Langgar Beratap Welit, Kini Jadi Masjid Megah
Pada abad 14 lalu, menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit di lokasi berdirinya Masjid Rahmat, Jalan Kembang Kuning sekarang, Raden Rahmat atau Sunan Ampel membangun langgar, surau atau musala berukuran 12 x 12 meter. Bentuknya mirip cungkup. Lantai langgar terbuat dari tanah dibuat agak tinggi dari sekitarnya.
Raden Rahmat memanfaatkan bahan aneka kayu di sekitar langgar yang masih berupa hutan belantara. Atapnya terbuat welit atau ilalang. Langgar peninggalan Raden Rahmat itu diabadikan dalam gambar atau relief di kanan serambi Masjid Rahmat. "Bentuk langgar yang dibangun Raden Rahmat ya… seperti ini," kata H Achmad Muryadi, salah satu pengurus Masjid Rahmat yang menemani Ngopibareng.Id seraya menunjuk relief tadi.
Konon langgar dibangun hanya semalam. Makanya, warga sekitar menyebut langgar tiban. Sedang nama Kembang Kuning diambil karena daerah sekitar saat itu banyak ditumbuhi tanaman berwarna kuning. Namun untuk membangun langgar Raden Rahmat harus bisa menundukkan lebih dulu Ki Wiroseroyo atau Ki Bang Kuning. Sosok prajurit Kerajaan Majapahit itu ditunjuk Raja Brawijaya sebagai penjaga batas wilayah Majapahit di Kembang Kuning.
Maka keberadaan Raden Rahmat yang saat itu melintas, lalu melaksanakan salat dan berdoa di hutan Wonokitri mengusik Ki Wiroseroyo yang ditugasi mengawasi wilayah itu. Meski tujuan Raden Rahmat sangat mulia, yaitu melakukan syiar Islam tapi Ki Wiroseroyo merasa tak nyaman dengan hadirnya Raden Rahmat. Ki Wiroseroyo menantang adu sakti dengan anak muda Raden Rahmat yang masuk wilayah kekuasaanya. Jika kalah, Ki Wiroseroyo bersedia tunduk ke Raden Rahmat. Sebaliknya, kalau menang Raden Rahmat yang harus mengikuti Ki Wiroseroyo.
Singkat cerita, Raden Rahmat pun menang. Raden Rahmat lalu meminta Ki Wiroseroyo yang masih beragama Hindu membaca kalimat syahadad. Sejak itu, Ki Wiroseroyo masuk Islam dan menjadi murid pertama Raden Rahmat. Oleh Ki Wiroseroyo, Raden Rahmat diajak ke rumah Ki Wiroseroyo di kawasan Kembang Kuning. Raden Rahmat lalu dijodohkan dengan putri Ki Wiroseroyo bernama Karimah. Kelak, Ki Wiroseroyo lebih dikenal dengan sebutan Mbah Karimah.
Dari hasil pernikahan ini, pasangan Raden Rahmat-Karimah dikaruniai dua putri, yakni, Siti Mustosima dan Siti Mustosiah. Siti Mustosima atau Dewi Mursimah akhirnya menikah dengan Sunan Kalijaga. Sementara Siti Murtosiah biasa disebut Dewi Murtasiah menikah dengan Sunan Giri. Sebelum meninggalkan Kembang Kuning menuju Ampeldemta kini masuk wilayah Masjid Ampel sekitarnya, Raden Rahmat membangun langgar berukuran 12 x 12 meter untuk tempat salat waga Kembang Kuning yang masuk Islam.
Seiring perkembangan jaman, dan bertambahnya jamaah, para tokoh Islam Surabaya saat bertemu Menteri Agama KH Sjaifudin Zuhri di UIN Sunan Ampel meminta pemerintah merenovasi Masjid Rahmat. Pemerintah lewat menag menyanggupi. Kini, Masjid Rahmat yang megah itu diresmikan Menag KH Sjaifudin Zuhri pada, 14 Rabiul Awwal 1387 H atau 27 Juni 1967.
