Kupinta Diriku Kembali
Cerpen
oleh Dewi Purboratih
“Menikah itu mudah. Namun, menghidupi pernikahan sungguh butuh perjuangan. Lantas, bagaimana bila di dalamnya tak ada lagi yang layak diperjuangkan?!”
-Dewi-
Malam sungguh terlalu dingin dan larut untuk menghimpun keramaian warga. Akan tetapi, perkelahian sengit dua orang lelakiku telah membuat kegaduhan yang tak bisa terabaikan oleh sekedar rasa kantuk.
Mahadri nampak terhuyung tatkala beberapa tetangga sudah berkerumun di beranda. Dia terjatuh, kepalanya membentur sudut meja jati persegi panjang berukuran 2x1 meter yang penuh kartu dan miras. Lima orang yang duduk di sekitar meja itu untuk minum dan berjudi segera berhamburan tanpa merasa perlu memberikan pertolongan.
Beberapa orang tetangga merangsek masuk. Bapak-bapak masuk ke ruang tamu untuk melerai.
Di sana, lelaki empat puluh lima tahun itu babak belur oleh pemuda gagah yang beringas tak kenal ampun. Sejurus kemudian beberapa mata tampak melihatku dengan tatapan penuh tanya. Tersadar kemudian bahwa sedari tadi aku hanya tertegun melihat semuanya terjadi begitu saja. Kakiku bergetar. Tubuh pun terasa ringan.
“Magani! Hentikan mereka! Mahadri bisa mati di tangan Mahesa Ari!” Teriakan ibu-ibu yang datang tak terhiraukan.
Aku bergeming. Hanya air mata, luruh mengaburkan pandangan dan kaki tak sanggup lagi menopang tubuh ini.
“Angkat Magani! Tolong Magani, cepat sini!” Suara-suara itu semakin lamat dan hening kemudian.
***
“Namanya siapa?” Suara Ibu renyah menyapa pemuda yang duduk sopan di kursi sudut ruangan dengan tampilan kasual, berkaos hitam polos, berpadu celana jeans sobek-sobek dan ber-tatto. Pertanyaan pertama akan menentukan respon ibu selanjutnya. Cara khas Ibu ketika berkenalan dengan teman-temanku.
“Raden Mahadri Arya Sudira, Bu.” Pemuda yang sejatinya hanya teman bepergian karena sama-sama memiliki hobi travelling ini, langsung memikat hati Ibu hanya dengan memperkenalkan namanya. Mata Ibu terbelalak. Ibu terperangah.
“Selamat ya, Nduk …. Ibu senang kamu bisa melanjutkan kebanggaan dan kehormatan keluarga kita.” Ibu nampak bahagia memberikan kode bahwa Mahadri adalah calon mantu ideal baginya.
Tak banyak yang bisa dibanggakan selain hal-hal berbau darah biru. Asal satu syarat itu terpenuhi, Ibu tak akan bertanya soal pendidikan ataupun pekerjaan. Bahkan secara esktrim, asalkan dari silsilah bangsawan, Ibu pernah bilang bahwa dia tak akan peduli bahwa nantinya aku ini akan menjadi istri resmi, atau simpanan. Begitulah ibu.
Sesaat setelah pria bangsawan itu pamit, Ibu bergegas mencecar dengan berbagai pertanyaan yang akhirnya tetap berujung pada pertengkaran. Seperti biasa, jawabanku selalu sama selama dua tahun belakangan. Persis setelah lulus kuliah psikologi, Ibu selalu menuntut seorang mantu.
“Tidak, Bu. Aku tidak akan menikah.”
“Ibumu ini melahirkan seorang Raden Roro Magani Haryo Sutedja, maka ada dua hal yang Ibu takutkan. Pertama, kamu menikah dengan orang biasa. Kedua, kamu jadi perawan tua!”
“Tapi, Bu–”
“Buat apa kamu sukses kalau tak mampu menjaga kehormatan keluarga? Pulang malam, banyak kegiatan, banyak teman, tapi berakhir tua sendirian. Piye tanggung jawab Ibu ke suwargi bapakmu nanti?”
“Bu, saya bukan rampok, koruptor, pelakor! Pekerjaan saya halal! Dan saya merasa cukup mampu hidup melajang tanpa merusak rumah tangga orang. Saya tidak tertarik untuk menikah!” Aku terhenti sejenak.
