Laki-laki Lebih Rentan Bunuh Diri Kala Pandemi
Sardi mengingat keseharian Suyani, satu dari enam saudara kandungnya. Rumah mereka bersebelahan di Desa Sumberjo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Sehari-hari, adiknya yang berusia 67 tahun itu, sering mampir ke tempatnya, berbagi kisah, juga kesulitan ekonomi yang menghimpit dia dan dua anaknya. Hingga tiba peristiwa pilu pada Jumat 29 Januari 2021, yang tak pernah terbayang di benak Sadri.
“Yani kepalanya sering sakit,” kata Sadri mengingat keluhan terakhir yang sering didengar dalam beberapa perjumpaan terakhirnya dengan Suyani di Blitar, Senin 19 April 2021.
Di benaknya, Suyani adalah petani yang sayang anak-anaknya. Ia menjadi ibu sekaligus bapak bagi dua anaknya, setelah Wiji Astutik, istri Suyani, meninggal sekitar sembilan tahun yang lalu.
Dua anak Suyani tinggal seatap. Ada Nanda Finza Fransisca, usia 22 tahun, dan Samuel Ardyan Pradana, usia 10 tahun. Di masa lalu, Suyani dan Nanda bergantian mengasuh Samuel. Bocah laki-laki ini sudah kehilangan ibunya ketika berusia 19 bulan.
Anak sulung Suyani, Henok, bertahun-tahun merantau di Timor Leste dan mengirim uang setiap bulan ke Blitar. Ditambah pekerjaan Suyani sebagai petani, uang yang ada tak cukup untuk memenuhi kebutuhan tiga orang dengan layak. Di tengah pandemi, Suyani masih mendapatkan kiriman dari anaknya, tiap bulannya. “Dikirim Rp600 ribu tiap bulan. Kalau kurang ya kurang, untuk hidup bertiga,” lanjut Sadri.
Hingga petaka di Jumat, 29 Januari 2021, terjadi. Jasad Suyani ditemukan kaku di dalam rumahnya. Dua anaknya juga ditemukan dalam kondisi serupa di kamar lain. Polisi menyebut, Suyani membunuh dua anaknya sebelum mengakhiri hidupnya.
“Sekarang, dari enam bersaudara, tinggal saya dan satu lagi di Surabaya,” kata Sardi, menghitung kerabatnya yang tersisa.
Tak ada wasiat pun pesan dari Suyani, mengapa ia mengakhiri hidupnya dan dua anaknya. Polisi juga kesulitan mengungkap motif mengapa pelaku tega menghabisi kedua anaknya sendiri. Kasus pembunuhan itu pun ditutup dengan pelaku pembunuhan ikut meninggal.
800 Ribu Nyawa Melayang per Tahun
Di ujung Jawa Timur, di akhir tahun 2020, Winarno, 72 tahun, warga Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, memilih mengakhiri hidupnya, pada Minggu 8 November 2020. Lewat selembar kertas, almarhum menuliskan kalimat yang menyiratkan kesepian dan nelangsa. Kesedihan yang membuatnya memilih mengakhiri hidupnya. "Anak gak ono sing ngreken karo wong tuwo."
Kasus ini, menambah jumlah tragedi bunuh diri di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam bukunya di tahun 2019, menyebut terdapat 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri secara global, setiap tahunnya. Jumlah yang bahkan jauh melampaui korban meninggal akibat malaria, kanker payudara, hingga pembunuhan, dan perang.
Bunuh diri global terjadi palingan banyak di negara dengan perekonomian menengah dan bawah, mencapai 79 persen dari seluruh kasus. Separuh kasus bunuh diri dilakukan korban di bawah 45 tahun. Jumlahnya mencapai 52,1 persen, kata WHO.
Mengapa? "Ketika mereka sudah keluar dari lingkungan keluarga, masuk ke lingkungan sosial pertemanan, sekolah dan lainnya, mereka memiliki rasa kehilangan. Di sinilah amuncul experimen-experimen, termasuk ide bunuh diri," kata Nur Alfian, Ketua Himpunan Psikolog Indonesia (HIPMSI) Jawa Timur, Selasa 20 April 2021.
Meski, pelaku bunuh diri juga berasal dari kelompok lanjut usia. Di Amerika Serikat, rentang usia lansia berada di urutan ke-17, sementara kelompok usia 10 hingga 14 tahun ada di peringkat pertama.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga itu menyebut sejumlah penyebab lansia mengakhiri hidupnya. Mulai dari mengidap penyakit kronis, hingga kehilangan jejaring sosial dan keluarga dan menyebabkan munculnya rasa kesepian. “Perasaan kesepian inilah yang membuat para lansia punya pemikiran atau ide untuk bunuh diri," paparnya.
