Laksamana Sukardi Diperiksa KPK
Jakarta: Menteri BUMN 1999-2000 Laksamana Sukardi hari Rabu (26/7) siang memenuhi panggilan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Laksamana dipanggil untuk mengonfirmasi proses penerbitan surat perjanjian pembayaran secara tunai dengan penyerahan aset, yang disebut Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA).
Laksamana Sukardi diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT).
"Tadi bicara mengenai materi pokok perkara, yang kalau saya perhatikan MSAA ini `kan dibuat tahun 1998. Pada waktu itu, kita mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan kita juga masih kacau. Jadi secara politis diputuskan "out of court settlement" makanya dibuat MSAA," kata Laksamana Sukardi seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta.
Ia menjelaskan, MSAA dibuat saat Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie, dan kemudian dilaksanakan sampai pada akhirnya ada Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) agar MSAA itu dilaksanakan secara konsisten.
Selanjutnya, kata dia, ada TAP MPR yang menyatakan Presiden ditugaskan untuk melaksanakan MSAA secara konsisten.
"Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum, tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi `berantakan`," kata Laksamana Sukardi.
Menurut dia, pada zaman Orde Baru banyak kondisi kredit dan perjanjian kontrak yang "bodong" sehingga sampai pada akhirnya saat Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri dibuat kebijakan percepatan penjualan aset, dan utang dari IMF juga dibayar kembali.
"Dan bagi obligor-obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan kepastian hukum. Itu adalah mandat dari MPR. Zaman dulu bisa dibayangkan, opsinya adalah memenjarakan semua bankir. BLBI Rp400 triliun, tetapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp144 triliun," tuturnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya, atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara. (ant)
Advertisement