Kuliner Kota Madinah dan Mekah; Hubus
Kalau pas lagi haji, atau umroh, sempatkan diri mencari sensasi dengan melakukan petualangan kuliner. Makan di hotel atau di tempat yang disediakan, menunya memang enak, tapi biasa. Maksudnya hampir tiap hari kita nikmati di tanah air. Sambal goreng, rendang, cah sayur, ayam filet, soup jagung dan menu Indonesia lainnya, dengan nasi putih.
Mumpung lagi berada di Madinah atau Mekkah, mencari sedikit sensasi dengan berburu kuliner meninggalkan kesan tersendiri, di samping tentu saja tetap melakukan prosesi religi. Cari kuliner yang enak tetapi murah layak dicoba untuk memperkaya pengalaman. Kriteria murah tetap penting agar tidak teralu menguras isi kantong.
Kemarin siang saya berhasil mendapatkan hubus atau roti dengan lauk daal dan sup kambing, di Madinah. Di sekitar masjid Nabawi, di mana terdapat makam Nabi Muhammad SAW sebagai pusat tujuan ziarah ke Kota Madinah, memang sekarang sudah bersih dari restoran atau mat’am. Ya, tidak ada restoran. Mungkin otoritas Kota Madinah menganggap restoran-restoran yang dahulu tersebar di sekitar Masjid Nabawi sangat mengganggu orang yang akan beribadah. Makanya restoran-restoran atau warung-warung makan itu dibersihkan.
Jadi saya mendapatkan roti tradisional itu agak jauh dari Masjid Nabawi, di daerah Daudiyah, sekitar 1,5 kilometer sebelah utara Masjid Nabawi. Ada lumayan banyak restoran yang menyajikan menu lokal maupun internasional di sepanjang jalan. Termasuk masakan China dari Provinsi Xinjiang yang memang berpenduduk muslim. Restoran Al Masani, kecil saja, berada di antara restoran-restoran di kawasan Daudiyah itu.
Hubus, bukan saja ada di Arab Saudi, tetapi rakyat beberapa negara Arab seperti Yaman, Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir dan Aljazair juga menjadikan hubus, bersama roti jenis lain, sebagai makanan pokok sehari-hari. Di India, Pakistan dan Afghanistan, orang juga makan hubus, yang rasa dan cara membuatnya tidak berbeda, kecuali namanya; parata.
Untuk mematangkannya, roti pipih bulat dengan diameter sekitar 30 sentimeter itu ditempelkan ke dinding bagian dalam sebuah gentong yang posisinya miring, dengan bantuan bantalan bulat yang diberi gagang. Di dasar dalam gentong ada api yang membara. Karena itu diperlukan bantalan bulat bergagang agar tangan tidak panas ketika menempelkan roti mentah ke dinding dalam gentong. Dibutuhkan waktu sekitar lima menit untuk mematangkan roti itu. Kalau sudah matang, cara mengambilnya dicukit dengan dua besi kecil sepanjang hampir satu meter yang ujungnya melengkung dan runcing.
Hambar
Tiga orang laki-laki asal Kota Mazari Sharif, Provinsi Balkh di Afghanistan timur laut, bekerja di restoran kecil yang memproduksi hubus ini. Orang bisa membeli hubus saja, atau ditambah daal dan soup daging. Tapi harus dibawa pulang, tidak bisa dimakan di tempat. Aturan ini sebagai ekor dari pandemi yang lalu, restoran ditutup kecuali orang membeli makanan untuk dibawa pulang. Memang, hubus rasanya hambar saja, karena itu harus ada lauk yang menyertainya. Hubus adalah nasi bagi kita, di Indonesia.
Ada dua jenis hubus yang dijual di resto kecil itu. Original, harganya 1 Riyal Saudi, dan hubus yang dilapisi mentega plus jinten, harganya 2 Riyal Saudi. “Kalau yang original hanya dibuat dari terigu, air dan garam. Sedang yang istimewa ada tambahan mentega, jadi harganya lebih mahal,” kata Hasan Afghahan, salah satu dari mereka.
Hasan kebetulan bekerja bagian menempelkan adonan di dinding dalam gentong, serta mencukilnya bila sudah matang. Tapi Hasan juga melayani pembeli di depan. Sedang yang bekerja membentuk adonan jadi pipih siap dipanggang adalah Abdul Ghani, sementara satu lagi yang memasak dal dan soup adalah Muhamad Afzhal.
Naan
Untuk makan siang kemarin, saya membeli dua hubus harganya Rs 2, satu porsi kecil daal Rs 2 dan dan satu porsi kecil soup juga Rs 2. Jadi total Rs 6, atau senilai Rp 24 ribu, kalau Rs 1 kursnya Rp 4 ribu. Enam riyal cukup kenyang untuk makan dua orang, ditambah Rs 3 untuk sekaleng soft drink satu riyal lagi untuk air mineral. Dua orang merasa kenyang, tidak makan apa-apa lagi hingga malam hari.
Di Surabaya, kita juga bisa mendapatkan hubus yang sama, hanya pada satu tempat yaitu resto atau lebih tepatnya warung kaki lima milik Mohamad Ali, perantau dari Pakistan yang menikah dengan perempuan asal Madura. Mereka bertemu saat sama bekerja di Malaysia.
Di resto Tandoori Corner milik Mohamad Ali yang berada di Jl. Ikan Mujaer kawasan Tanjung Perak Surabaya ini, rotinya dinamakan naan. Rasanya persis sama dengan hubus yang di Madinah. Ada beberapa varian dengan harga berbeda, yang original Rp 11 ribu, sedang yang varian keju, coklat dan mentega masing-masing Rp 14 ribu. Beberapa menu bisa dipesan sebagai pasangan naan, antara lain mutton masala, mutoon qeema, beef masala, chiken masala serta daal yang harganya antara Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu.
Di Indonesia ada roti sejenis yang juga banyak dikenal, yaitu roti maryam dan roti cane. Beda dengan hubus atau parata atau naan yang dipanggang dalam gentong, roti maryam dan roti cane mematangkannya dengan digoreng. Keduanya berasal dari India, tetapi khusus roti cane sudah dibuat dan dimakan masyarakat Aceh sejak dahulu. Beda antara maryam dan cane tipis-tipis saja, maryam tebal sedang cane tipis tetapi lebar. (nis)
Advertisement