Labeling Agama Bikin Pilpres Makin Genting
Tahapan terakhir pemilihan presiden 2019 tinggal menghitung hari. KPU akan mebghitung hasil coblosan secara nasional 22 Mei mendatang. Inilah tahapan terakhir untuk menentukan pemenang pilpres sebelum tahapan penetapan.
Sebetulnya, ada metode ilmiah yang akurasinya bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui pemenang pilpres secara dini. Namanya quick count (hitung cepat) dan exit poll. Nah, hampir semua lembaga yang melakukan kedua hal itu, memprediksikan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenangnya.
Namun, hasil hitung cepat itu terus ditolak pihak penantang Prabowo Subianto-Sandiag Uno. Mereka menilai hitung cepat sebagai bagian dari upaya petahana untuk mempengaruhi psikologi publik. Hitung cepat dianggap bagian dari upaya mencurangi pemilu.
Penghitungan melalui Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU yang sudah melampui 60 persen dari jumlah TPS di Indonesia juga telah menunjukkan keunggulan capres nomor 01. Bahkan sudah melampui angka psikologis kemenangan Jokow-Amin sebesar 80 juta suara. Namun, hasil ini pun juga ditolak pihak Prabowo-Sandi.
Pekan ini, Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi menggelar simposium membeberkan hasil pernghitungan mereka berdasarkan C-1. Hasilnya, BPN mengklaim Prabowo-Sandi telah memenangkan pilpres dengan perolehan suara 54,19 persen untuk Capres nomo 02. Padahal, beberapa saat setelah coblosan, Prabowo sudah mengklaim menang diangka 62 persen.
BPN juga tidak mau mengakui hasil penghitungan sementara KPU. Mereka menolak hasil penghitungan suara pilpres 2019. ''BPN Prabowo-Sandi bersama rakyat Indonesia yang sadar hak demokrasinya, menyatakan menolak hasil penghitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan,'' kata Ketua BKN Djoko Santoso.
Dia menuding pihak petahan telah melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif. Mereka mempersoalkan mulai masalah daftar pemilih tetap fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di website KPU. Mereka mengaku telah melaporkan semua itu tapi tidak ditindaklanjuti.
Sejalan dengan proses penolakan itu, dilontarkan isu rencana people power. Semula lontaran tersebut diungkap Amien Rais yang menjadi pendukung die hard Prabowo-Sandi. Lantas dikuatkan oleh Kivlan Zein dan Eggy Sujana. Kedua nama tersebut terakhir kini berurusan dengan polisi.
Mereka mempersoalkan mulai masalah daftar pemilih tetap fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di website KPU. Mereka mengaku telah melaporkan semua itu tapi tidak ditindaklanjuti.
Penolakan calon penantang terhadap proses formal tahapan pemilu oleh KPU ini membuat situasi politik menjadi lebih menegangkan. Apa yang akan terjadi ketika KPU melakukan penghitungan secara nasional 22 Mei mendatang? Apakah mereka masih tetap menolak jika hasil hitung manual tetap memenangkan Capres nomor 01?
Sementara itu, di luar BPN, para pendukung Prabowo-Sandi terus membangun narasi perlawanan dengan menggunakan labeling agama. Di group maupun media online pendukung Prabowo-Sandi bertebaran tulisan yang menggiring ke arah itu. Misalnya, pilpres ini bukan hanya soal kontestasi Prabowo vs Jokowi. Tapi ini bagian dari perang peradaban: Islam dan Barat.
Misalnya ada tulisan Dr Miftah Albanjary MA yang sedang viral di media sosial. Dia menulis artikel dengan judul Haman; Menteri Segala Urusan. Ia menceritakan tentang pemerintahan Fir'aun dengan segala warna-warninya. Haman adalah menterinya Fir'aun yang digambarkan mengurusi segala bidang.
Ia memang tidak menyebut pilpres 2019 sama sekali. Ia hanya mengatakan jika sejarah selalu berulang pada setiap zamannya. Begitulah, kata Miftah Albanjary, al-Qur'an mengajari kita sejarah.
