Kurban dan Toleransi Ekonomi
Ketika Kurban menjadi kegiatan rutin, ia akan segera kehilangan ruh dan moralitasnya sebagai ajaran agama yang luhur. Pada asalnya, ibadah Kurban adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk merelakan putra kesayangannya Ismail agar di sembelih sebagai lambang cinta kepada Allah Swt. Juga sebagai lambang keikhlasan Ibrahim atas sesuatu yang sangat dicintainya yakni anaknya Ismail.
Sebagai seorang ayah, menyembelih anak, meskipun itu perintah Allah, tentu adalah perbuatan diluar batas pri kemanusiaan yang normal. Bagaimana jika perintah itu datang kepada kita sebagai muslim?
Mampukah kita melakukannya? Dalam kondisi manusia biasa pada umumnya, perintah itu pasti tidak akan kita lakukan.
Lalu mengapa Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail? Adakah pesan moral yang Allah hendak tunjukkan dalam ibadah yang aneh itu. Tentu saja ada, dan itu hanya bisa ditangkap oleh kaum yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang bulat utuh tidak tercemar.
Allah yang maha kuasa berkehendak untuk menguji Ibrahim seberapa besar kepatuhannya kepada Allah. Seberapa cinta ia pada putranya Ismail yang sangat disayanginya itu dibanding cintanya kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sungguh, sebenarnya Ibrahim sebagai ayah, sebagai bapak tidaklah kuat menahan rasa sedih yang menyayat hatinya.
Bagaimana mungkin seorang ayah tega berbuat jahat pada putranya sendiri karena perintah Allah. Perintah itu betul-betul membuat pikiran Ibrahim berkecamuk. Ada ledakan besar dalam dadanya, remuk, dan tak kuasa menahan ketakutan yang bercampur rasa cemas. Namun karena itu perintah Allah, maka Ibrahim membulatkan tekadnya untuk melaksanakan perintah itu. Kalau manusia biasa, tentu itu sebuah perbuatan yang sangat amat mustahil untuk dilakukan.
Namun demikian, Ibrahim dengan kondisi bathin yang lemah itu masih meminta pertimbangan putranya Ismail dalam melaksanakan perintah Allah itu. Dalam keadaan yang seperti itu Ibrahim memiliki moral kemanusiaan yang luhur sebagai wujud hubungan beliau dengan manusia bernama Ismail yang kebetulan adalah putranya sendiri. Artinya, Ibrahim memiliki etika yang tinggi dengan cara mengajukan pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab dengan tegar oleh manusia masa kini sebagaimana kualitas jawaban Ismail atas perintah Allah untuk menyembelihnya.
Drama kemanusiaan tentang keikhlasan antara orangtua dan anak ini, Allah kemudian abadikan dalam alquran Surat As-Saffat : 102-103.
Berikut bunyinya. "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam impi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Allah lukiskan keduanya sebagai hamba yang sabar dan patuh hanya kepada Allah. Ibrahim maupun Ismail adalah contoh manusia yang memiliki ketaatan yang paling sejati kepada Allah. Oleh karena itu Nabi Ibrahim dijuluki sebagai bapak para Nabi (The Father of Prophets). Karena ketaatannya kepada Allah, maka Nabi Ibrahim juga disebut sebagai Bapak Monotheisme atau Bapak Yang mengajarkan tentang Tuhan Yang Esa oleh seluruh agama-agama Samawi. Pada kasus Qurban ini sesungguhnya tersembunyi ajaran moral yang dialamatkan kepada manusia yang beriman kepada Allah agar jangan pernah sedetikpun mengurangi ketaatan kita kepada Allah. Jangan pernah sedikitpun mengecilkan Allah dalam kehidupan sehari-hari oleh kekuasaan, harta benda, perhiasan, dan bujuk rayu setan yang melenakan manusia. Ibrahim dalam episode hidupnya berhasil mengukuhkan cintanya hanya kepada Allah.
Toleransi Ekonomi
Semangat Idul Adha tahun 2020 ini, seharusnya juga dijadikan momentum untuk meningkatkan semangat toleransi ekonomi bagi sesama manusia. Ibadah Qurban sebagai wujud ketaatan Ibrahim hanya kepada Allah hendaknya menyadarkan manusia agar tidak mencintai harta benda secara berlebihan. Ibrahim telah memberikan contoh betapa ia rela mempersembahkan putranya untuk disembelih sebagai wujud ketaatannya kepada Allah.
Ibadah Kurban sejatinya membawa pesan moral pada manusia agar tidak bersikap rakus terhadap manusia lainnya. Ibrahim mengajarkan manusia agar mereka bersikap toleran terhadap manusia lainnya. Ekonomi yang merupakan kebutuhan setiap orang, tidak boleh menumpuk hanya pada orang-orang tertentu sehingga yang lain kehilangan akses atas sumber-sumber ekonomi dalam masyarakat.
Nabi Ibrahim mengajarkan manusia agar lebih mencintai Allah daripada mencintai harta benda yang sesungguhnya akan mereka tinggalkan dan tidak mungkin dibawa mati. Oleh karena itu Ibrahim mengajak kita agar dalam meraih harta benda atau kekayaan, jangan sampai mengurangi rasa cinta kita kepada Allah. Jika kita tamak, maka akan menghisap sumber-sumber ekonomi uang seharusnya menjadi hak orang lain untuk bersama sama menikmatinya.
Semangat ibadah Kurban sesungguhnya juga bermaksud untuk membunuh ketamakan manusia atas manusia lain. Ketamakan dan intoleransi ekonomi hanya akan melahirkan disparitas sosial dan penyakit sosial lain yang membuat dunia berada dalam ketidakseimbangan.
Disparitas sosial akan melahirkan pengangguran, kemiskinan, kejahatan dan ketidaknyamanan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu menjadi tugas pemerintah untuk membangun regulasi yang berkeadilan sosial agar setiap orang memiliki akses yang saya dalam meraih sumber-sumber ekonomi secara berkeadilan.
Jika pemerintah tidak serius dalam menciptakan keadilan bagi semua misalnya hanya melindungi kaum kapitalis yang telah banyak menghisap sumber-sumber ekonomi nasional secara tidak toleran, maka sesungguhnya akan memukul balik pemerintah sendiri sebagai pemegang amanah rakyat.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement