Lagu Kegagalan Cinta, Jawab Demonstrasi Pemecatan
Agus Maftuh Abegebriel, kini Dubes RI di Arab Saudi berkisah tentang aktivitas demo sejumlah mahasiswa di Jogjakarta. Tentu saja, hal itu terjadi di masa Orde Baru berkuasa, sebagai prolog sebelum era Reformasi. Berikut catatannya:
Dua kali saya didemo oleh sekelompok adik-adik mahasiswa dengan tuntutan pemecatan saya sebagai Kedubes (Maksudnya mungkin Dubes). Kedubes khan Kedutaan Besar yaitu KBRI yang berupa fisik Gedung bangunan. Hahaha
Pertama di depan Gedung Kementerian Luar Negeri RI Pejambon dan yang kedua di depan Gedung Kemenko Polhukam.
Ketika demo di depan Kemenlu ada poster bertuliskan: Hey Agus Maftuh, Kami Mahasiswa (ada sebuah nama kota) Siap MEMBUNUH TANPA MENYENTUH. (Mau nyantet nich yeee?).
Di bawah poster tersebut ada tulisan FMI UIN (Nama UIN tak perlu disebut).
Karena ada rencana pembunuhan dan sudah berada pada level “SIAP”. Artinya “I’dad dan Ribath” sudah dipersiapkan sempurna termasuk mungkin amunisi kaliber terkecil sampai dengan bahan RDX, C4 dan TNT siap diledakkan dengan “fuse”.
Saya khusnuzan bahwa adik-adik saya ini hanya “diperalat” dan sebagai “victims” korban-korban dari mereka yang punya agenda. Ini yang jadi pertimbangan apakah ancaman pembunuhan tersebut akan saya bawa ke ranah hukum atau tidak.
Demo mahasiswa tersebut mengingatkan saya pada sejarah “kenakalan2” kami, para mahasiswa Yogyakarta tahun 1980-an.
Ada kawan saya ahli demo namanya Zastrouw Al-Ngatawi, pernah menjadi ajudan Gus Dur. Dia seorang aktivis yang berlatar belakang “pelawak” yang populer di kampus putih IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 80an.
Suatu saat, demontran yang jarang mandi (ketika itu) itu tertangkap aparat ketika sedang demo anarkis. Dia dibawa ke Korem Pamungkas untuk diinterogasi.
Interogasi dimulai dari pertanyaan nama, alamat asal, organisasi mahasiswa dan juga nama lengkap orangtua.
Dengan nada membentak dan garang, sang petugas bertanya tentang identitas orang tua kang Sastro. Maklum waktu itu faktor orangtua cukup untuk menyeret sesorang untuk masuk ke dalam zurriyah “PKI”.
Waktu itu kami para mahasiswa menghadapi sebuah kekuatan besar yang berusaha membungkam suara mahasiswa. Hanya mahasiswa “bernyali besar” yang berani turun ke jalan.
Kang Sastro waktu itu menyebut nama orangtuanya dan setelah dicek dinyatakan bersih dari “label PKI”, karena orangtuanya tercatat jamaah pengajian di Guyangan Pati.
Lantas petugas karena melihat wajah Sastro yang “melas” mulai iba dan bertanya: Orang tuamu sekarang dimana?
Aktivis yang kemudian menikahi Arifatul Choiri F menjawab: Orang tua saya di Balikpapan. Petugas pun bertanya lagi: Wesel lancar khan dari orangtuamu? (pertanyaan ini diajukan karena melihat pakaian Sastro yang dekil dan ndesoni).
Sastro pun menjawab: Saya tidak pernah mendapatkan wesel dari orangtua, saya hidup di Yogya terkadang harus jadi buruh tukang cuci untuk kawan-kawan mahasiswa hanya untuk sepiring nasi.
Petugas makin penasaran dan bertanya lagi: Lha orangtuamu di Balikpapan khan kerja, masak tidak pernah kirim wesel??
Mendengar desakan pertanyaan tsb, Sastro berdiri dan langsung marah kepada petugas sambal nerocos: Bapak ini tentara kok Goblog. Bapak saya itu di Balikpapan makanya tidak bisa kirim wesel. Petugas tambah bingung: lho Balikpapan khan ada kantor pos untuk kirim wesel?
Sastro menjawab sambil teriak: Balikpapan itu ya “di Balik Papan” alias sudah meninggal. Semua yang meninggal khan dikubur, dilapisi papan kayu di atas mayatnya. Walike papan, ngisor papan biar tanahnya tidak masuk ke liang lahat (cepuri).
Wooooo, faham juga akhirnya petugas interrogator ini dan akhirnya Sastro dilepas dan diantar pulang ke “ASPUT” Asrama Putra dan disangoni setumpuk duit untuk kebutuhan kuliah termasuk untuk beli baju biar tidak bermazhab “RINGGO” garing dienggo (baju satu nunggu kering baru dipakai lagi) hahaha.
*) Dikisahkan Agus Maftuh Abegebriel, Dubes RI di Arab Saudi, via akun facebook miliknya.
Advertisement