Kuldesak
Cerpen
Oleh Hamurasandrini
Bagaikan tersedot pusaran magnet, Ray kembali ke tempat ini setelah mengantar Ninit pulang. Di sini, di lantai tiga ruang baca perpustakaan kampusnya, Ray terduduk sendirian sambil memutar kembali semua pembicaraannya dengan Ninit siang tadi.
“Kita tidak akan pernah bisa bersama, Ray. Siapa aku sampai harus mengambilmu dari keluarga yang begitu menyayangimu. Aku pun juga tidak akan bisa begitu. This relationship has no future.” Suara Ninit terdengar begitu sendu di telinga Ray saat itu.
Perlahan wajah tirus di hadapannya tampak seperti digelayuti awan kelabu. Tanpa menjawab, Ray hanya merangkul pundak Ninit dan menarik gadis itu ke pelukannya. Sepasang mata teduh Ray menolak untuk bertemu pandang dengan mata gundah Ninit. Kegalauan gadis itu terasa nyata di dalam pelukannya.
Apa yang ditakutinya selama ini pun muncul ke permukaan. Tak disangkanya, Ninit memendam keresahan yang sama.
Ray merasakan bahu Ninit berguncang. Masih dalam diam, Ray makin erat memeluk Ninit yang terisak. Dia lantas mendaratkan kecupan di kepala gadis kesayangannya itu. Rambut ikal Ninit yang tetap wangi meski seharian terpapar sinar matahari selalu membuat Ray mampu membenamkan wajahnya di sana, selama apa pun.
“Tenang, Nit. Belanda masih jauh. Gak perlu ditangisi. Kita jalani saja,” bisik Ray. Hanya kata-kata itu yang bisa diucapkannya setelah terdiam seribu bahasa. Tiga puluh menit yang mereka lalui berdua dalam keheningan dan pelukan.
Sakti. Kata-kata Ray bisa membuat Ninit lebih tenang. Ninit mengangkat kepala, menghela napas panjang, dan menatap Ray sambil tersenyum.
“Lapar,” kata Ninit kemudian.
Ray tergelak. Khas Ninit, batinnya. Selalu kelaparan setelah menangis sesenggukan.
Ray menggandeng Ninit keluar dari ruang baca. Sepiring batagor di koperasi mahasiswa menjadi tujuan mereka berdua. Biasanya setelah kenyang, mereka kembali menghabiskan waktu di ruang baca lantai tiga hingga menjelang pukul 8 malam. Namun, kali ini, Ray langsung mengantarkan Ninit ke kos dan sengaja tidak mampir. Ray beralasan sepeda motor mau dipakai si Ganteng—julukan yang disematkan Ninit pada kakak Ray yang memang rupawan—karena ada kuliah tambahan. Tanpa merengek, Ninit merelakan Ray pergi. Hari itu, Ray dan Ninit tepat dua tahun pacaran.
Ray menghela nafas panjang. Bayangan semua peristiwa siang tadi masih begitu nyata. Rasanya seperti tiba di gerbang penentuan setelah setahun menjalani hubungan serius dengan Ninit dengan penuh kegelisahan.
Setahun sebelumnya, mereka berdua menjalani hubungan ini dengan ringan. Masih sama-sama memiliki kekasih di kampus lain, sama-sama tahu bahwa mereka bukanlah the only one untuk satu sama lain. Mereka menjalani hubungan tanpa status di sela kesibukan masing-masing: menjadi pacar orang lain.
Ray dan Ninit menjalani hubungan mereka yang entah-apa-namanya itu secara mengalir. Sesampainya. Hingga ketahuan pacar masing-masing lalu diputusin? Hingga capek karena kegiatan harian jadi superbanyak? Atau, hingga menemukan keseruan baru bersama orang lain? Mereka berdua tak pernah memikirkannya. Atau menolak memikirkannya.
Namun, hari itu tiba juga. Hari untuk memutuskan. Selama ini, semakin dekat dengan Ninit, Ray merasa semakin nyaman. Tawa Ninit adalah candu baginya. Kemudian, Ray selalu bisa menciptakan alasan untuk berjarak dengan pacarnya. Ray kecanduan Ninit. Gawat.
