuka bagi siapa saja yang ingin berkontribusi untuk menyelamatkan langgar bersejarah ini.
Advertisement