Kunjungi Koloseum, Simbol Sejarah Para Politisi Bangun Citra
Saya menyempatkan diri mengunjungi Koloseum. Di kota Roma-Italia. Di sela-sela kunjungan ke Vatikan bersama Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Ikut juga Holland Taylor, orang Amerika sahabat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Pria yang beristrikan orang Indonesia ini sekarang tinggal di Magelang.
Holland penyuka sejarah. Dia sangat paham sejarah Eropa dan Amerika. Apalagi, sewaktu kecil pernah lama tinggal di Jerman. Tentu sebelum masa Perang Dunia Kedua.
Tapi ia mengaku belum pernah ke Vatikan. Juga belum pernah ke Koloseum, satu tonggak sejarah peradaban yang menjadi salah satu keajaiban dunia.
"Ini kali pertama saya ke Vatikan. Saya belum pernah ke sini sebelumnya. Anda suka arsitektur? Saya suka arsitektur bangunan kuno," katanya begitu tiba di Bandara Roma.
Di Roma dan Vatikan bejibun bangunan kuno. Sebab, inilah pusat peradaban lama. Bahkan amat sangat lama. Awal peradaban Eropa bermula.
Ia lantas bercerita baru saja mengunjungi masjid Sulaimaniyah di dataran tinggi Istanbul. Yang angin selat Bosporus selalu menerpa dalam masjid melalui jendela dan pintu-pintunya.
Maka setelah berdialog dengan para rohaniawan asal Indonesia di Kedutaan Besar RI di Vatikan, kami bertiga langsung menuju Koloseum. Obyek wisata yang masih di lingkungan pusat kota Roma.
Inilah bangunan megah yang dibangun lebih dari 2000 tahun lalu. Pembangunannya mulai tahun 70 Masehi.
Pada awalnya disebut Flavian Amphitheatre. Sebab dibangun Kaesar Vespasian dari keluarga Flavia. Diselesaikan anaknya Titus tahun 82 Masehi.
Bangunan sebesar stadion Gelora Bung Tomo (GBT) ini menampung 50 ribu penonton. Tapi dibangun ribuan tahun lalu.
Hebatnya, bangunan itu tetap berdiri tegak hingga sekarang. Hanya sebagian rusak karena terkena gempa dan pencuri batu purbakala.
Saya sebetulnya pernah datang ke Koloseum ini awal tahun 2000-an. Tapi tidak sampai masuk ke bagian dalamnya. Hanya melihat dari luar.
Karena itu, dalam kesempatan kali ini saya ingin masuk ke dalam. Sambil membayangkan bagaimana para senator, kaesar dan rakyat Roma dulu menyaksikan berbagai pertandingan dalam Koloseum itu.
Ada tiga bagian tempat duduk dalam Koloseum. Ini seperti yang diceritakan pemandu yang disediakan pengelola Koloseum bagi para pembeli tiket masuk tinggalan sejarah yang kini jadi obyek wisata ini.
Di tingkat pertama ada podium untuk para senator. Semacam wakil rakyat di zaman kekaisaran Roma. Juga ada tempat duduk khusus kaisar, ruang istirahat kaisar dan ruang menyimpan hartanya.
Tingkat diatasnya diperuntukkan bagi para bangsawan dan ksatria. Di tingkat ketiga untuk warga biasa. Di tingkat teratas masih dibagi dua. Bagian bawah untuk orang kaya, yang atas penduduk miskin.
Begitu masuk bersama Gus Yahya Staquf dan Holland Taylor, saya membayangkan betapa Koloseum menjadi ajang pertarungan mereka yang bertanding di lapangan. Tapi juga pertunjukan aktor-aktor di dalamnya.
Saya lantas ingat film Gladiator. Film yang disutradarai Redley Scott dan dirilis Mei 2000 ini bercerita tentang pertarungan gladiator di Koloseum. Pertarungan hidup dan mati antar manusia dan binatang buas.
Pertarungan yang berakhir kematian bagi yang kalah. Yang disaksikan puluhan ribu elit politik Roma dan rakyatnya. Menciptakan kesenanangan dan hiburan lewat pertarungan berdarah-darah sampai melayangnya nyawa.
Hanya saja, film ini dengan setting sejarah tahun 180 Masehi. Jadi setelah seabad Koloseum itu berdiri. Kekaesaran Roma sudah berganti-ganti kaesar. Tentu juga sudah berganti para aktor-aktor politiknya.
Mengingat film Gladiator di dalam Koloseum membuat hati berdetak keras. Ribuan tahun lalu, politisi sudah memiliki cara canggih membangun citra diri. Melalui Koloseum ini.
Mereka meninabobokkan rakyat dengan menggelar pertandingan kolosal dalam panggung stadion yang besar dan megah. Keanggunan kaesar dibangun lewat panggung dan narasi di depan puluhan ribu rakyatnya.
Para senator bertaruh dan saling kasak-kusuk di panggung tingkat pertama Colosseum. Mereka bisa membangun kolosi, koalisi, atau rencana jahat melengserkan kaesarnya. Baik secara kasar dan lunak.
"Tempat ini sudah menjadi alat para politisi membangun citra diri. Meski untuk itu mereka mengorbankan nyawa para gladiator yang kalah oleh lawan. Meski darah muncrat di tengah lapangan," batin saya.
Selama ratusan tahun keberadaan Koloseum itu, diperkirakan ribuan orang maupun binatang mati dalam pertunjukan.
Saat meninggalkan karya arsitektur terbesar dalam sejarah Romawi itu, saya mendapatkan kabar korban rusuh demo mahasiswa dan rusuh Wamena di Tanah Air.
Advertisement