Kebersamaan dengan Ninit yang semula adalah sekadar keseruan belaka, lantas menjadi momen yang selalu Ray rindukan. Pertemuan-pertemuan yang awalnya hanya kebetulan, berubah menjadi sesuatu yang Ray agendakan.
Ray juga mulai menjaga jarak dari kekasih Ninit. Jika tadinya dia bisa santai menemani Ninit di tempat parkir menunggu jemputan, kini Ray menjadi geram melihat tangan lelaki itu merangkul gadis pujaannya. Ray galau. Apakah aku jatuh cinta? Lagi?
Ray tidak lagi menganggap hubungannya dengan Ninit sekadar keseruan. Ray tidak bisa lagi jauh dari Ninit. Jika kebetulan Ninit tidak terlihat di kampus, dia akan mencarinya.
“Di mana?” tanya Ray di telepon di satu waktu saat kehilangan Ninit dari pandangannya.
“Kos,” jawab Ninit.
“Sama siapa?” lanjut Ray.
“Sendirian,” ujar Ninit.
“Aku ke situ,” kata Ray.
Tiga detikan. Ray dan Ninit tidak pernah bertelepon panjang lebar dan mengobrol. Mereka memilih berbalas pesan suara maksimal dua kata sambil memanfaatkan fasilitas gratis tiga detikan dari provider seluler.
Setelah saling bertemu, biasanya mereka akan lupa waktu. Ngobrol ngalor-ngidul.
Sejak masih “ilegal” dulu, perpustakaan adalah safe haven Ray dan Ninit. Tidak perlu alasan panjang lebar ke pacar masing-masing untuk berada di perpustakaan seharian. Kalau apes, ya mereka akan bertemu pacar Ray di perpustakaan. Jika itu terjadi, Ninit pun akan ngeloyor ke lantai tiga sendirian.
Sebelumnya, hal-hal seperti itu adalah keseruan. Mereka akan mengenang peristiwa “kepergok” itu sebagai kejadian lucu yang perlu ditertawakan sambil minum es teh di kantin fakultas di lain hari.
Belakangan, Ray merasakan “kepergok” di perpustakaan sebagai kesialan. Dia bisa menggerutu seharian.
Ray gusar dan kini menyebut hari-harinya tanpa Ninit adalah nahas. Dia menjadi tidak suka jika pacar Ninit menjemput tepat waktu. Sebab, itu artinya dia dan Ninit tidak akan punya waktu untuk ngobrol lebih lama di luar kelas.
Ray pun menjadi kesal karena tidak bisa mengirimkan pesan tertulis kepada Ninit dengan leluasa. Pacar Ninit suka membaca-baca pesan di telepon genggam kekasihnya. Ray dan Ninit pun bersepakat untuk tidak meninggalkan banyak jejak tertulis tentang hubungan mereka.
Ray merasa ini saatnya harus memilih antara Ninit atau kekasihnya. Sementara Ray gelisah sendiri, kekasihnya seperti tidak pernah mengendus hubungan istimewanya dengan Ninit. Pertemuan-pertemuannya dengan Ninit menjadi semakin intens.
“Kamu belakangan makin sering ilang. Sibuk apa?” tanya Ninit saat Ray tiba-tiba muncul di kosnya pada suatu siang.
“Ilang gimana? Si Ganteng itu sibuk. Susah emang kalau motor cuma satu. Gantian,” terang Ray.
“Oh. Kirain menghindari aku,” ungkap Ninit.
“Oh. Itu juga sih,” sahut Ray.
“Hah!? Jahatnya,” kata Ninit.
“Bukan jahat. Aku cemburu lihat kamu dijemput Vijay. Pacarmu yang kayak aktor India itu,” kata Ray.
Ninit tertawa. Dia mencubit pipi Ray dengan gemas. Pandangannya lekat pada teman kampus yang menempati ruang istimewa di hatinya itu.
