Kudeta Militer Myanmar, Negara ASEAN Berbeda Sikap
Sejumlah negara di Barat dan Timur mengutuk kudeta yang dilakukan oleh militer untuk menggulingkan pemerintahan pemenang pemilu 8 November lalu. Sedangkan negara anggota ASEAN berbeda sikap dalam melihat kudeta tersebut.
Sekretaris PBB Antonio Guterres menyebut kudeta itu adalah " tiupan yang serius pada reformasi demokrasi di negara tersebut," dan mendorong pemimpin negara lain untuk menghentikan aksi kekerasan serta menghormati hak asasi manusia, kata juru bicara PBB.
Hal serupa juga disampaikan oleh pemerintah Australia, Singapura, Indonesia, dan juga Amerika Serikat.
"Kami meminta agar militer Myanmar membebaskan pemerintah dan pimpinan publik, serta menghormati pilihan warga sesuai dengan pemilu 8 November," kata Sekretaris Negara Amerika Serikat, Antony Blinken, dalam pernyataanya, dilansir Reuters.
Bahkan Joe Biden di Gedung Putih juga melakukan brifing terkait kudeta di Myanmar. "Amerika Serikat menentang upaya yang ingin melawan hasil pemilihan atau yang menghalangi transisi demokratik di Myanmar, dan akan bertindak jika upaya itu tidak dihentikan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Sementara Menlu Australia Marisa Payne meminta agar militer "menghormati aturan, menyelesaikan konflik melalu mekanisme hukum, dan segera membebaskan pimpinan publik dan tokoh lain yang telah ditahan," katanya.
Sedangkan Menlu Singapura, mendorong seluruh pihak untuk menahan diri, serta bekerja mencapai perdamaian. Komentar serupa juga disampaikan oleh Malaysia dan Indonesia.
Meski, anggota ASEAN lain berbeda pendapat. "Itu urusan internal mereka," kata Wakil PM Thailand Prawit Wongsuwan, kepada reporter ketika bertanya tentang kudeta di Myanmar. Kamboja dan Filipina, menurut Reuters, juga menyampaikan komentar serupa.
Diketahui, militer Myanmar yang disebut Tatmadaw menangkap Aung San Suu Kyi dan sejumlah pimpinan lainnya, pada penyergapan Senin, 1 Februari 2021.
Militer juga mengambil alih pemerintahan serta menerapkan status darurat selama satu tahun.
Penangkapan dilakukan setelah muncul konflik antara militer dan pemerintah pemenang hasil pemilu, terkait dugaan pemilu yang curang. Tuduhan yang dilemparkan militer ini tak pernah terbukti. (Rtr)