Kurban Menebar Kebajikan, Eratkan Keimanan Tegakkan Shalat
‘Idul Adha sering disebut ‘Idul Kurban, artinya Hari Raya Penyembelihan. Setiap Muslim yang berkemampuan diharuskan menyembelih hewan Kurban pada hari nahar tanggal 10 atau hari tasyrik tanggal 11,12 dan 13 bulan Dzulhijjah. Daging Kurban itu dibagikan kepada yang memerlukan dan sebagian dibolehkan untuk diikonsumsi sendiri.
Demikianlah sunnah Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qurthubi diterima dari Ali bin Abu Thalib dan Muhammad bin Ka’ab. Pada hadis lain Nabi bersabda, yang artinya “Kami berKurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang.“ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Demikian diungkapkan Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, terkait dengan Idul Adha tahun ini. Berikut penjelasan lengkanya:
Kata kurban (Kurban) berasal dari bahasa Arab artinya sesuatu yang dekat atau mendekatkan, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah yang memerintahkan ibadah ini. Kurban sering disebut udhhiyahatau dhahiyyahartinyahewan sembelihan, fisiknya hewan yang disembelih, tetapi hakikatnya ialah pengorbanan dan pengabdian diri sepenuh hati kepada Ilahi Rabbi.
Ibadah Kurban dimulai oleh kedua putra Nabi Adam, Qabil dan Habil sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran. Dikisahkan: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan Kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (Kurban) dari orang-orang yang bertaqwa". (QS Al Maidah: 27).
"Sementara itu mungkin di antara sebagian kita masih merasa sayang untuk berkurban hanya seekor hewan, sebagaimana berkorban harta kekayaan lainnya, karena terlalu mencintai harta dan dunia melampaui takaran."
Sejarah Kurban secara khusus dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS Ash-Shaaffaat: 102-107).
Mufasir Ibnu Katsir, Sayyid Quthub, Buya Hamka, Quraisy Shihab, dan ahli tafsir lainnya mengaitkan ibadah Kurban dengan Surat Al-Kautsar sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ٣
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS Al-Kautsar: 1-3).
Diriwayatkan, Nabi Muhammad terus dihina oleh kaum Quraisy, bahwa Rasul akhir zaman itu disebutkan akan mati dengan tidak meninggalkan keturunan dan urusannya akan berakhir”. Maka turunlah Surat Al-Kaustar itu sebagai jawaban dan jaminan Allah, bahwa Nabi dan pengikutnya yang beriman akan memperoleh “Alkautsar” yaknj kenikmatan yang sangat banyak sebagai anugerah yang hakiki.
Ibnu Katsir menjelaskan, Al-Kautsar sebagaimana hadis Nabi diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas bin Malik, ialah “sebuah sungai di surga yang Allah berikan dan padanya terdapat kebaikan yang banyak”. Kenikmatan di akhirat itu buah perbuatan baik di dunia. Karena betapa nikmat Allah itu banyak, malah selayaknya manusia beriman menunaikan shalat dan berkurban. Kata “wanhar” dalam ayat Al-Kautsar tersebut, sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, ialah “menyembelih kambing (domba) dan semisalnya”, artinya berKurban.
BerKurban dalam ritual ibadah ‘Idul Adha meniscayakan spirit berkorban dalam hidup dan melakukan kebaikan. Dalam beragama serta kehidupan berbangsa dan bernegara juga memerlukan pengorbanan lahir dan batin sebagai wujud dari ketulusan, pengabdian, dan ibadah semata karena Allah demi meraih ridha dan karunia-Nya. Dalam kehidupan di dunia tiada manusia bekerja dan meraih keberhasilan tanpa pengorbanan.
Dalam bahasa Indonsia berkembang makna “korban” sebagai satu napas dengan “Kurban”. Berkorban artinya “menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya.”. Banyak orang berkata rela berkorban demi sesuatu yang dianggap luhur dan penting, sehingga apapun dilakukan meskipun terasa berat dan menuntut pengorbanan harta, kedudukan, dan bahkan nyawa.
Kata berkorban tidak jarang dipakai sebagai retorika, ketika seseorang menyatakan bersedia berkorban tanpa pamrih, tetapi sesungguhnya ada kepentingan di baliknya. Terbukti ketika pamrih itu tidak terjadi, yang bersangkutan tidak berbuat seperti yang semula diikrarkan. Sebagian orang-orang berjanji membela bangsa dan negara, tetapi sejatinya memperjuangkan kepentingan diri sendiri, kroni, dan kelompok atau golongannya sendiri.
Secara lahiriah setiap yang berkorban menyembelih hewan Kurban dan membagikannya kepada sesama, tetapi sejatinya yang bersangkutan berKurban kepada Allah dengan berani mengorbankan sesuatu yang dimilikinya untuk sesuatu yang lebih utama, yakni semakin mendekatkan diri kepada Allah sekaligus berbuat kebajikan yang luhur atau ihsan kepada sesama.
Karenanya jangan merasa berat untuk berKurban hanya seekor hewan bagi yang berkemampuan. Kuatkan diri untuk merasa wajib berKurban. Dalam satu hadis Nabi bersabda yang artinya: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berKurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat Ied kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah). Nabi Ibrahim dan Siti Hajar bahkan rela mengorbankan putra tercintanya Ismail, yang diikuti oleh keikhlasan Ismail yang masih belia, demi menaati perintah Allah dan merengkuh ridhanya. Meskipun akhirnya kurban nyawa itu tidak terjadi, namun keluarga Nabiyullah itu teruji keikhlasan, ketaatan, dan ketaqwaannyan kepada Sang Khaliq.
Sementara itu mungkin di antara sebagian kita masih merasa sayang untuk berkurban hanya seekor hewan, sebagaimana berkorban harta kekayaan lainnya, karena terlalu mencintai harta dan dunia melampaui takaran. Semoga kita kaum Muslimin yang menunaikan shalat Idul Adha saat ini terhindar dari sikap demikian. Bagi yang kebetulan belum sempat berniat, masih terbuka waktu setelah kembali dari shalat ini untuk menunaikan ibadah Kurban. (adi)