“Nit, aku serius. Apakah kita tidak punya kesempatan untuk bersama?” bisik Ray tiba-tiba.
Ninit mengerlingkan mata indahnya. Jantung Ray berdegup makin kencang menanti jawaban pujaannya. Sambil menatap lekat gadis itu, diraihnya tangan Ninit. Ray berharap getaran cintanya tertangkap radar Ninit.
“Udah, ah. Jangan serius-serius kamu ini. Ntar kita gak seru lagi. Makan aja, yuk,” ajak Ninit lalu beranjak dari hadapan Ray.
“Ninit! Aku serius!” tegas Ray.
Ninit yang sudah berdiri pun kembali duduk. Ninit mencoba mencari sinyal bercanda pada wajah tampan di hadapannya. Namun, yang dia dapati hanyalah kesungguhan.
“Kamu seserius apa memangnya?” jawab Ninit setelah lima belas menit terdiam.
Tatapan tajam Ray menghujam seakan berusaha menjawab pertanyaan Ninit. Namun, ribuan kata yang ingin terucap seakan terkunci di udara.
Percakapan di kos Ninit sore itu membuat hubungan mereka berdua memasuki babak baru. Ada jarak yang tak sengaja terentang di antara mereka. Ray makin jarang berkeliaran di kampus. Dia hanya ada sesaat sebelum jam masuk kuliah dan segera melesat ke parkiran tiap kelas usai.
Sebulan setelah peristiwa itu, Ray putus dengan pacarnya yang sibuk mengejar beasiswa ke Inggris dan tidak mampu membagi waktu. Keputusan yang membuat teman-teman Ray memandang iba, justru diterima Ray dengan senang hati. Dirinya kembali jomlo tanpa harus menjadi pihak yang mengucap kata putus.
Ray memberanikan diri menemui Ninit di sudut kampus. Dalam tatapan penuh kerinduan, Ninit menyambut ajakan Ray untuk bicara dengan serius malam itu di kontrakan Ray. Penjelasan Ray membuat Ninit tertegun.
“Aku harus putus juga ya ini?” kata Ninit.
“Aku tidak pernah menyuruhmu begitu. Kamu punya atau tidak punya pacar, aku akan tetap menjadi Ray yang mencintaimu,’’ tegas Ray.
Ninit tidak bisa berkata-kata. Malam itu di kontrakan Ray, Ninit hanya bisa terdiam dalam pelukan teman tapi mesranya yang telah menjadi jomlo itu.
Bagaikan gurun tersiram hujan, Ray menjadi dirinya yang dulu. Suka bercanda, ceria, dan ramah. Semua kabut di dirinya terangkat sudah. Tanpa beban, Ray pun menikmati setiap pertemuannya dengan Ninit. Bahkan Ray pun rela menemani Ninit dijemput kekasihnya.
Namun, justru Ninit yang menjadi gelisah. Ada yang mendesaknya untuk segera membebaskan diri dari cinta segitiga itu. Ketulusan Ray membuatnya semakin jatuh hati pada lelaki itu.
Hanya Ray yang dipikirkannya ketika kegelisahan melanda.
“Udah tidur?” tanya Ninit begitu Ray mengangkat teleponnya di suatu dini hari, tepat pukul tiga.
“Udah bangun,” sahut Ray, “kamu baik-baik saja?”
“Abis berantem,” kata Ninit.
“Aku ke situ?” tanya Ray.
“Besok pagi aja,” jawab Ninit.
“Okay,” kata Ray.
“Aku telepon aja. Pulsaku banyak. Jangan dimatikan. Aku temani sampai kamu tidur,” sambung Ray membuyarkan ritual tiga detikan mereka.
Esok paginya, Ray tiba di kos Ninit pukul 07.00 pagi. Kepada teman kos Ninit yang membukakan pintu, dia berpesan agar tidak usah membangunkan Ninit. Ray menunggu di ruang tamu sampai Ninit bangun. Percakapan mereka malam sebelumnya baru usai menjelang subuh. Pasti Ninit terlelap seketika. Namun, Ray tetap terjaga menanti matahari terbit, tak sabar ingin berjumpa Ninit.