Oleh arsitek Surabaya Abu Ali, Masjid Rahmat dibuat menjadi dua lantai. Dengan gaya bangunan klasik, desain masjid disesuaikan kelokalan Surabaya. Ada lima pintu pilar di serambi masjid. Bentuknya seperti daun semanggi. Desain itu sengaja dibuat untuk menguatkan kelokalan Surabaya.
Bahkan desain di dalam masjid tetap menggunakan empat pilar sebagai penyanggah utamanya. Empat pilar itu untuk mempertahankan ciri khas langgar tiban yang dibuat Raden Rahmat. Langgar cikab bakal Masjid Rahmat juga ditopang empat pilar. Hanya empat pilar langgar dengan empat pilar masjid jelas berbeda. Karena empat pilar saat ini dibuat dari beton dan sangat kokoh. Sedangkan empat pilar langgar terbuat dari kayu dari hutan sekitar Kembang Kuning.
Untuk keperluan air yang digunakan wudlu, mandi dan keperluan lainnya, Raden Rahmat menggali sumur yang berfungsi hingga saat ini. Sumur itu dalamnya 12 meter dengan diameter sekitar 1 meter. Sumur tadi berada di belakang masjid. Sumur ditutup pakai beton karena jalan di atasnya dilintasi mobil dan motor untuk tempat parkir. Airnya disedot pakai mesin lalu dialirkan ke tempat wudlu dan keperluan lainya. "Sampai sekarang sumur masih berfungsi karena sumber airnya cukup besar," ujar H Achmad Muryadi.
Dalam perjalanan Masjid Rahmat juga mengalami renovasi besar maupun kecil hingga wujudnya seperti sekarang. Renovasi paling akhir pembuatan pagar keliling dengan ornamen klasik. Pintu pagar utama dibuat tinggi dan lebar dengan ornamen klasik. Jadi lah Masjid Rahmat kian cantik dan kokoh. Saat ini luas bangunan masjid Rahmat tergolong besar itu mencapai 850 meter persegi. Sedangkan luas tanah sekitar 1500 M2. Pelataran parkir cukup luas mampu menampung ribuan jemaah. Terlebih saat bulan suci puasa jamaah biasanya membeludak.
Kini, pengelolaan Masjid Rahmat dibawa Yayasan Masjid Rahmat. Yayasan tak hanya membawahi dan mengurusi Masjid Rahmat. Tapi, Yayasan juga membawahi bidang penyiaran (Radio Yasmara), bidang pendidikan (SD/SMP Rahmat), makam (Mbah Karimah). Untuk mendekatkan dengan jamaah pengurus Masjid Rahmat juga membuat program pelayanan jemaah. Antara lain, bagaimana membentuk keluarga yang sakinah.
Juga menggelar pelatihan, perawatan jenasah. Bagaimana cara memandikan jenasah benar, mengkafani, mensalatkan jenasah. Sebab, modin sudah banyak yang sudah udzur. Makanya, jamaah dilatih bagaimana merawat jenasah. "Syukur-syukur nanti mau jadi modin di daerah sekitar tempat tinggalnya," kata H Achmad Muryadi yang juga imam rawatib Masjid Rahmat.
Banyak komplek perumahan tak memiliki modin, khususnya modin perempuan juga membuat repot jika ada warganya meninggal. Apalagi, jika perempuan yang meninggal. Biasanya modinnya didatangkan dari luar. Untuk mengatasi langkanya modin perempuan, Yayasan Masjid Rahmat membuat pelatihan modin perempuan yang dikhususkan melayani perawatan jenasah di komplek perumahan. Hingga saat ini sudah digelar pelatihan perawatan jenasah sampai tujuh periode. Masing masing periode diikuti rata-rata 50 peserta. Mereka nantinya diharapkan mau melayani, merawat jenasah warga perumahan yang meninggal.
Radio Yasmara Legenda Radio Dakwah di Surabaya
Akeh kang apal Quran hadiste
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe gak digatekke
Yen isih kotor ati akale...
Penggalan syair di atas bagian bait syi’ir Tanpo Waton yang karakter vokalnya mirip suara Gus Dur alias almarhum KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI ke IV. Tak heran orang lebih mengenalnya sebagai syi’ir Gus Dur. Orang tidak memperdulikan lagi siapa sebenarnya pencipta syi’ir tadi. Pokoknya, begitu muncul Syi’ir Tanpo Waton menjelang masuknya waktu salat wajib, orang lebih suka menyebut Syi’ir Gus Dur. Gampang disebut dan pas di telinga.
Apalagi, Syi’ir Tanpo Waton muncul, menggema hanya beberapa bulan setelah kematian mantan Ketua Umum PBNU itu. Jadinya, Syi’ir Gus Dur sebagai obat pelepas rindu bagi Gusdurian sebutan pendukung Gus Dur terhadap sosok egaliter yang saat baru menghadap Illahi itu. Makanya, Syi’ir Gus Dur begitu dinikmati masyarakat muslim khususnya warga nahdliyyin. Apalagi, Syi’ir Tanpo Waton yang dikumadangkan stasiun radio direlay masjid dan musala secara ajeg 30 menit menjelang waktu salat wajib. Tak heran banyak orang hafal syairnya, minimal akrab di telinga mereka.
Adalah Radio Yasmara di bawah naungan Yayasan Masjid Rahmat yang kali pertama mempopulerkan Syi’ir Tanpo Waton beberapa bulan setelah Gus Dur mangkat. Syi’ir Tanpo Waton dikumandangkan bersama bacaan sholawat Badar KH Muchid dan Syi’ir Arab Agheb. Siaran itu direlay hampir seluruh masjid dan musala di Surabaya dan Jatim langsung meledak.
Hingga kini Tanpo Waton terus berkumandang dari Radio Yasmara. "Mungkin orang rindu Gus Dur. Begitu ada Syi’ir Tanpo Waton yang vokalnya mirip suara Gus Dur mereka pun menamai Syi’ir Gus Dur," kata Achmad Al Hadi, salah satu penyiar Radio Yasmara saat ditemui Ngopibareng.Id di studio Yasmara yang lokasinya satu komplek dengan Masjid Rahmat Sabtu, 7 April 2018 lalu.
Meski kemudian terungkap bahwa pencipta dan pengisi vocal Syi’ir Tanpo Waton sebenarnya KH Moh Nizam As Shofa, atau lebih dikenal Gus Nizam, pengasuh Ponpes Ahlus Shofa wal Wafa, Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Marahkah Gus Nizam karyanya disebut Syi’ir Gus Dur? Ternyata tidak!. Justru Gus Nizam sebagai pencipta Tanpo Waton menyetujui kalau syi’iran itu dilestarikan atas nama Gus Dur.
"Syi’ir ini sudah ada sejak 1987. Saya menciptakan ini berdasarkan catatan ngaji tasawwuf yang sudah lama saya kumpulkan," kata Gus Nizam dalam suatu kesempatan.
Gus Nizam pun menjelaskan, satu persatu makna terkandung dalam tiap bait Syi’ir tersebut. Seperti; "Duh bolo konco priyo wanito, ojo mung ngaji syari’at bloko, gur pinter ndongeng nulis lan moco, tembe mburine bakal sengsoro" (Wahai saudara pria dan wanita, jangan mengkaji hukum saja, yang hanya pintar bercerita, menulis, dan membaca, pada ahirnya akan sengsara).
Kenapa syi’ir Tanpo Waton karyanya justru populer sebagai karya Gus Dur? Gus Nizam memaparkan jika syi’ir ini sempat dilantunkan di depan almarhum dan Gus Dur. Beliau menyukai. Gus Dur pun berharap syi’ir ini hendaknya dilestarikan.
