Laknat Asap
Beberapa kawan, mengeluh. Asap makin tebal, di Pekanbaru. Bekapannya terasa erat, bikin sesak paru, dan panas di tunas.
Setali tiga uang, puluhan rumah sakit di bumi Lancang Kuning, penuh sesak. Harus antre untuk diperiksa dokter. Tabung oksigen jadi barang langka, habis diserbu warga.
Karena tak tahan, sebagian sudah mengungsi. Membawa keluarga keluar dari Pekanbaru, mencari tempat aman. Ada yang ke Jakarta, Padang, atau pindah ke pinggiran seperti Kampar.
Tak cuma pawang hujan yang sudah diundang. Salat Istisqa pun ramai dihelat. Agar hujan mau datang, menebar sejuk serta memadamkan bara sekam.
Sekolah sudah dipaksa libur. Bukan menghibur, tapi demi kesehatan anak-anak. Siapa kuat, belajar saat asap jadi selimut dan batuk bersahut.
Semua menuding, muara asap dari kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel 10 perusahaan pemilik konsesi lahan. Mereka diduga pemantik asap nan merajalela.
Ada dari industri kehutanan juga industri kelapa sawit. Satu perusahaan negara jiran, masuk di dalamnya. Semua terlihat bergerak saat suara rakyat makin serak.
Hutan dan lahan di Riau, adalah gambut. Sebenarnya, dia susah terbakar. Karena jenuh air, bisa dipastikan dalam kondisi normal dia tahan api.
Jadi, dia terbakar kalau kering. Untuk mengeringkannya, biasanya, dibuat kanal. Agar air mengalir, dan gambut garing.
Paling mudah dan murah membuka lahan, hanya dengan membakar. Tapi, bila api sudah memeluk akar gambut, mereka tak akan berpisah. Sangat sulit dipadamkan.
Walau sudah banyak air menguyur, api tetap membara di akar. Dia kembali menyala saat disapu angin. Sebuah pekerjaan yang butuh keteguhan.
Entahlah, apakah ada izin konsesi lagi. Ataukah ada yang berani pasang badan jadi pelindung para pembakar. Nyatanya, api tak kunjung padam.
Senin sore, 16 September, Presiden Joko Widodo tiba di Pekanbaru. Kabarnya, pesawat kepresidenan, mendarat di tengah kabut asap. Setelah sebelumnya, dia meminta para menterinya bahu membahu berjibaku.
Padahal, baru sebulan, Pak Jokowi menebar ancaman kepada Kapolda, Pangdam, Danrem, hingga Kapolres. Isinya, agar serius menangani kebakaran hutan dan lahan. Tepatnya, 6 Agustus 2019, di Istana Negara.
Di sana, digelar Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2019. Semua pejabat dikumpulkan. Terutama daerah yang rawan kebakaran.
"Aturan main yang saya sampaikan 2015 masih berlaku," kata Pak Jokowi. Bahwa yang tidak bisa mengatasi kebakaran, akan dicopot dari jabatannya.
“Saya telepon Panglima TNI, saya minta dicopot yang tidak bisa mengatasi. Saya telepon lagi Kapolri, copot kalau enggak bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan," tegas mantan Wali Kota Solo ini.
Entahlah, apakah peringatan itu juga terbungkus asap. Sehingga aparat pemerintah tak mengindahkan. Atau, jangan-jangan mereka mulai berkemas, karena asap makin ganas.
Walau sebenarnya, Pak Jokowi juga lelah. Di Jakarta, banyak yang juga sesak. Untuk urusan pemilihan komisioner KPK dan revisi UU KPK.
Ada pro dan kontra. Media ramai bersuara. Bisa jadi bikin pening kepala.
Di beberapa kota, muncul gerakan para civitas akademika. Salah satunya di UGM, Jogjakarta. Tempat Pak Jokowi belajar dan menyerap visi kerakyatan.
Mereka menolak berbagai upaya pelemahan KPK. Termasuk revisi UU KPK, yang dianggap sistematis itu. Tak lupa, mereka meminta DPR RI dan pemerintah menghentikan pembahasannya.
Yang pasti asap sudah bikin binggung. Sekelompok mahasiswa menggelar aksi keprihatinan pada Senin, 16 September 2019. Berdemonstrasi di depan Kantor Gubernur Riau di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru.
Menuntut Gubernur Riau, Syamsuar mengatasi kabut asap. Di tengah asap pekat, mereka juga membakar ban bekas. Hasilnya, asap hitam membumbung, membuat dada makin sesak.
Seorang kawan di Pekanbaru yang sudah penat, mengirim teks WhatsApp. Bercerita tentang nestapanya. Tak lupa, dia juga berkirim syair. Tentang asap yang laknat.
Laknat Asap
Katanya, seperti menggantang asap.
Nyatanya, asap tak segantang.
Pada setiap tingkap.
Asap merayap.
Mengebat.
Apa yang dapat.
Nyaris tiga dasawarsa tak sudah-sudah.
Satu generasi punah.
Anak kemenakan jadi semah.
Tanah moyang kami habis dijarah.
Seperti jatuh asap.
Jatuh pun tetap ke atas.
Katanya, itu asap pejabat.
Bukan asap yang kini membekap rakyat.
Ajar Edi, Kolomnis “Ujar Ajar” di Ngopibareng.id
Advertisement