La Nyalla Melawan, Negara Tidak Boleh Dikuasai Kekuatan Oligarki
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan pihaknya soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden merupakan kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur Indonesia.
Ia mengatakan akan memimpin gerakan pengembalian kedaulatan negara ke tangan rakyat, karena negara tidak boleh dikuasai oleh kekuatan oligarki.
"Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki," kata La Nyalla dalam keterangannya, Jumat, 8 Juli 2022.
La Nyalla menegaskan, kedaulatan rakyat sudah final dalam sistem yang dibentuk oleh para pendiri bangsa. Namun, menurutnya, hal itu kemudian dibongkar secara menyeluruh lewat amendemen UUD 1945 yang ugal-ugalan pada 1999 hingga 2002.
Menurutnya, amendemen itu pun membuat Indonesia menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa, serta membuat tujuan negara bukan lagi memajukan kesejahteraan umum melainkan memajukan kesejahteraan segelintir orang yang menjadi oligarki politik dan oligarki ekonomi.
Terkait pertimbangan hukum majelis hakim MK, La Nyalla mengaku heran mendengar MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Padahal, menurutnya, ketentuan dalam UUD tidak secara jelas mencantumkan ada ambang batas pencalonan.
"Dan yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum," katanya.
"Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan," tambah La Nyalla.
Terkait perkara nomor: 52/PUU-XX/2022 sebelumnya, MK menyatakan pemohon I yakni jajaran DPD yang dalam hal ini diwakili oleh La Nyalla serta Wakil Ketua Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.
Mahkamah berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Hakim Anggota Manahan MP Sitompul menilai anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan oleh pemohon I tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan pelaksanaan hak serta kewajiban pemohon I.
Hal itu dikarenakan pemberlakuan norma Pasal 222 UU Pemilu sama sekali tidak mengurangi kesempatan putra-putri daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.
"Mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima," kata Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Dalam gugatannya, La Nyalla dan penggugat lainnya menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.