''Tugas kita bukan membenci Fir'aun atau pun Haman, akan tetapi tugas kita hari ini meneguhkan terus berjuang bersama siapa? Bersama Musa ataukah Fir'aun. Haman ataukah ulama Fir'aun bernama Bala'aun bin Aura,'' katanya.
Narasi yang dibangun dari teks ini adalah bahwa sekarang yang dihadapi adalah kekuasaan seperti yang dimiliki Fir'aun. Nama ini adalah raja di zaman Mesir kuno yang terkenal sangat otoriter dan digdaya sehingga ia menyamakan dirinya seperti Tuhan. Ia adalah musuh Nabi Musa.
Sementara itu, di luar BPN, para pendukung Prabowo-Sandi terus membangun narasi perlawanan dengan menggunakan labeling agama. Di group maupun media online pendukung Prabowo-Sandi bertebaran tulisan yang menggiring ke arah itu.
Narasi keagamaan dalam menggambarkan situasi perpolitikan Indonesia ini sejalan dengan identifikasi gerakan mereka dengan gerakan keagamaan. Mulai dari gerakan 212 sampai dengan kampanye terakhir di Gelora Bung Karno yang lebih kental sebagai gerakan dengan berbalut agama. Ini yang memicu protes Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebutnya kental dengan politik identitas.
Menjadikan kelompok agama sebagai instrumen mengaet suara dalam pemilu bukan hal baru. Namun, menjadikan agama sebagai pembenar dalam setiap kegiatan proses politik bisa menimbulkan gesekan lebih keras di dalam sisterm masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Padahal, sebagai negara bangsa dengan pemerintahan yang sedang berjalan telah ada konsensus mengenai proses dan tahapan penggantian pemerintahan secara konstitusional. Pemilu yang tahun ini diselenggarakan secara serentak adalah hasil konsensus yang telah disepakati lewat perwakilan di DPR untuk penggantian pemerintahan.
Rasanya para elit politik sudah saatnya mengembalikan narasi-narasi kontestasi politik dalam pemilu kali ini dalam koridor konsensus nasional tersebut. Bukan menonjolkan narasi saling melemahkan, apalagi menegasi konsensus yang telah disepakati bersama dan telah diwujudkan dalam UU Pemilu.
Provokasi untuk menggelar peopler power yang kini diganti dengan gerakan keadulatan rakyat jika kalah pilpres seharusnya tidak mencuat jika merujuk kepada konsensus politik itu. Jika memang dianggap terjadi kecurangan, maka kembalikana kepada prosedur yang telah disepakati bersama melalui mekanisme konstitusional.
Para elit politik sudah saatnya mengembalikan narasi-narasi kontestasi politik dalam pemilu kali ini dalam koridor konsensus nasional tersebut. Bukan menonjolkan narasi saling melemahkan, apalagi menegasi konsensus yang telah disepakati bersama dan telah diwujudkan dalam UU Pemilu.
Ada yang bilang people power dan gerakan kedaulatan rakyat juga merupakan langkah konstitusional karena dilindungi dalam UU sebagai hak mengemukakan pendapat. Namun, khusus menyangkut pemilu, ada konsensus yang lebih khusus dalam bentu UU Pemilu yang dihasilkan DPR.
Rasanya, meredam kegentingan proses pilpres kali ini dengan mengembalikan kepada konsensus politik yang telah disepakati bersama amat penting sekarang ini. Narasi berbau agama dengan melabeli seperti dalam sejarah pertarungan keagaman bisa malah menbuat genting suasana dalam konstetasi pilpres yang juga tegang ini.
Kematangan para pemimpin politik kita diuji sekarang. Apakah mereka tetap bersikukuh dengan ego politiknya meski berseberangan dengan konsensus yang telah dibuatnya. Atau mereka mengedepankan kepentingan negara bangsa dengan ikuti prosedur dan tahapan pemilu seperti yang telah disepakatinya. (Arif Afandi)
Advertisement