“Bu, saya merasa tak mampu menjalankan kewajiban sebagai isteri dan ibu. Saya ingin mengabdikan hidup saya untuk masyarakat.” Sekali lagi aku berusaha meyakinkan Ibu.
“Masyarakat? Anak terlantar? Itu urusan negara! Apa kata orang? Anak satu-satunya keluarga ini mati perawan! Ndak laku! Ndak punya penerus?! Kehormatan macam apa yang kamu berikan pada keluargamu? Pokok e kowe kudu rabi! Apa pun peranmu di masyarakat, kesuksesan seorang wanita baru lengkap bila menikah dan punya anak!”
Tudingan dan cibiran orang lain tak pernah sekali pun membuatku gentar. Tapi untuk menghadapi Ibu? Berdebat dengan Ibu bak upaya menjaring angin. Sia-sia. Bahkan mungkin sebagian besar orang akan menganggapku tak waras dan nyleneh. Menyerah kalah adalah hal terakhir yang bisa kulakukan demi kebahagiaan semua orang. Aku merasa tak mampu berjuang sendirian melawan arus kelaziman ini.
“Sudah! Biar Ibu sendiri mengatur semua! Kamu jangan jadi anak durhaka!”
Telinga ini enggan mengingat kembali hamburan komentar dari wanita cantik yang telah melahirkanku dua puluh empat tahun lalu, karena tak lama setelah perkenalan itu Mahadri benar-benar melamarku. Sepertinya, jodoh dan pernikahan seolah terjadi sangat mudah justru kepada orang-orang yang tidak menginginkannya.
Sebagai teman, Mahadri adalah sosok menyenangkan untuk menikmati kehidupan dan pergaulan yang bebas dan dinamis. Banyaknya kesamaan adalah sebuah kenyamanan. Namun ketika menikah, semua berubah. Mahadri memutuskan untuk berjalan di dunianya tanpa aku, dan meninggalkanku lelah sendirian dengan segenap urusan domestik.
Akses dan komunikasi dengan dunia luar lambat laun terputus. Tadinya, aku adalah seorang aktivis pada sebuah yayasan sosial terkemuka di Surabaya, kini hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Hanya berkutat pada soalan kasur, dapur dan sumur.
Berbagai upaya untuk menyesuaikan diri sudah pula kulakukan, tapi bukan itu masalah utamanya. Sebagai kepala keluarga, Mahadri belum pernah menjalankan perannya dengan baik. Satu-satunya kesalahan fatal yang mencakup semuanya.
Sebagai anak bangsawan kaya raya, suamiku tak pernah benar-benar bekerja. Dia adalah seorang pemandu wisata, katanya, itu adalah pekerjaan tepat untuk orang-orang yang suka bepergian. Namun sebenarnya, berpetualang dengan para wanita adalah sebuah alasan terselubung. Dia sangat selektif memilih tamu. Perempuan. Kaya. Tua muda tak jadi masalah. Secara tidak langsung, gelagatnya telah menjelaskan semuanya.
Jika kata orang pernikahan adalah dunia sakral, tak pernah bisa kunilai dunia seperti apa yang kudiami kini. Mungkin karena pernikahan ini tak berpijak pada cinta, hatiku hambar. Aku hanya merasa kehilangan teman kepercayaan, bukan suami. Namun di sisi lain, ada rasa muak mencengkeram hati. Bagiku, rasa sakit sangat lebih baik daripada rasa mual ketika dia memintaku menunaikan kewajiban utama sebagai seorang isteri, melayaninya kapan pun dia mau.
***
Sebuah tepukan kasar dari tangan yang kukenal menyentuh pipiku dan mencipratkan air dingin sekenanya ke wajahku.
“Bangunlah, Magani,” ucapnya sambil memberiku segelas air minum. Kulihat darah mengucur di pelipisnya.
“Jangan sok jadi malaikat! Ingat ndak, bagaimana Bapak memperlakukan Ibu tadi? Tak segan bila saya harus membunuh Bapak!” ucapan anak lelakiku, Mahesa Ari memecah kekakuan di antara semua orang yang berkumpul di ruang keluarga.
