Lan Fang, Mari Minum Teh Bersama
oleh: Tjahjani Retno Wilis
Pengantar Redaksi:
Kehadiran Lan Fang, sebagai novelis perempuan, memberi kenangan tersendiri bagi Surabaya. Ia karib dengan pelbagai kalangan, bukan hanya kalangan seniman, melainkan juga kalangan usahawan, birokrasi dan profesional muda. Apresiasi yang diberikan Budi Darma, sastrawan dan guru besar Universitas Negeri Surabaya, menjadi faktor legitimasi tersendiri bagi posisi Lan Fang di kancah kesusastraan di Jawa Timur.
Sayangnya, setelah mengukir sejumlah karya, mulai cerpen hingga novel, Lan Fang meninggal dunia dalam perawatan di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, Minggu 25 Desember 2011. Penulis beberapa novel dan cerita pendek itu menderita kanker hati.
Atas inisiasi Budi Darma, pekan lalu di Taman Budaya Jatim digelar acara "Mengenang Lan Fang", dengan pelbagai persembahan. Mulai dari pertunjukan sastra, musik hingga orasi kebudayaan. Seolah Lan Fang menjadi ingatan kolektif warga kota Surabaya. Demikianlah.
Lan Fang telah diperabukan jasadnya enam tujuh lalu. Namun, namanya masih tetap dikenang. Berikut ngopibareng.id, menghadirkan catatan kenangan Tjahjani Retno Wilis, seorang pembaca setia karya-karya Lan Fang. Lebih dari itu, istri mantan Wakil Wali Kota Surabaya dan CEO ngopibareng.id Arif Afandi ini menulisnya dengan penuh intim dan bersahabat:
"Kemudian alurnya cerita yang nampak biasa saja, tiba-tiba berubah jadi drama mengejutkan karena pilihan diksi yang satire bahkan sarkastis. Dia meluncurkan kritik tajam pada sesuatu, tetapi tidak perlu kata nyinyir. Sebaliknya, langsung menghunjam dada...nak jleb!!!"
Lan Fang, salah seorang penulis perempuan Surabaya. Dari namanya saja kita tahu dia adalah Tionghoa. Lahir dan remaja di Banjarmasin. Lan Fang sejak muda berada dalam asuhan Sang Nenek. Karena menjelang remaja, sang Ibu pergi selama-lamanya.
Saya mengenalnya di sebuah acara pembukaan Toko Buku sekitar tahun 2005-2006. Saya hanya penikmat buku. Buku apa saja. Terutama buku dongeng anak-anak. Atau kumpulan cerpen atau beberapa novel.
Lan Fang dan buku
Buku adalah hidupnya. Penulis novel politik 'Ciuman Di Bawah Hujan' novel terakhirnya, menulis dengan luapan ekspresi yang nyaris sempurna. Setiap pilihan katanya mewakili rasa indah sekaligus amarah dalam kalimat panjang yang memaksa beberapa kali tarikan nafas dan jeda karena naiknya degup jantung pembaca. '
Pada mulanya dengan sabar dia menulis ilustrasi cerita dengan detil dan ramah. Membawa pembaca pada titik fokus yang bisa tiba-tiba menukik, to the point dan tajam. Semua dalam irama yang terjaga orkestrasinya.
Kemudian alurnya cerita yang nampak biasa saja, tiba-tiba berubah jadi drama mengejutkan karena pilihan diksi yang satire bahkan sarkastis. Dia meluncurkan kritik tajam pada sesuatu, tetapi tidak perlu kata nyinyir. Sebaliknya, langsung menghunjam dada...nak jleb!!!
Pada pembacaan salah satu cerpennya "Rumah Tanpa Cermin" yang dibawakan dengan apik sekali oleh Penulis muda berbakat, Heti Palestina, di acara Mengenang Lan Fang, 21 Desember 2018 di Taman Budaya Jatim. Kritik sarkas tajam sekali pada mereka yang suka memakai "topeng" kebohongan. Betapa di dunia ini, begitu banyak manusia "bermuka dua" bahkan aneka rupa, menutupi segala muslihat demi sebuah kepentingan.
Saya membayangkan tengan minum teh bersamanya, dan duduk takzim mendengar setiap ucap marahnya pada "gonjang ganjing perpolitikan di zaman hina dina akhir-akhir ini". Novel Couman Di Bawa Hujan lahir bersamaan keriuhan Pemilihan Gubernur Jatim 2009 yang sampai 3 kali putaran itu. Kira-kira novel seperti apa yang akan lahir bersama ontran-ontran Pemilihan Presiden 2019 kali ini yaaa.