Laki-laki dan Pandemi
Juga bukan kebetulan jika kasus bunuh diri di Banyuwangi dan Blitar, dilakukan oleh laki-laki. Meski perempuan juga ditemukan sebagai pelaku bunuh diri, sebanyak 13,7 per 100.000 laki-laki melakukan bunuh diri, dibandingkan dengan 7,15 per 100 ribu untuk perempuan. Rasio ini tak berlaku hanya di lima negara, China, Bangladesh, Lesotho, Myanmar, dan Maroko.
Risiko laki-laki melakukan bunuh diri akan bertambah mengikuti prediksi WHO yang menyebut kasus bunuh diri akan meningkat pada 2020. WHO memprediksi, bunuh diri di Indonesia mencapai 1,800 kasus per tahun. Eks Jubir Satgas Covid-19, Achmad Yurianto menyebut tingkat depresi dan inspirasi bunuh diri akan meningkat akibat pandemi.
Konstruksi dunia yang patriarkat, menurut Mohammad Mahpur, bisa menjelaskan fenomena ini. Dosen Psikolog Sosial di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang itu menyebut, tanggung jawab ekonomi dalam keluarga melekat pada figur laki-laki.
Konstruksi ini belum bisa membagi tanggung jawab secara adil, di dalam keluarga. Beban bertambah jika laki-laki tersebut sakit, atau karena pandemi mencabut akses terhadap sektor ekonomi. “Patriarki belum bisa membagi beban ini pada anggota keluarga lainnya. Laki-laki dipandang bertanggungjawab penuh atas ekonomi keluarga,” katanya
Pada laki-laki lansia, beban ekonomi dan nilai patriakal di keluarga bisa muncul dalam sikap pragmatis. Lansia pria yang tak memiliki warisan cukup, dana pensiun, atau tak lagi punya pendapatan tetap, dan menderita sakit, dianggap sebagai beban keluarga.
Nila untung rugi dalam keluarga, bisa menguat. Tanpa aset ekonomi, laki-laki dianggap tak berharga. Pada lansia, risiko ditelantarkan sangat mungkin terjadi, jika mereka menjadi beban ekonomi.
“Ketika laki-laki tak mampu mengatasi tekanan ekonomi, kesepian, ditelantarkan, salah satu risikonya ya stres, depresi, hingga inspirasi bunuh diri,” kata pakar kesetaraan dan sosial itu
Hal berbeda terjadi pada perempuan. Perempuan cenderung mengalami beban berganda, akibat tanggungjawab domestik, serta tekanan di tempat kerja. Pada dunia patriarkat, tanggungjawab keseharian di rumah dibebankan di pundak perempuan. “Beban berganda dialami perempuan yang juga bekerja. Meski lebih rentan depresi, perempuan tampak lebih mampu mengelola stresnya,” lanjutnya.
Pada lansia perempuan, nilai kasih sayang dan kedekatan akibat pola asuh yang ditanam sedari kecil, membuat perawatan perempuan di masa tua, lebih tergaransi.
Laki-laki Lebih Eskpresif dan Heroik
Selain itu, laki-laki juga cenderung ekspresif dan spontan dalam mengekspresikan sesuatu. Nur Alfian menegaskan, hal ini membuat perilaku dari percobaan bunuh diri lebih rentan muncul pada laki-laki.
Lagi-lagi konstruksi patriakal mendorong ekspresi itu. Tatanan ini menurut Mahpur mendorong banyaknya ruang publik bagi laki-laki untuk meluapkan emosi, baik dalam bentuk gembira atu marah. Kedekatan dengan petualangan, kekerasan, konsumsi alkohol dan narkoba, juga rasa heroik, membuat pandangan mati sebagai solusi, lebih cepat dieksekusi pada laki-laki.
“Pikiran bunuh diri muncul pada laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki lebih mudah mengeksekusinya dengan cara yang fatal,” katanya.
Gejala Bunuh Diri dan Pencegahan Dini
Bunuh diri bukan lagi masalah individu. Melainkan masalah komunitas dan lingkungan terdekat. Tanpa bantuan lingkunga sekitar, individu tak berdaya membantu dirinya sendiri. “Individu itu sudah tak memiliki akses dan aset sosial, merasa tak diterima secara sosial. Bagi mereka, tak ada pilihan lain, selain bunuh diri,” kata Mahpur.
Setidaknya, ada tiga gejala bunuh diri yang patut diwaspadai oleh keluarga, menurut Nur Alfian. Mulai dari ekspresi bunuh diri yang muncul dari perkataan tentang bunuh diri, perilaku menyakiti diri sendiri, dan berbicara tentang kematian.
