Kurangi Stigma, LPT Dirikan Radio Braille Surabaya
Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) berinisiatif membuat media inklusif alternatif bernama Radio Braille Surabaya (RBS). Pendirian lembaga penyiaran ini bertujuan untuk menyuarakan isu-isu terkait disabilitas.
Pendirian RBS ini diinisiasi para guru yang mengabdikan diri Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) dan aktif di LPT. Mereka adalah Tutus Setiawan, Atung Yunarto, Hanan Abdullah, dan Sugihermanto.
Pimpinan redaksi RBS, Tutus Setiawan mengatakan, LPT sudah berdiri sejak 2003 dengan tiga program yaitu pendidikan, riset, dan advokasi. Dengan adanya RBS berharap program-program yang diusung ini dikenal masyarakat.
"Pada tahun ini kami ingin memiliki anak usaha yaitu RBS. Supaya program-program di LPT bisa disebarluaskan sehingga masyarakat jadi tahu," kata Tutus, Sabtu, 3 Desember 2022.
Menurut Tutus, dengan radio ini disabilitas tidak hanya dilihat saat memenangkan kompetisi Paralympic atau prestasi tertentu saja. Namun, lebih menyuarakan aspirasi-aspirasi para penyandang disabilitas.
"Banyak sisi yang bisa dieksplor, apalagi ini menjelang Pilpres 2024. Apakah politik berpihak pada disabilitas atau tidak," ujar dia.
Koordinator Produksi RBS, Sugihermanto mengatakan, nantinya konten-konten yang dibuat akan ditayangkan di Youtube. Hal tersebut lantaran media sosial itu memiliki pelanggan yang banyak.
"Kami pilih video karena pengguna Youtube lebih besar ketimbang media lain. Misal, mencari tutorial, kita tidak akan mencari di Facebook atau media online, tapi justru di YouTube," kata Sugihermanto.
Sugihermanto menyebut, RBS ingin menyerap pengguna Youtube yang besar dengan perspektif disabilitas. Bukan hanya menampilkan sisi lemah disabilitas, namun juga berupaya mengangkat sisi positif.
Sementara, Koordinator Distribusi RBS Hanan Abdullah mengatakan, kesulitan dalam mendirikan RBS adalah belajar jurnalistik. Sebab, ia perlu mematangkan keterampilan di media.
"Saya alami dari pelatihan selama ini, banyak sekali. Mulai dari jenis berita, observasi, dan lain-lain. Paling tidak kita bisa bikin konten yang matang, karena sudah tahu dasar-dasarnya," kata Hanan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer mengatakan, memberikan pelatihan jurnalistik kepada tunanetra memiliki keistimewaan sendiri.
"Inisiatif mendirikan media inklusif ini justru muncul dari mereka. Inisiatif dari mereka inilah yang jadi modal penting," kata Eben.
"Ada banyak materi pelatihan, tapi di sini kami beri pelatihan baru. Seperti latihan pernafasan, karena mereka akan berbicara juga," imbuhnya.
Eben mengungkapkan, stigma disabilitas saat ini di masyarakat masih tinggi. Sehingga ketika nama media disabilitas terdengar maka yang muncul hanyalah kasihan.
"Jadi, alasannya mengapa media ini disebut media inklusif, karena yang dinilai adalah keterampilannya. Kami akan melibatkan dari kawan-kawan tunarungu, tunadaksa, dan lain-lain, sehingga bisa beri ruang untuk publik untuk kontribusi," tutupnya.