"Setelah muncul kaset Syi’ir Tanpo Waton dengan gambar Gus Dur langsung melejit. Terlebih setelah Gus Dur meninggal," ungkap Gus Nizam yang memang suaranya mirip Gus Dur ini. Gus Nizam malah bersyukur jika syi’ir Tanpo Waton bisa diterima masyarakat. Lebih lebih diamalkan isinya.
Kenapa Radio Yasmara tiba-tiba mengumandangkan Syi’ir Tanpo Waton? Penyiar Radio Yasmara Achmad Al Hadi mengaku tidak tahu alasan pastinya. Tapi, Achmad mendengar saat itu ada penggemar berat Gus Dur datang ke studio Yasmara. Lalu menyodorkan rekaman Syi’ir Tanpo Waton tadi. Setelah diputar bersama sholawat Badar KH Muchid dan Syi’ir Arab Agheb menjelang 30 berkumadang adzan, banyak pendengar suka. "Nah, sejak itu terus diputar sampai saat ini," kata Achmad.
Ditambahkan Acmad, apa pun yang dikumandangkan Radio Yasmara lanjut Achmad hampir dipastikan populer. Salah satunya, Syi’ir Tanpo Waton tadi. Padahal, sebelumnya syair itu pernah dikumadangkan radio lain. Tapi, penerimaan pendengar biasa-biasa. Tapi, begitu Radio Yasmara yang mempopulerkan langsung meledak. "Kami tidak mengada ada. Tapi, itu faktanya," jelas Achmad.
Radio Yasmara memang sangat legendaris. Di saat radio radio lain gulung tikar digerus jaman akibat maraknya tv. Ditambah internet belakangan ini menjadikan radio kian kuno. Apalagi, di mata generasi now. Tapi, Radio Yasmara tetap eksis diusianya setengah abad lebih. Tepatnya 51 tahun.
Itu karena sejak awal kelahiran Radio Yasmara diniatkan sebagai media perjuangan dakwa Islam lewat udara. Khususnya menyiarkan agenda syiar Masjid Rahmat. Mulai pengajian, khotbah, haul Mbah Karimah sampai menyiarkan saat ada mualaf masuk Islam. Dan, paling utama adzan dari Masjid Rahmat yang direlay Radio Yasmara menjadi patokan atau penanda waktu masuknya salat di Surabaya sekitarnya. Mulai Radio Yasmara didirikan 1967 hingga sekarang.
"Masjid dan musala Surabaya dan Jatim belum berani melantunkan adzan kalau muadzin Masjid Rahmat belum mengumandangkan adzan. Bahkan TVRI Surabaya menjadikan adzan di Masjid Rahmat sebagai acuan," kata Achmad. Terlebih saat bulan ramadhan. Orang tidak berani berbuka atau membatalkan puasa jika belum mendengar suara adzan dari Masjid Rahmat yang dipancarkan Radio Yasmara.
Dulu sekitar tahun 1980-an, jamaah Masjid Rahmat membunyikan blanggur, semacam mercon besar di tanah lapang pemakaman Islam yang lokasinya berdekatan makam Kristen Kembang Kuning. Si penyulut blanggur, sambil mempersiapkan segalanya, kemana-mana menenteng radio yang menyetel Radio Yasmara.
Begitu Yasmara mengumadangkan adzan, blanggur pun disulut. Begitu keras membahana ke angkasa disertai kilatan api dan asap menggumpal. Pemandangan di angkasa itu bisa disaksikan dari radius beberapa kilometer dari Kembang Kuning. Puluhan bahkan ratusan penonton pun tepuk tangan sambil menyeruput air minum, atau makan bekal yang dibawa dari rumah saat menonton penyulutan blanggur. Seiring larangan pemerintah soal penyulutan mercon, blanggur pun ditiadakan.
