Lakon Para Pensiunan, Ajak Publik Jadi Bagian Peristiwa Seni
"Maaf saya menolak. Saya takut kalua dianggap salah, terus dimutasi. Sejak kecil cita-cita saya menjadi penggali kubur sampai pensiun. Tidak ada pekerjaan yang lebih prestisius selain penggali kubur. Setinggi apapun jabatan yang pernah disandang jenazah, mereka tunduk total pada pengalo kubur! Suruh si Bout ini saja! ".
Demikian terdapat dalam Dialog 7, dari naskah lakon Para Pensiunan, karya Teater Gandrik, yang disutradarai Susilo Nugroho dan Jujuk Prabowo. Penasaran dengan kelanjutan ceritanya?
Teater Gandrik Sambang Suroboyo, dihadirkan ngopibareng.id, untuk pentas di Ciputra Hall, Surabaya, 6-7 Desember 2019.
Naskah Para Pensiunan disusun kembali Agus Noor dan Susilo Nugroho, dari naskah yang semula ditulis Heru Kesawa Murti (almarhum). Tentu saja, melalui berbagai rangkaian adaptasi dan penyesuaian dengan konteks terkini. Termasuk konteks soal kota tempat lakon dipentaskan. Sebelumnya, naskah ini pernah dimainkan di Yogyakarta dan Jakarta.
"Kisah masa depan. Kalau upaya pemberantasan korupsi nemui jalan buntu, jadinya kehidupan semakin haru dan lucu. Teater Gandrik memeristiwakan secara horor dan jenaka". Begitulah Gandrik mengajak publik di Surabaya untuk menjadi bagian dari peristiwa kesenian, juga peristiwa kebudayaan itu.
Dalam setiap pementasan, terasa istimewa mengingat Teater Gandrik melakukan pementasan terakhir di tahun 2017 dengan menghadirkan penonton sekitar 4.000 di Jogjakarta dan Jakarta. Hal serupa terjadi pada pentas Teater Gandrik yang terakhir pada April 2019.
"Jadi, jangan sampai kelewatan untuk menjadi bagian dari pertunjukan ini," kata Butet Kartaredjasa, Pimpinan Produksi Teater Gandrik.
Pentas ini melibatkan banyak pemain, baik pemain lama maupun baru. Beberapa pemain yang akan tampil, seperti Butet Kertaradjasa, Broto Wijayanto, Gunawan Maryanto dan seniman lain yang sudah cukup malang melintang di dunia seni pertunjukan.
Salah satu ciri khas dari setiap pementasan Teater Gandrik adalah cara bermain yang terkesan seperti guyonan tapi sarat dengan makna atas peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Ciri khas ini yang membuat penonton selalu rindu akan kehadirannya.
Pertunjukan selama dua jam tidak akan terasa kecuali rasa lelah mulut karena terus menerus tertawa tergelitik atas guyonan-guyonan satirnya. Jadi jangan lewatkan
Bagi Teater Gandrik, memainkan lakon di depan publik di Surabaya, bukanlah kali pertama. Karena itu, teater yang berdiri di Jogjakarta sejak 1983 ini, sudah memahami karakter khas Arek-arek Suroboyo.
Apalagi, telah menjadi ciri khas Teater Gandrik yang selalu mempertimbangkan nilai seni pertunjukkan tradisional, bagi pementasannya. Selain itu, ciri khasnya, memadukan keakraban dengan para penontonnya. Keakraban yang tanpa menghilangkan unsur modern dalam seni pertunjukan di Indonesia.