Kultur China dan Jejak Islam di Nusantara, Ini Fakta Sejarah
Ada yang khas di masyarakat Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah terkait dengan kultur China. Baik nuansa perkampungan dengan rumah-rumah berarsitektur China.
Apalagi yang jelas, mushalla, langgar dan Masjid, dibangun kental sekali nuansa China. Hal itu menambah kekhasan tersendiri bagi Lasem.
Belum lagi, Lasem yang juga dikenal dengan batiknya. Nilai dan unsur paduan yang harmoni, Jawa dan China, menjadi bagian penting sehingga memperkaya khazanah budaya Indonesia hingga saat ini.
Bagaimana sesungguhnya, dakwah Islam terkait dengan peran orang-orang Tionghoa atau etnis China di Indonesia?
KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU periode 2010-2021, mempunyai catatan yang khusus, menjadi pencerahan bagi umat Islam dan masyarakat secara luas.
Berikut ulasan Pengasuh Pondok Pesantren Ats-Tsaqofah, Jakarta:
Jejak Islam di Nusantara.
Jejak Islam di Nusantara amat erat kaitannya dengan budaya China. Sejarah mencatat, penyebaran Islam di Indonesia antara lain merupakan kontribusi muslim China yang melawat Tanah Air.
Pada 1410, ada pengajar Al Quran dari negeri China bernama Syekh Hasanuddin atau dikenal juga sebagai Syekh Quro yang tinggal di Rengasdengklok, Karawang.
Mendengar ada yang menyebarkan agama baru, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi marah dan berniat untuk membunuhnya. Namun, sesampainya di sana, Prabu Siliwangi justru terpesona mendengar alunan merdu salah satu santri yang sedang membaca Al Quran.
Santri tersebut adalah Nyai Subang Larang, putri Ki Gendeng Tapa, Kepala Bandar Cirebon. Nyai Subang Larang kemudian dinikahi Prabu Siliwangi. Sebagai syarat pernikahan, Prabu Siliwangi harus masuk Islam terlebih dahulu.
Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang anak yang berperan dalam sejarah Islam di Nusantara.
Anak pertama, Prabu Kian Santang menyebarkan Islam ke seluruh Jawa bagian barat. Semua masuk Islam kecuali Patih Pucuk Umun, yaitu Suku Baduy di Malingping. Mereka tidak mau masuk Islam, tetapi tidak mengganggu Islam.
Anak kedua bernama Somaddullah atau Abdullah Iman. Dia menjadi penguasa Cirebon dan dikenal sebagai Ki Kuwu oleh masyarakat Cirebon.
Anak terakhir adalah perempuan bernama Rara Santang atau Syarifah Mudaim. Rara Santang dinikahi seorang habib dari Gujarat bernama Abdullah Ahmad Khan. Dari pernikahan ini, lahirlah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Maka, masyarakat Jawa bagian barat saat itu seluruhnya memeluk agama Islam.
Sementara di timur, Raja Majapahit yang beragama Hindu, Brawijaya V, memiliki banyak istri. Salah satunya berasal dari China dan beragama Islam. Namanya Siu Ban Ci atau orang Jawa menyebutnya Dewi Retno.
Dari Siu Ban Ci, lahir anak bernama Jin Bun. Ia berguru ke Ampel Denta di Surabaya. Di sana, ia bertemu dengan seorang wali bernama Syekh Rachmatullah bin Ibrahim Samarqandy bin Jumadil Kubro, atau lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.
Jin Bun kemudian memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Patah. Ia kemudian mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Demak Bintoro.
Masyarakat Majapahit kemudian berbondong-bondong masuk Islam, termasuk Brawijaya V yang kemudian mengucilkan diri dan dimakamkan di Gunung Lawu.
Maka dari itu, berakhirlah riwayat Majapahit. Imperium yang begitu gagah perkasa pada masa Hayam Wuruk dan Gajah Mada bubar tanpa diperangi. Kata orang Jawa, sirno ilang kertaning bumi.