Aku mendengarmu Lan Fang. Aku merasakan amarahmu. Karena Lan Fang, Sastrawan Surabaya tidak hanya menulis dongeng berlatar etnisnya. Tetapi pemikirannya melampaui batas etnis dan agama. Keberaniannya melampaui batas gender yang jelas dia bukan penulis yang menye-menye. Novel dan cerpen juga Essai nya melampaui batas usianya. Meski singkat hidupnya, dia meninggalkan legacy yang penting di dunia jagad Sastra Indonesia.
Tetapi sebuah tanda tanya besar "Mengapa diri Lan Fang seperti kurang dikenal?!?". Kau pernah menumpahkan kegelisahan. Karena Penulis Surabaya atau Jawa Timur. Jauh dari Pusat Kekuasaan - Jakarta. Apalagi tidak masuk dalam LINK penulis berpengaruh yang sering disebut-sebut dalam media. Penulis daerah lain jadi seperti terpinggirkan. Bahkan dalam jagad penulis pun ada lingkaran-lingkaran Elit Penulis yang sulit ditembus.
Bukankah lebih penting "sebuah karya tulisan?" Kataku suatu hari padanya. Dirimu membalas dengan nanar. Pasrah.
Di balik penampilannya yang sederhana. Buah tulisannya adalah maha karya dari keberanian hidup dan pemikirannya yang shopisticated. Menghidupi tiga anak kembarnya sendirian. Berada di dunia Buku yang baginya menjadi media kreatif dan kontemplatifnya. Meskipun belum menjanjikan jaminan finansial yang sepadan dibanding maha karyanya. Toh dedikasinya melampaui keterbatasan yang tabu dia keluhkan Alih-alih, dia tuangkan segala kegelisahan pada kata-kata impresif yang mengalir indah.
"Di balik penampilannya yang sederhana. Buah tulisannya adalah maha karya dari keberanian hidup dan pemikirannya yang shopisticated. Menghidupi tiga anak kembarnya sendirian. Berada di dunia Buku yang baginya menjadi media kreatif dan kontemplatifnya. Meskipun belum menjanjikan jaminan finansial yang sepadan dibanding maha karyanya."
Gusdurian
Lan Fang mungkin tidak punya kesempatan mengenal langsung Gus Dur, Allahyarham. Tetapi selalu bersemangat dan menyatakan Gus Dur berjasa sangat besar dalam pluralisme dan demokrasi. Mengikuti dengan khusyuk apa saja yang disampaikan Gus Dur.
Karenanya, dia menangis meraung-raung ketika Gus Dur tilar, 30 Desember 2009. Tangisnya tak berkesudahan. Saya hanya bisa sedikit menghiburnya dengan mengajaknya takziah pada hari pemakaman, mengikutkan dalam rombongan ajudan tamu VVIP Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Kemudian tulisan sangat detil mengungkapkan detik-detik dia ikut mengantar Tokoh Pujaan yang sangat dihormati semua orang.
Setelahnya, dia akrab dengan Komunitas yang menggali kearifan lokal tradisi Pesantren n Nilai2 Islam Universal, Republik Terong Gosong di mana Gus Yahya Cholil Staquf, menjadi "Presiden"nya. Hingga 4 bulan sebelum kepergiannya, Lan Fang masih sangat aktif menghadiri acara Kopdar Terong Gosong, meski harus ditempuhnya dengan bus umum. Dia juga bahagia sekali bisa mengenal dan dekat dengan Keluarga KH Mustofa Bisri di Rembang.
Pada 25 Desember 2011, nyaris dua tahun setelah kepergian Gus Dur, Lan Fang menyusul setelah menyerah pada kanker hati yang menderanya 3 bulan.
"Mari kita lanjutkan Minum Teh kita Lan Fang. Dalam sunyi kita. Kamu tak perlu marah lagi".
Damai yaaa di sana.
Kutisari, 22/12/18
"Lan Fang mungkin tidak punya kesempatan mengenal langsung Gus Dur, Allahyarham. Tetapi selalu bersemangat dan menyatakan Gus Dur berjasa sangat besar dalam pluralisme dan demokrasi. Mengikuti dengan khusyuk apa saja yang disampaikan Gus Dur."
Advertisement