Sekitar 30 menit menunggu, Ray mendengar pintu kamar Ninit dibuka. Dengan rambut ikal yang kusut, Ninit keluar dari kamar lalu menuju kamar mandi. Ninit tidak melihat Ray yang duduk di ruang tamu. Setelah cuci muka dan gosok gigi, Ninit berjalan santai kembali ke kamarnya.
Setengah terkejut, dia melihat Ray yang duduk anteng di ruang tamu. Senyumnya langsung mengembang. Kedua tangannya membentang dan langsung memeluk Ray.
“Pagi, hunny! Pagi banget udah sampai,” kata Ninit riang.
“Lapar. Abis nangis semalaman,” canda Ray.
Ninit membalas guyonan Ray itu dengan melemparkan handuk ke badan pacar barunya.
Hari itu, dua tahun lalu, menjadi hari yang paling melegakan bagi Ray dan Ninit. Akhirnya, mereka bisa lepas dari cangkang teman dekat dan menjalani hubungan dengan status jelas. Pacaran. Semuanya terasa ringan, menyenangkan, sampai setahun kemudian saat Ray sadar bahwa dia sungguh-sungguh tidak bisa kehilangan Ninit. Padahal, perbedaan membentang di antara mereka. Beda agama. Beda suku.
Namun, Ray tahu pasti mereka saling mencintai dengan cinta yang tumbuh kian kuat. Ah, nanti juga ada jalannya. Kalimat itu selalu diucapkan Ray untuk menghibur dirinya.
Selama itu, Ray mengira hanya dialah yang terbeban dengan perbedaan yang tak mungkin diabaikan. Keresahannya disembunyikan sekuat tenaga. Kehilangan Ninit akan lebih menyakitkan baginya.
Ray menjadi ahli dalam mempraktikkan seni menunda ledakan emosi. HIngga kemudian, Ninitlah yang memecahkannya. Siang tadi, tepat pada anniversary mereka yang kedua. Kegelisahan yang sama pun terucapkan.
Ray masih terduduk di kursi baca favoritnya di lantai tiga perpustakaan. Kalimat Ninit berdengung lagi. Terasa ada perih di hatinya. Bagaimanapun, kata-kata Ninit benar. Hubungan mereka tidak punya masa depan. Padahal semester depan mereka wisuda. Babak baru kehidupan menanti mereka. Sebagai sarjana, sebagai pekerja, ataukah mungkin juga sebagai pasangan?
Keesokan paginya, Ray kembali menemui Ninit setelah peristiwa di perpustakaan itu. Disodorkannya satu lembar kertas pada Ninit. Sebuah ide yang muncul dalam kesendiriannya siang kemarin.
“Kita apply beasiswa ke Inggris ini, yuk. Kalau diterima kan kita bisa lanjut sama-sama,” kata Ray.
Ninit tertawa mendengar usul kekasihnya. Dia tahu, Ray masih belum punya jawaban untuk meredam gundahnya.
“Lalu, kita bisa hidup bersama tanpa menikah di sana? Gitu?” sahut Ninit. Tawanya terdengar begitu lepas.
Ray nyengir. Sambil menganggukan kepala, Ray memeluk Ninit dari belakang.
“Apa pun, Ray. Apa pun yang bisa memperpanjang kebersamaan kita, bisa kita lakukan. Tapi, itu hanya sementara. Itu bukan solusi. Kita hanya melarikan diri,” bisik Ninit.
Ray mengeratkan peluknya. Hidungnya menghirup dalam-dalam aroma wangi rambut ikal Ninit. Ray semakin tidak siap kehilangan Ninit. Dalam gundahnya, dia semakin yakin bahwa bersama Ninit adalah satu-satunya keinginannya saat ini. Walau bagaikan jalan tak berujung, Ray yakin suatu hari nanti pasti ada jalannya.
15102021
Advertisement