Hal ini menunjukkan cara dakwah para wali yang luar biasa. Mereka menggunakan pendekatan budaya dan tradisi serta tidak ada paksaan sama sekali. Masyarakat kecil yang sebelumnya hidup dalam struktur berjenjang akhirnya merasa dihormati sebagai manusia ketika memeluk Islam.
Tradisi yang telah ada di masyarakat tidak serta-merta ditolak. Misalnya saja, tradisi sesajen. Budaya ini diberi makna baru dan dijadikan kesempatan untuk berdoa.
Pada akhirnya, tradisi ini bukan lagi sesajen, melainkan menjadi selametan. Begitulah cara para Wali Songo mengharmoniskan antara teologi dan budaya.
Teologi berasal dari Tuhan, budaya berasal dari kreativitas manusia. Itulah yang dimaksud dengan Islam Nusantara. Islam yang harmonis dengan budaya.
Bahkan, tidak hanya harmonis, teologinya dibangun di atas infrastruktur budaya. Agama di atas budaya sehingga budayanya langgeng, agamanya kuat.
Ini yang membedakan dengan negara-negara Islam di Arab. Sampai sekarang, mereka belum selesai mencari sistem politik yang tepat. Tak heran jika pemimpin Islam di Arab tidak nasionalis. Sementara pemimpin nasionalis bukanlah pejuang Islam.
Tengok saja pemimpin-pemimpin nasionalis, seperti Hafez al-Assad, Saddam Hussein, Gamal Abdel Nasser, dan Moammar Khadafi, yang meski beragama Islam, bukanlah pejuang Islam. Sementara itu, ulama-ulama pejuang Islam, tidak nasionalis.
Berbeda halnya dengan di Indonesia, KH Hasyim Ashari 100 persen Islam dan 100 persen nasionalis. Dengan mencetuskan hubbul wathan minal iman atau cinta Tanah Air sebagian dari iman.
Itulah yang dimaksud dengan Islam Nusantara yang menjadi tema besar Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 2015 di Jombang. Islam yang harmonis, terintegrasi dengan tradisi, budaya, peradaban, dan kreativitas.
Indonesia dan China
Menengok sejarah, tidak mungkin kita memisahkan Indonesia dengan China karena asimilasinya sudah sangat kuat. Perlu diingat pula, kedatangan bangsa China ke Nusantara itu bukan sebagai penjajah, melainkan pedagang.
Bicara tentang agama terdapat dua hal. Pertama, teologi. Ini menyangkut keyakinan dan tidak bisa dipaksakan, kecuali mendapat hidayah.
Teologi merupakan fondasi, sedangkan tembok yang mengelilinginya adalah akhlak atau moral yang baik. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, misalnya hormat orang tua, saling menolong, dan gotong-royong. Oleh karena itu, dalam berbicara tentang agama, yang dikedepankan seyogianya dialog tentang kemanusiaan.
Saya sudah beberapa kali berkunjung ke China dan bertemu dengan komunitas Muslim, antara lain di Kunming, Xinjiang, Chengdu, Guangzhou, dan Beijing.
Memang ada kelompok tertentu Uighur yang keras dan ingin memisahkan diri dengan China. Akan tetapi, umat muslim di sana relatif bebas. Selama menyangkut masalah politik, sepatutnya kita tidak ikut campur.
NU berprinsip sebagai Islam moderat, yakni Islam yang tidak tekstual, tetapi juga tidak liberal.
Oleh karena itu, Islam moderat adalah Islam yang menggabungkan antara teks Al Quran, hadis, dan akal. Akal ada dua, akal politik atau konsensus (ijma) dan akal individu (qiyas) sehingga harmonis antara akal dan teks. Ahlussunnah wal Jama’ah itu sumber syariatnya ada empat, yaitu Al Quran, hadis, ijma, dan qiyas.
Kita berharap, ke depan kerja sama yang terjalin antara Indonesia dan China yang sudah terjalin 70 tahun dapat diperkuat. Tidak hanya budaya, tetapi juga kesempatan lain yang lebih besar untuk mempelajari keunggulan teknologi yang dimiliki China.
Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.