Kurang Lahan, Singapura Akan Bangun Pemukiman Bawah Tanah
Pemerintah Singapura tampaknya sudah tidak bisa berharap banyak dari reklamasi, untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan perkembangan negaranya. Padahal reklamasi adalah kegiatan utama Singapura dalam 40 tahun terakhir.
Pada tahun 1965, luas negara Singapura hanyalah 580 kilometer persegi. Karena reklamasi puluhan tahun, kini luas negara Singapura mencapai 721,5 kilometer persegi. 120 kilometer persegi lebih luas.
Reklamasi saat ini masih terus dilakukan, namun tindakan itu sudah mulai banyak mendapat kecaman publik. Mereka menganggap tindakan pemerintah Singapura akan merusak ekosistem laut di tempat mereka mengeruk pasirnya.
Selain itu, dengan reklamasi, mereka akan menenggelamkan pulau-pulau asli milik negara lain, sedangkan Pulau Singapura semakin kokoh.
Kini, setelah puluhan tahun menggunakan cara rekalamasi untuk membesarkan negaranya, untuk memenuhi kebutuhan penduduk Singapura, serta banyaknya kriitk dan kecaman, otoritas Singapura berencana menggunakan ruang bawah tanah di pulau mereka untuk kegiatan penduduk di masa depan.
Urban Renewal Authority (URA) sebagai Bappeko Singapura bekerja sama dengan Housing Develpoment Board (HDB) atau Dinas Perumahan Singapura, mulai mencanangkan untuk 30 tahun kedepan pembangunan pemukiman untuk warga Singapura akan menyentuh bawah tanah. Sehingga di tahun 2059, akan ada apartemen 'menjulang' jauh ke bawah tanah. Kurang lebih 200 meter di bawah permukaan tanah.
"Pemerintah Singapura berusaha untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Di setiap sudut kota, saat ini sedang pembangunan. Mereka juga mencanangkan pembangunan perumahan bawah tanah. Kalau tidak salah kemarin infonya 200 meter di bawah permukaan tanah. Lebih jauh dari pada stasiun MRT yang cuma 35-40 meter," kata Joufri Saddam, salah seorang warga Singapura kepada ngopibareng.id, Minggu 22 Desember 2019.
Menurutnya, hal itu akan mempermudah masyarakat untuk mobilitas ke seluruh wilayah Singapura. Karena, pemukiman itu akan langsung terkoneksi dengan stasiun MRT yang juga di bawah tanah.
"Sebenarnya akan lebih enak. Kami keluar pemukiman sudah ke MRT, karena tak jauh lah," katanya.
Meski begitu, rencana tersebut sempat mendapat kritik sarkas dari banyak warga Singapura. Sampai-sampai, mereka membuat anekdot tentang pembangunan pemukiman bawah tanah tersebut.
Anekdot tersebut berbunyi seperti ini, "Pemerintah sepertinya melatih kami untuk menghadapi kematian. Karena belum mati saja, kami sudah disuruh hidup di bawah tanah. Mungkin saat mati nanti, biar kami tidak kaget".
Sebenarnya, ruang bawah tanah sudah tidak asing bagi warga Singapura. Hampir 70 persen stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Singapura berada di bawah tanah. Bahkan, juga sudah banyak pusat perbelanjaan yang memilik ruang bawah tanag sebagai area jual beli. Seusai pantauan dari ngopibareng.id, warga Singapura memang sudah sangat biasa untuk 'hidup' di bawah tanah.
Salah satunya saat ngopibareng.id memantau Stasiun MRT Dhoby Ghaut. Saat memasuki stasiun tersebut yang berada persis di pinggir jalan raya, jalanan kota Singapura sangatlah lengang. Namun, saat berada di dalam peron keberangkatan kereta, suasana sesak terlihat dengan jelas. Apalagi di track MRT yang menuju arah perumahan yakni ke arah Stasiun Punggol yang berada di Timur Laut Pulau Utama Singapura.
Tak hanya stasiun yang mengarah ke arah perumahan saja yang penuh sesak. Stasiun yang berada di dekat pusat keramaian pun sama. Seperti di Stasiun Chinatown. Jika kita keluar dari stasiun, kita akan melihat bahwa di daerah Chinatown jalanan lumayan lengang.
Tapi kalau sudah turun ke dalam peron, ribuan orang baik para pelancong dan juga warga Singapura, penuh sesak memadati stasiun pecinan tersbeut utnuk antre menaiki MRT ke tujuan masing-masing.
Advertisement