Begitu pentingnya suara adzan dari Radio Yasmara sebagai penanda atau patokan masuknya waktu salat, maka suatu ketika peralatan siaran rusak hingga Radio Yasmara tidak bisa mengudara, tidak bisa mengumadangkan. Radio Yasmara pun dibanjiri penelpon. Umumnya para penelepon takmir masjid dan musala dari Surabaya sekitarnya. Mereka bingung dalam menentukan waktu adzan meksi sudah ada jadwal. Sebab, selama ini mereka berpatokan muadzin Masjid Rahmat yang diriley Radio Yasmara. "Tapi, kalau belum mendengar adzan dari Masjid Rahmat kurang mantap," ujar penelpon yang juga takmir masjid seperti ditirukan Achmad.
Kata Achmad, beberapa waktu lalu Radio Yasmara tidak bisa mengudara karena peralatan siaran rusak dimakan usia. Atau, pada kasus berbeda peralatan siaran disambar petir. Pernah Radio Yasmara tidak siaran dua minggu. Wah..bukan main ramainya penelpon yang minta Radio Yasmara segera mengudara. Setelah dijelaskan terjadi kerusakan alat siaran mereka maklum. Tapi, tiap hari ada saja penelpon tak hanya dari Surabaya bahkan sampai Banyuwangi dan Tuban. Siaran Radio Yasmara memang bisa ditangkap di wilayah itu. "Begitu kerusakan teratasi telepon pun berhenti. Senangnya, dari situ ketahuan kalau penggemar Radio Yasmara masih banyak," katanya.
Khususnya, penggemar dari kalangan umat muslim yang sampai sekarang masih setia. Wabil khuus para takmir masjid dan musala yang selalu berpatokan dari adzan Masjid Rahmat yang disiarkan Radio Yasmara. Radio Yasmara didirikan seorang tokoh bernama KH Abdul Hamid Hasbulloh atau dikenal KH Hamid Has pada 1967. Awalnya radio ini hanya komunitas muslim. Setelah beberapa tahun semakin banyak pendengarnya.
Namun demikian Radio Yasmara tetap setia menggunakan gelombang AM karena jangkauannya lebih luas. Yakni, frewensi 1152 Khz dengan gelombang 260, 4 meter. Tahun 1970, radio ini resmi menjadi anggota Perhimpunan Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia (PPRSNI). Kantor Radio Yasmara yang berlantai dua itu berada dalam satu komplek halaman Masjid Rahmat. Tapi, menghadap selatan dan masuk Jalan Amir Hamzah.
Kantor yang tidak seberapa luas itu sangat sederhana. Lantai bawah ada ruang tamu sederhana berisi seperangkat sofa. Sebelah kanan tempat siaran berukuran 4 x 4 meter. Ruangan hanya berisi meja kursi, dan mike alat penyiaran serta komputer. Satu ruangan lagi lebih kecil dipakai menyimpan peralatan kantor. Selebihnya semua peralatan siaran ada di lantai 2. Jumlah karyawan 10 orang. Lima orang sebagai penyiar yang kerja secara pergantian. Sedangkan siaran hanya sampai pukul 24.00. Baru kembali menyapa pendengar 30 menit menjelang adzan Subuh. "Kalau bulan Ramadan baru siaran 24 jam non stop karena banyak kegiatan keagamaan dari Masjid Rahmat yang direlay langsung maupun tunda," ujar Achmad.
Bagaimana soal kesejahteraan? Achmad hanya tertawa. Kata Achmad jaman sudah berganti. Mencari iklan sekarang sulit meski tetap ada. Jangankan radio, koran saja sulit. Beruntung Radio Yasmara sejak awal diniatkan menjadi radio dakwah. Radio perjuangan makanya, tetap bisa eksis. "Soal rejeki itu sudah ada yang mengatur," aku Achmad santai. (Bahari/habis)