Laga Deg-degan
Saya selalu deg-degan setiap menonton Tim Nasional Sepakbola kita bertanding. Hati ini begitu kuat ingin tim pujaan kita menang, tapi apa daya seringkali lawannya terlalu digdaya. Berkali-kali suasana hati seperti ini terjadi.
Ini pula yang terjadi saat Tim Garuda melawan Timnas Australia dalam fase knock out di Piala Asia. Siapa yang tidak mimpi tim kita yang bertengger di peringkat 142 dunia bisa mengalahkan tim berperingkat 40-an.
Jauh benar levelnya. Antara langit dan atas bumi. Baina as-sama wa al-ardi. Antara pungguk dan bulan untuk bisa mengalahkannya. Tapi karena bola bundar, apa bisa mengalahkan Australia tetap terpancang di benak. Ini yang membuat deg-degan.
Bahkan, rasa deg-degkannya jauh mengalahkan perasaan menghadapi hasil Pemilihan Presiden yang akan berlangsung 14 Februari mendatang. Soal ini, saya hanya berdoa semoga berjalan aman dan langsung umum bebas rahasia. Plus jujur dan adil.
Bayangkan saja, mimpi menang dengan Australia akan berjuwa-juwa jika mimpi tersebut menjadi kenyataan. Karena mimpi, maka terkadang akal sehat tidak berjalan. Lha wong mimpi. Jadi kalau akhirnya kita dibantai 4 gol tanpa balas, itu yang terjadi di dunia nyata.
Toh apa pun juga, Timnas Indonesia berhasil masuk 16 besar sudah harus disyukuri. Saya termasuk orang yang selalu optimistik. Percaya proses. Bukan yang melihat sesuatu dari yang negatif, apalagi pesimistik. Apa pun capaian tim kita sekarang ada modal maju ke depan.
Kalau mau cari kurangnya pasti banyak. Misalnya, ada yang bilang kualitas pemain naturalisasinya kurang oke. Pelatihnya kurang pintar meramu strategi. Bahkan, sampai ada komentator yang tidak pernah melihat sisi baik dari Shin Tae-yong. Masih mempersoalkan pemain naturalisasi dan pribumi.
Saya sih melihat dalam beberapa laga terakhir, Timnas Indonesia sudah berkembang amat pesat. Kalau dulu selalu ada persoalan daya tahan fisik (endurance) kini tak tampak lagi. Mereka selalu tetap bertenaga sampai laga berakhir. Tidak lembek sampai babak kedua.
Barangkali, kalau kita belum bisa moncer di laga internasional, itu bukan soal teknis. Melainkan soal non teknis: paradigma dan ekosistem. Paradigma yang saya maksud adalah landasan berpikir untuk apa sepakbola Indonesia dibangun. Sedangkan ekosistem menyangkut sistem pembinaan, tata kelola kompetisi dan dukungan publik.
Harus diakui, belum ada kesatuan dalam membangun paradigma sepakbola di Indonesia. Sekadar sebagai instrumen politik atau industri olahraga. Rasanya kecenderungan untuk sekadar menjadikan instrumen politik di sepakbola masih sangat tinggi. Meski dengan koridor regulasi bola yang sudah ketat.
Belajar dari negara lain, pengembangan sepakbola seharusnya bersiteguh untuk menggunakan paradigma industri olah raga. Sport industries. Karena itu, klub bola harus dikelola secara profesional. Berorientasi kepada menciptakan hiburan olahraga yang bisa dimonetisasi.
Menjadikan sepakbola sebagai industri sebetulnya sudah mulai berjalan sejak satu dekade terakhir. Hanya saja, perkembangannya sempat terganjal oleh politisasi sepakbola. Akibatnya, PSSI sebagai otoritas tertinggi masih menjadi ajang rebutan para politisi untuk menguasainya. Politisasi tak lagi di level klub, tapi di level otoritas tertinggi sepakbola kita.
Sejarah bola menjadi instrumen politik sebetulnya sudah sejak lama. Ini karena bola merupakan olah raga paling digemari. Memiliki supporter paling fanatik di mana-mana. Karena itu dianggap bisa mendulang suara. Apalagi, dulu pernah diperbolehkan klub bola mendapat suntikan dana APBD. Sampai akhirnya dilarang secara undang-undang.
Sebetulnya, bola bisa menjadi cabang olahraga untuk menciptakan kebanggaan baru. Timnas Nasional, misalnya, sudah seharusnya menjadi instrumen untuk menyatukan bangsa melalui kebanggaan bersama. Nilai politisnya di sini. Bukan menjadi alat atau panggung aktor-aktor untuk kepentingan pribadi. Jadi yang memperoleh gain politik adalah bangsa. Bukan perseorangan.
Dengan demikian, paradigma pengembangan sepakbola ke dalam untuk membangun industri olahraga. Sedangkan paradigma pengembangan keluar untuk membangun kebanggaan baru bagi bangsa dan negara. Paradigma yang demikian harus menjadi bagian yang dihayati oleh semua yang terlibat dalam pengembangan sepakbola nasional.
Sebagai industri, maka yang berlaku adalah prinsip keberlanjutan atau sustainability. Untuk bisa mencapai ini, maka setidaknya ada 8 unsur yang harus terpenuhi.
Pertama, tata kelola yang profesional. Klub harus dikelola orang-orang yang memahami bisnis sepakbola dan terampil dalam manajemen keuangan, pemasaran, operasional, dan pengembangan bisnis sepakbola.
Kedua, menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan dan operasional klub atau liga. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan dari para pemegang saham, sponsor, dan penggemar.
Ketiga, memiliki pengelolaan keuangan yang baik dan transparan, termasuk pengelolaan gaji pemain, pembayaran pajak, dan keuangan klub secara keseluruhan.
Keempat, investasi dalam infrastruktur sepakbola seperti stadion, fasilitas latihan, dan akademi pemuda untuk mendukung pengembangan pemain dan pertandingan.
Kelima, komunitas lokal dan penggemar dalam pengambilan keputusan dan kegiatan klub, serta memperhatikan aspirasi dan kebutuhan komunitas. Bali United yang melakukan go publik menjadi contoh yang baik.
Keenam, melakukan pengembangan sumber daya manusia yang komprehensif, termasuk pelatihan pelatih, pengembangan bakat, dan pendidikan untuk pemain muda.
Ketujuh, menegakkan standar etika tinggi dalam bisnis sepakbola, termasuk menjaga integritas, transparansi, dan fair play.
Kedelapan, melakukan upaya pemasaran yang efektif untuk meningkatkan daya tarik dan pendapatan klub atau liga.
Di luar itu, PSSI perlu membangun ekosistem yang mendukung industrialisasi sepakbola dengan menyelenggarakan sistem kompetisi yang profesional, berkelanjutan dan membangun akademi untuk pembinaan pemain. Liga Inggris menjadi contoh yang bisa ditiru dalam pembangunan ekosistem kompetisi yang patut ditiru.
Tentu, untuk itu semua itu perlu waktu. Kita berharap banyak kepada kepemimpinan Erick Thohir di PSSI untuk menginternalisasikan paradigma baru persepakbolaan kita sekaligus membangun ekosistem yang mendukung pengembangan sepakbola kita. Dia punya modal dasar untuk itu semua.
Sekarang kita harus puas dengan hanya lolos dari babak 16 besar Piala Asia. Beri kesempatan waktu untuk menapak lebih jauh dalam menjadikan sepakbola kita kebanggaan baru bagi bangsa Indonesia. Mengubah rasa deg-degan menjadi rasa bangga.