Laboran BBTKLPP Berjuang di tengah Minimnya Oksigen Laboratorium
Di pagi yang cerah, aktivitas di laboratorium BBTKLPP Surabaya cukup sibuk. Maklum, laboratorium ini merupakan salah satu laboratorium yang ditunjuk untuk menguji sampel virus Sar-Cov-2.
Sebagai informasi, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kesehatan RI, yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
BBTKLPP resmi diberi mandat oleh Litbangkes untuk pengujian sampel per tanggal 22 Maret 2020.
Beruntung, Ngopibareng.id mendapatkan kesempatan untuk bertemu laboran yang bertugas. Yakni, Zahrotun Nisa (Kepala Instalasi Virologi) dan Didik Purwanto (Staf Pranata Laboratorium). Turut mendampingi ialah Plt. Kepala BBTKLPP Joko Kasihono.
Para laboran ini setiap hari bertugas sejak pukul 07.30 WIB hingga 20.00 WIB. Jam kerja yang melebihi waktu itu dilakukan agar sampel bisa segera diketahui hasilnya, baik positif atau negatif.
Setiap hari selalu ada kiriman sampel hingga beberapa kota dari berbagai daerah di empat provinsi. Seperti Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
“Kami kerja hingga habis isya setiap harinya, agar hasil sampel bisa segera diketahui. Terlebih, setiap harinya ada beberapa kotak kiriman yang masuk,” kata Nisa.
Didik yang berada di sampingnya pun menambahkan, “Kalau nggak gitu akan numpuk terus, jadi kita mengakalinya dengan cara demikian”.
Sampel baru yang datang jumlahnya tidak menentu. Terkadang dalam satu kotak berisi dua sampel, namun ada juga yang berjumlah hingga 200 sampel. Sampel yang masuk ini metode pengirimannya berbeda-beda. Ada yang dikirim secara langsung, namun ada juga dikirim menggunakan jasa pengiriman barang atau lewat ekspedisi jalur udara dengan pesawat terbang.
Sampel yang masuk lalu dibersihkan menggunakan alkohol agar steril. Bahkan, sebelum kotak sampel dibuka, oleh para laboran disterilisasi menggunakan alkohol lagi. Hal ini dilakukan untuk menjamin keamanannya dari terpapar virus.
Sementara itu, untuk menguji sampel terdapat tiga proses besar di dalamnya. Antara lain unboxing, ekstraksi dan mixing. Semua proses ini beresiko tertular virus melalui sampel jika tidak berhati-hati.
Tiga Proses Besar (Unboxing, Ekstraksi dan Mixing)
Unboxing adalah proses pertama kali dilakukan. Pada tahap ini unboxing dibagi menjadi dua. Yang pertama bertugas membuka sampel saat sampel datang dan tugas yang kedua mengemas ulang hasil spesimen yang sudah diperiksa dan dikirim ke Litbangkes.
Pada tahap ini, Nisa dibantu enam orang laboran. Tugas mereka pun dibagi tiap orangnya. Di antaranya membuka kotak, membagikan spesimen, mencatat data pada formulir, melakukan pengemasan ulang, mencuci tube dan melakukan disinfeksi.
"Proses ini memakan waktu hingga tujuh jam setiap harinya, bahkan bisa delapan jam. Tergantung pada jumlah kotak sampel yang ada," tutur perempuan asli Kota Surabaya itu.
Proses selanjutnya adalah ekstraksi. Pada proses ini terdapat empat orang laboran yang dibagi menjadi dua shift. Shift pagi dimulai sejak pukul 07.30 WIB hingga 12.00 WIB. Shift berikutnya pukul 12.00 WIB hingga sekitar setelah isya’. Dalam satu shift dikerjakan oleh dua orang.
"Pada tahap ekstraksi sampel diambil RNA virusnya sebelum dicampur dengan reagen. Berbeda dengan tahap unboxing, para proses ekstraksi dibutuhkan waktu tiga jam," terang Nisa.
Proses yang terakhir adala mixing. Pada tahapan ini, RNA dari sampel dicampur reagen A untuk mengetahui hasilnya. Kemudian, sampel yang akan diuji dimasukkan ke alat yang disebut PCR (Polymerase Chain Reaction).
Setiap harinya di BBTKLPP ini bisa menguji hingga 100 sampel. Hal ini dikarenakan hanya ada satu PCR yang digunakan. Sementara itu, di sini ada dua orang laboran yang bertugas.
“Kalau di rata-rata setiap harinya bisa menguji sekitar 100 sampel. Di PCR butuh waktu 3 jam dalam prosesnya” tutur Nisa.
Tidak Bisa Keluar Sebelum Jam Pengujian Selesai
Selama bekerja, para laboran mengunakan alat pelindung diri (APD) khusus secara lengkap dalam melindungi dirinya. Mereka mengenakan baju hazmat, handscoon, kacamata google, masker N-95 dan face shield.
Pakaian lengkap tersebut digunakan dalam durasi lebih dari lima jam setiap harinya. Kala ditanya suasana bekerja di dalam seperti apa, baik Didik dan Nisa menjawab dengan riang.
“Rasanya pingin geblak, di dalam oksigennya mendrik (sedikit oksigen). Di ruang khusus itu kami berada di dalamnya selama tujuh jam,” ungkapnya sambil tertawa.
Didik pun memberi gambaran untuk memudahkan dalam pemahaman. “Bayangkan saja kalau memakai masker biasa saja untuk beberapa menit, terkadang bernafas masih terengah-engah. Apalagi kalau masker N-95, terlebih menggunakan pakaian lengkap seperti yang sudah disampaikan tadi”.
Sebelum laboran memasuki ruangan, biasanya Nisa mengingatkan beberapa hal. Seperti buang air kecil dan makan-minum dengan porsi cukup. Karena, ketika mereka sudah berada di dalam, mereka tidak akan bisa melakukan hal tersebut.
Lebih lanjut, ungkap perempuan lulusan UGM itu, para laboran tidak diperbolehkan keluar dari laboratorium sebelum proses yang dijalankannya selesai.
Baju perlindungan yang mereka pakai hanya berlaku sekali pakai. Jika mereka keluar di luar jam yang seharusnya, baju tersebut sudah tidak bisa digunakan untuk masuk lab. Penyebabnya baju sudah terkontaminasi lingkungan luar.
“Saya selalu meminta mereka kalau yang ingin ke toilet dulu. Di dalam itu nggak bisa keluar sebelum proses selesai. Kalau keluar harus ganti baju lagi karena terkontaminasi lingkungan luar,” tegas Nisa.