Satu per satu, orang-orang beranjak pamit. Sopir pribadi kami bergegas membawa suamiku ke rumah sakit. Hanya tersisa aku, anakku, beserta ibu mertuaku. Namun, ruang keluarga ini malah semakin terasa pengap. Dinding-dindingnya seolah bergerak mendekat, menghimpit dalam jarak yang sempit.
“Harga diri seorang wanita bersuami adalah suami itu sendiri. Namun, bagaimana jika sang suami telah merendahkan harkat dan martabatnya sekaligus, Bu?”
“Apa maksud perkataanmu, Magani?” ini kali pertama Ibu mertua bertanya jelas tentang maksud hatiku. Selama menjadi menantunya, aku hanya mendengar tanpa boleh menyela.
“Saya sudah memutuskan sejak lama. Saya hanya menunggu restu Mahesa Ari.” Kata-kata ini terasa mencekik leherku, tapi harus tetap disampaikan. Ada beda yang kurasakan setelah mengatakannya. Air mataku tak lagi tumpah! Seperti ada katup di dadaku, terbuka lebar dan membuat lega.
Demi nama baik orang tua, kumasuki rumah ini. Sedangkan bertahan di dalamnya adalah untuk nama baik suami dan anak tunggalku. Lantas, sejak saat itu, siapakah yang benar-benar peduli pada setiap hal yang terjadi kepadaku? Maka sejak sekarang, ketika semata wayangku melihat sendiri tingkah bapaknya, semua tugasku telah paripurna.
“Ibu pergi saja, aku ikhlas. Aku pun tak sudi hidup dengan laki-laki biadab ini. Seandainya aku tahu kalau Ibu menunggu, sejak lama aku akan memintamu pergi.” Baru kali ini terlihat tetes air di sudut mata anakku.
“Dia bisa menjadi mantan suami Ibu, tapi dia tetap bapakmu, Nak. Minta maaflah. Jangan sampai ada karma buruk mengikatmu.”
“Magani, ada apa denganmu? Jika selama sembilan belas tahun kamu mampu berdiri di samping Mahadri, mengapa sekarang menyerah?” Ibu mertua sebenarnya tinggal tak jauh dari rumah, tetapi ternyata baru benar-benar hadir untuk kami setelah keributan hari ini. Sebelumnya, hanya sosok fisik yang mondar-mandir tanpa sepatah kata pun untuk sekedar bertanya tentang keadaan rumah tangga kami.
“Saya, atas ijin Mahesa Ari, mohon pamit. Saya meminta maaf bila selama ini belum sepenuhnya sempurna menjalankan tugas dan kewajiban sebagai ibu, isteri, dan menantu. Besok pagi, saya akan pergi dari rumah ini. Dengan demikian saya menganggap Mahadri bukan suami saya lagi.”
Ada perasaan damai mekar di dadaku. Tak akan ada lagi yang berteriak soal masakan tak enak sambil melempar piring, tiada pula kan kudengar makian karena rumah kotor ataupun kamar mandi yang harus dibersihkan dua kali sehari. Pun selamat tinggal untuk tendangan menyakitkan ketika aku tak mampu memuaskan hasrat egois seorang pemabuk dan pemadat kalap.
“Rumah kalian sungguh besar, Magani. Suamimu juga bukan orang sembarangan. Banyak perempuan yang menginginkan posisimu. Kamu yakin keputusanmu sudah paling benar?” Wajah angkuh ibu Mahadri tak lagi mampu memprovokasiku.
Benar atau salah bukan lagi menjadi kerisauanku. Saat ini, satu-satunya hal termewah adalah memejamkan mata, lalu memeluk diriku sendiri.
“Pukulan, tendangan, cacian bahkan ancaman. Semua bisa Ibu tanggung, Eyang. Bahkan diusir dan dijemput kembali, jamak terjadi. Tapi tadi, pemabuk yang tak pernah sadar itu telah menjadikan ibuku taruhan di rumahnya sendiri.”
Tak ada satu pun di ruangan ini menimpali ucapan anakku. Satu per satu terdengar ketukan langkah kaki ibunya Mahadri meninggalkan kami berdua. Aku lelap setelah disesah penghakiman. Ruang keluarga mulai terasa luang.
Selain untuk Mahesa Ari, kupinta diriku kembali untuk hidup bagi diriku sendiri. Aku hanya rindu pada sambutan matahari esok pagi. Fajar kebebasan yang menggiringku pada damainya kesendirian.