Peka terhadap status di media sosial juga membantu mendeteksi gejala bunuh diri. Terutama pada individu yang terjebak dalam masalah atau kesedihan. "Karena ini sudah ranahnya media sosial. Ungkapan kesedihan atau kesuraman hidup bisa diamati dari situ," kata Nur Alfian.
Gejala terakhir, perubahan sikap drastis dengan menarik diri dari lingkungan sosial, keluarga hingga teman.
Akademisi berusia 45 tahun ini mendorong lingkungan terdekat mencegah upaya bunuh diri, setelah mengenali gelagatnya. “Kita bisa memberikan kenyamanan, pengayoman, menjadi orang yang siap untuk mendengarkan curahan hati mereka, dan membantu mereka membangun jejaring sosial," katanya.
Kepedulian sekitar membantu mencegah perilaku bunuh diri, sedari dini.
Gotong Royong dalam Keluarga
Namun, dibutuhkan upaya pencegahan jangka panjang, guna mencegah bunuh diri, pada laki-laki, dan juga tingkat depresi pada perempuan. Akademisi yang sering melakukan riset pola asuh anak ini, mendorong perubahan pada konsep peran gender. “Konstruksi patriarkal ini gagal dalam membagi peran di rumah tangga secara setara. Perempuan dengan pendidikan tinggi bahkan memiliki akses pekerjaan yang lebih sempit dibanding laki-laki yang tak berpendidikan,” katanya.
Nilai gotong royong menurutnya harus ditanamkan sejak dini dari keluarga. Membangun mentalitas untuk menaggung beban keluarga, secara kolektiftanpa melihat kelamin dan gender.
Berikutnya, negara juga berperan memperkuat nilai kesetaraan, yang ditanamkan mulai dari sekolah, aturan-aturan, yang bertujuan mengubah nilai patriarkal.
Para ulama dan pemuka agama didorong berperan lebih dalam upaya ini. Menghancurkan mitos yang membekukan nilai peran gender tak setara dalam keluarga. Misalnya, tanggung jawab ekonomi yang melekat pada laki-laki, dan domestik pada perempuan.
“Solusi jangka panjang yang struktural dalam bentuk edukasi. Ada kebijakan dari pemerintah dan afirmasi pada setiap orang,” katanya.
Cangkrukan Saat Pandemi
Berikutnya, Mahpur menegaskan, upaya tatap muka di lingkungan RT yang sulit terjadi selama pandemi, wajib dipelihara, dengan menerapkan protokol kesehatan. Salat di musala, majelis taklim, kerja bakti, olahraga bersama, hingga cangkrukan, harus tetap ada. “Itu adalah mikro organisme sosial, ruang publik paling kecil dalam komunitas terkecil, seperti RT,” katanya.
Pertemuan kecil itu, mampu menjadi ruang publik, menjadi tempat berkisah dan keluh kesah anggotanya, hingga memunculkan rasa kepedulian dan gotong royong. Sehingga mampu mengikis rasa sendiri, kesepian, tempat curahan emosi, sekaligus membangun kepedulian dan kepekaan pada yang lain. “Di masa sekarang, vaksinasi sudah banyak, protokol kesehatan juga sudah dirumuskan. Mikro organisme terkecil ini bisa terpelihara, meski pandemi. Mekanisme ini penting untuk menumbuhkan jarring sosial,” imbuhnya.
Ia juga berharap, pemerintah hadir lebih serius menangani bunuh diri, lewat mekanisme yang paling kecil, seperti PKK di perkampungan. “Jangan hanya wisata saja yang didorong. Masalah ekonomi dan psikis akibat pandemi, meski tidak seksi, juga buutuh perhatian,” katanya.
Tahlil di Surau untuk Winarno
Seperti sebuah petang, di bulan November 2020. Tak seperti biasanya, surau kecil di Kelurahan Boyolangi, Kecamatan Giri, Banyuwangi, ramai dengan penduduk laki-laki. Berkopiah dan bersarung, mereka melangitkan doa tahlil, menghantar kepergian Winarno, kakek berusia 72 tahun, yang mengakhiri hidupnya, pada Minggu 8 November 2020. Tahlil tetap berlangsung, meski tak berjalan di rumah kerabat Winarno.
Warga mengingat, mendiang sering berpindah dari satu tempat ke yang lain, menumpang tidur di satu rumah ke bangunan kosong lain, di dalam wilayah yang sama. Setiap harinya, warga setempat sering mengirim makanan untuk Winarno, laki-laki dengan tiga orang anak yang hidup masing-masing.
Petang itu, penduduk juga patungan, memenuhi kebutuhan tahlil Winarno hingga tujuh hari, setelah jenazah dikebumikan dengan layak di pemakaman setempat.
(Penyumbang bahan: Pita Sari, Choirul Anam, Muh Jaini, Dyah Ayu Pitaloka)