Kursi Menteri untuk Muhammadiyah
Kursi Menteri untuk Muhammadiyah
Oleh Anwar Hudijono
Prof Dr Muhadjir Effendy MAp bergeser posisi. Dari Mendikbud di Kabinet Jokowi jilid satu, ke Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di kabinet Jokowi jilid dua.
Muhadjir tetap representasi dari Muhammadiyah. Bukan yang lain. Bisa diartikan merupakan kepercayaan Jokowi terhadap Muhammadiyah. Ukuran yang dipakai adalah profesionalitas, kapabilitas, integritas dan track record selama menjadi Mendikbud. Apalagi Muhammadiyah tidak pernah meminta kursi menteri.
Publik mencatat Muhadjir termasuk menteri yang sukses. Jokowi puas dengan kinerjanya. Meskipun hanya menjabat lebih kurang 3 tahun karena menggantikan Anies Baswedan di tengah jalan, Muhadjir mampu mengeksekusi program Nawa Cita Jokowi. Seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Melakukan program pendidikan karakter. Juga dengan risiko yang tinggi dia terapkan sistem zonasi yang merupakan revolusi pembenahan pendidikan. Perbaikan sistem guru dan tenaga kependidikan.
Jika hitungan balas jasa, tidak ketemu. Karena boleh dibilang Muhammadiyah secara institusional tidak ikut rewang di Pilpres. Meskipun dari personal Muhammadiyah banyak yang menjadi relawan 01 (Jokowi-Ma'ruf). Ada puluhan kelompok relawan 01 yang berbasis umat Muhammadiyah seperti For One Malang yang berbasis personal civitas akademika UMM. Ada Rumah Indonesia Berkemajuan, Garda Matahari.
Menko PMK akan mengkoordinasikan sejumlah kementerian antara lain Kemendikbud Dikti; Kementerian Sosial; Kementerian Agama; Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Kemenristek; Kementerian Pemuda dan Olahraga. Bidang-bidang ini ada nisbah yang kuat dengan bidang dakwah Muhammadiyah.
Masuknya Muhadjir ke kabinet dapat menjaga sikap kooperatif-kritis Muhammadiyah terhadap rejim. Sikap kooperatif-kritis bukan didasarkan atas kalkulasi untung-rugi. Tetapi atas dasar fiqih siyasah: jika penguasa bertindak sesuai petunjuk Allah dan Rasulnya maka wajib ditaati dan didukung. Jika keliru wajib diluruskan. Jika lupa wajib diingatkan. Semua harus dilakukan dengan bijaksana dan lemah lembut.
Dihembus-hembuskan
Sikap itu cukup mewarnai perjalanan panjang Muhammadiyah. Misalnay, ketika Muhammadiyah mengadobsi sistem sekolah Belanda, adalah indikator sikap kooperatif-kritis. Bekerja sama dengan pemerintah Belanda tetapi diperbarui dan disesuaikan dengan amanat risalah dakwah.
Demikian hubungan dengan rejim sepanjang Indonesia merdeka, Muhammadiyah menerapkan sikap kooperatif-kritis. Intinya, berusaha memberikan konstribusi bagaimana membangun bangsa dan negara. Mendukung kebijakan rejim yang benar. Mengkritisi jika melenceng.
Sikap kritis itu dilakukan dengan bijaksana. Misalnya, disampaikan secara interpersonal kepada penguasa. Model Pak Ar Fachruddin menasehati Pak Harto. Model Pak Haedar kepada Presiden Jokowi. Model kritis terbuka mungkin hanya dilakukan Pak Amien Rais di akhir rejim Pak Harto.
Kepercayaan Jokowi ke Muhammadiyah ini juga memperkokoh eksistensi Muhammadiyah sebagai ummatan wasathan, umat yang di tengah. Moderasi. Dari tarikan kekuatan antagonisme. Kekuatan yang menjadi lawan pemerintah.
Ketika Prabowo masuk ke kabinet, kubu antagonisme kehilangan tokohnya. Sampai sekarang belum terlihat figur yang menggantikan Prabowo. Jika tidak ditemukan sosok personal, maka pemimpin kekuatan adalah bersifat institusional. Muhammadiyah dianggap memiliki benih untuk ditarik dan dijadikan figur antagonisme.
Maka menarik Muhamamdiyah ke garis antagonisme adalah target mutlak. Jika sampai kena, kekuatan antagonisme akan mengalami triwikrama ibarat nyambik yang berubah menjadi godzila.
Sangat mungkin, modus yang akan dipakai untuk menyeret Muhammadiyah ke garis antagonisme adalah isu bahwa negara dikuasai NU. Penempatan Menko PMK tidak sesuai harapan warga Muhammadiyah yang ingin tetap Mendikbud Dikti. Bahkan seharusnya Muhammadiyah mendapat minimal 3 kursi menteri. Dan masih banyak modus yang akan dibisik-bisikkan, dihembus-hembuskan. Allahu a'lam bis-shawab***
*Anwar Hudijono, wartawan senior.
Advertisement