Laka-Laka, Cerita Sate Langganan Istana
Minggu, 5 Januari 2020 malam, saya pergi ke Rumah Makan Laka-Laka. Janjian ketemuan dengan seorang teman di sana. Rumah makan itu menjual masakan kambing. Letaknya berada di Jalan Soleh Iskandar, Kota Bogor.
Olahan terenaknya adalah sate kambing. Tapi ada juga tengkleng, tongseng, hingga gulai kambing. Jurus sajiannya pakai ilmu khas dari Tegal, Jawa Tengah.
Yang membuat rumah makan ini berbeda, hanya satu. Presiden Joko Widodo dan keluarga adalah pelanggan setia. Sering banget pesan baik untuk dinikmati sendiri hingga buat jamuan kenegaraan.
Jadi, Mas Narto, sang pemilik dan para pelayannya sudah sering ngipasi sate di Istana Bogor itu. Lebih tepatnya di teras Banyurini, rumah yang ditempati Pak Jokowi dan keluarga. Yang di belakangnya, ada kandang kambing domba Garut peliharaanya.
Jadi apa yang membuat satenya istimewa? Beruntung, malam itu kami bersitubruk dengan Mas Narto, sang pemilik. Dia pun membagi rahasia keistimewaan satenya.
"Saya tidak memakai kambing berumur di bawah lima bulan," jawabnya. Tentu saja, saya menanyakan usia kambing yang dipakainya. Pasalnya, daging satenya empuk.
Saat ngobrol itu, kami bersama-sama menikmati lezatnya sate kambing. Ditemani gule yang ringan tapi nendang rasanya. Ukuran potongan dagingnya tak begitu besar. Pas saat digigit. Gampang ditarik dari tusukan saji. Lembut saat dikunyah.
Sambalnya kecap. Ada potongan tomat, bawang merah, juga lombok iris tipis. Kecapnya pas.
"Kambing boleh usia berapa saja, yang penting empuk," lanjutnya.
Mas Narto mengaku sudah hafal mana daging yang empuk dan tidak. "Dari warnanya saja," terang mantan wartawan Republika ini.
Bila warnanya merah segar, itu tanda utama daging enak dikonsumsi. Kalau sudah coklat, ngalamat alot. Tentu saja tak nikmat.
Tiga orang penyetor daging kambing sudah paham apa yang dimaui Mas Narto. Mereka pun tak bisa membohonginya. Maklum, Mas Narto mantan pengusaha penggemukan kambing.
Namun, akhirnya dia memilih banting setir jadi penjual sate. Ini lebih karena urusan hati. Dia hanya mengikuti perintah abahnya agar berjualan sate kambing. Namun ada syaratnya. Dia tak boleh mengajak partner.
"Harus sendirian," tuturnya. Pernah, adik kandungnya datang. Merajuk ingin membuka cabang. Tentu dia tak kuasa menolak.
"Minta ke abah saja. Kalau boleh ya silakan saja," jawabnya diplomatis. Akhirnya sang adik kembali dengan muka masam. Abah mereka menolak permintaan itu.
Abahnya seorang ulama kharismatik. Bahkan saat masih hidup, Habib Lutfi dari Pekalongan sering menyambangi abahnya itu. "Ternyata, untungnya lebih banyak juga," ungkapnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Mas Narto mulai berdagang makanan sejak 2004. Setelah dia bertemu narasumber beritanya. Seorang pengusaha bakso dan pemilik restoran padang yang sukses itu, mengomporinya untuk pindah kuadran. Dari karyawan pindah jadi pengusaha.
Awalnya, dia berdagang kaki lima di Cibinong. Karena salah beli lokasi, malah kena gusur. Tapi begitulah wiraswasta. Tak ada kata menyerah. Dia kembali berjualan. Kali ini, hokinya datang. Dagangan laris. Lantas, dapat lokasi bagus di Kota Bogor.
Lokasi strategis dan permanen. Tak perlu bongkar pasang tenda. Karyawan pun digilir, berjualan di Bogor dan Cibinong.
Enaknya jualan di Bogor, membuat para karyawan ogah kembali ke Cibinong. Akhirnya semua dagangan kaki lima di Cibinong ditutup. Hanya berdagang di lokasi permanen.
Kini, Rumah Makan Laka-Laka sudah ada tiga. Dua di Kota Bogor dan satu di Cibinong, Kabupaten Bogor. "Kalau ada yang mau belajar jadi pengusaha sate kambing, saya terbuka untuk mengajari," katanya.
Dia akan membuka jaringan pemasok, cara berhitung, hingga strategi dagang. Salah satunya, menggantung tulang-tulang kambing di depan. "Bisa menimbulkan efek senang bagi pembeli," katanya.
Dia tak akan pelit untuk semua informasi itu. Bahkan, saat kepala pelayannya lapor, kalau ada pembeli yang menawari kerja di warung satenya dengan gaji dua kali lipat. Mas Narto malah menyuruhnya bergabung.
Tapi, sang kepala pelayannya memilih tetap ikut Mas Narto. Namun, ada satu rahasia yang dia tak bisa membaginya. "Mohon maaf, untuk bumbu itu rahasia dapur kami," bisiknya.
Ngomongin bumbu dapur, memang kelezatannya istimewa. Bahkan membuat Ibu Iriana tak bisa meninggalkan tengkleng olahannya. Pernah suatu waktu, bagian rumah tangga Istana lupa memesannya.
Alhasil, Mas Narto pun diminta mengirim tengkleng dari kedainya. "Besok lagi, selalu bawa tengkleng ya," pinta Ibu Iriana dalam bahasa Jawa halus kepada Mas Narto. Tentu saja, Mas Narto menjawab dengan anggukan kepala sangat dalam.
Sebelum menemukan kontak Mas Narto, pengawal Pak Jokowi selalu memesan sate lewat aplikasi online. Namun, hal itu sering membuat para pengawal panas dingin tak karuan. Juga pening bukan kepalang.
Apalagi kalau Pak Jokowi menanyakan di mana satenya. Biasanya, butuh waktu hampir dua jam, sate sampai Istana Bogor. "Kok lama banget belum datang," tanya Pak Jokowi kepada pengawal, sebagaimana ditirukan Mas Narto.
Kalau mendengar pertanyaan itu, para pengawal pasti kelu menjawabnya. Kini, mereka bisa bernapas lega. Karena bisa segera menghubungi Mas Narto, bila ada permintaan mendadak. Dan tak perlu menunggu lama.
Yang menarik, Pak Jokowi suka memesan dalam porsi banyak. Tak cuma beli keluarganya. Ternyata, mantan Wali Kota Solo ini membagikan sate kambing ke para pengawalnya.
Harga seporsi satenya berapa? Saya lupa. Karena seusai kami makan dan ngobrol, Mas Narto melarang pekerjanya memberikan nota pembayaran. Rezeki anak soleh yang suka ngobrol ternyata.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar