Kulit dan Soto Pandemi
Sudah begitu lama saya tak mau diminta jadi pembicara talkshow. Tapi kali ini tak bisa mengelak karena temanya menarik. Tetap kreatif saat pandemi.
Yang menggelar salah satu hotel berbintang di kawasan Jemursari. Dikemas seperti talkshow di TV. Kelak akan ditayangkan di channel YouTube miliknya.
Betapa mudahnya sekarang untuk menggelar talkshow. Tidak harus punya stasiun TV. Banyak platform untuk menyiarkannya. Dengan gratis pula. Jelas ini ancaman bagi TV teresterial.
Pembicaranya para pengusaha muda. Kelas startup alias UKM (Usaha Kecil Menengah). Yang tak menyerah menghadapi pembatasan akibat Covid-19.
Ada seorang pengrajin kulit, ada penjual soto. Pengrajin kulit itu bernama John Anglo. Orangnya nyeniman. Ngomongnya Suroboyoan.
Dia mengaku sempat jeblok omzetnya begitu ada pandemi. Dari yang biasanya bisa mencapai Rp 1 miliar setahun, tanggal 20 persennya.
Tapi dia tidak menyerah. Selain memproduksi tas, jaket dan ikat pinggang, sejak pandemi memproduksi masker kulit. Bisa pesan sacara customize.
Pria yang bernama asli Agus Nanang Ichtiar menekuni kerajinan kulit setelah berhenti kerja dari PT Ecco. Ini adalah perusahaan kulit dan sepatu dari Swiss.
Ia berhenti tahun 2013. "Dari pada ilmu saya hilang, lebih baik saya meneruskan produk kulitnya. Dengan membuat produk jadi. Tahun 2015 melahirkan nama John Anglo," katanya.
Setelah omzetnya jeblok setelah pandemi, ia bersama kelompoknya menggarap pasar Jakarta. Membentuk group dengan teman-temannya yang mau berjuang. Bikin event Jatim di Mall.
"Sampai saya kena COVID-19 di Jakarta. Alhamdulillah sembuh. Dari situ saya makin bersemangat bangkit. Bersyukur tanpa batas," katanya menggebu-gebu.
Agus Anang, eh John Anglo tak berhenti berangan-angan. Ia ingin Surabaya punya galeri kulit. Yang bisa mengalahkan Tanggulangin sebagai sentra kulit.
Dulu sentra kerajinan kulit memang identik dengan Sidoarjo. Khususnya Tanggulangin. Tapi kemonceran sentra itu mulai suram. Sejak kebanjiran produk Tiongkok yang lebih murah.
John Anglo punya pengalaman soal persaingan harga. Saat mulai memproduksi masker kulit saat pandemi. Ia bertahan dengan harga saat yang lain hancur-hancuran.
Hasilnya? "Alhamdulillah bisa bertahan. Yang penting kita mengedepankan kualitas. Dan terus konsisten dengan standar produk kita," tambah pengusaha yang bergairah ini.
Cak Waras lain lagi. Tahun 2016 ia mendirikan warung Soto Suroboyo. Setelah lama ikut warung soto yang amat terkenal dan terbesar di kawasan timur Surabaya.
Ia nekat mendirikan warung sendiri dengan penuh perhitungan. Setelah punya anak hasil perkawinan. "Saya harus punya warung sendiri biar bisa menyekolahkan anak," katanya.
Pria kelahiran Tuban yang tinggal di Jombang tapi mencari uang di Surabaya ini tak hanya bakul soto biasa. Dia sudah sadar tentang segmen pasar yang dibidik.
Dia tak mau bersaing dengan tempat kerja sebelumnya. Itu pemikiran awalnya. Setahun gagal, ia tak putus asa. Bikin warung lagi di tempat lain baru menghasilkan.
Kini sudah punya beberapa Warung Soto Suroboyo. Dan masih ingin punya banyak warung lagi. "Awal pandemi sempat jeblok. Tapi saya tak mau tutup biar karyawan saya tetap punya pekerjaan," katanya.
Dia bilang menutup warung itu tidak bagus. Sebab, lebih sulit untuk memulai lagi. Seperti menghidupkan mesin produksi. Akan lebih mahal biayanya dibanding menjaga mesin atau warungnya tetap hidup.
John Anglo dan Cak Waras hanya sebagian kecil pengusaha yang tak mau kalah dengan keadaan. Terus bergerak kreatif untuk mengatasi keadaan. Bukan menyerah menjadi korban.
Selalu ada dua jenis manusia dalam menghadapi situasi sulit. Sebagian cenderung menganggap sebagai cobaan, yang lain mensikapinya sebagai tantangan. Sikap ini akan menuai hasil akhir berbeda.
Ketika situasi krisis dianggap sebagai cobaan, secara tidak sadar akan menempatkan diri sebagai korban. Objek yang pasif, bukan subjek yang bisa menentukan berbagai tindakan.
Sebaliknya, jika menganggap kondisi sulit sebagai tantangan, mereka akan bersifat aktif. Bergerak dan terus berusaha keras mengatasi tantangan. Ini akan menjadi energi baru yang menghasilkan.
Pengusaha sukses tak pernah melihat kesulitan sebagai cobaan. Apalagi menempatkan dirinya sebagai korban. Ia akan selalu melihat segala sesuatu sebagai tantangan. Sekaligus ingin menjadi pemenang.
Pandemi COVID-19 memang membuat banyak usaha bertumbangan. Tapi juga banyak yang melejit dan berkembang. Pilihan tetap ada kita: tumbang sebagai korban. Atau terus bergerak sebagai pemenang.
Advertisement