Kudeta Berebut Kuasa, Jalan Riuh Kembali ke Demokrasi
Hari-hari belakangan, banyak yang bertanya pada kami. Isu kudeta di Partai Demokrat ini, membuat banyak orang resah juga tertarik. Saya yang juga bagian dari Partai Demokrat, banyak jadi sasaran pertanyaan itu.
Di setiap kudeta, ada orang dalam, ada juga nama orang luar partai yang terlibat. Tidak mungkin orang dari luar bisa terlibat, tanpa ada bantuan dari lingkungan dalam partai. Perlu orang dalam agar yang dari luar, bisa masuk ke dalam sistem. Model ini sudah sering muncul, memaksakan kehendak, dengan cara yang tidak sesuai aturan partai, dan lupa tujuan partai ini untuk siapa.
Dulu, jika ada pihak yang memiliki keinginan tertentu, dan tidak sesuai dengan kehendak partai, mereka kemudian menggunakan berbagai cara. Bentuknya bermacam-macam, sampai kongres luar biasa hingga musyawarah nasional luar biasa. Hanya untuk mencapai keinginan mereka saja. Beragam cara, tujuannya ya sama, mencapai kepentingan mereka.
Cara-cara seperti ini sesungguhnya akan kembali kepada mereka dengan dampak yang buruk. Segala sesuatu yang tidak tersistem, pasti akan bermasalah. Keberadaanya pasti selalu dalam kondisi yang tidak stabil, terancam, sehingga tidak pernah benar-benar kokoh. Maka, jika tujuannya memang bagus, saya kira, caranya juga harus bagus.
Di Partai Demokrat, partai ini berangkat dari nilai demokrasi. Banyak upaya dan gagasan berangkat dari masyarakat paling bawah. Seandainya sekarang ada bengkok, konsolidasi harus dimulai dari bawah. Berjalan ke pusat. Ada mekanisme yang mempertemukan suara kader. Kemudian bertemu bersama, pertama, kedua, ketiga, itu lebih fair. Titik akhir, puncaknya, baru ada yang namanya Munaslub. Berarti ada yang mendesak sekali, sehingga diselesaikan menggunakan Munaslub.
Saya menyayangkan sekali. Kalau sekarang ada istilahnya kudeta, mendongkel kepemimpinan dengan cara yang tidak baik. Itu tidak sunatullah. Ketika kita tidak cocok dengan pimpinan, ya harus ada yang disampaikan. Jangan jadi orang ketiga, pengacau. Orang yang merongrong jalannya organisasi.
Mendongkel, itu tidak beretika dan tentu tidak berakhlak. Etika itu muncul berdasarkan nilai yang disepakati bersama, sedangkan akhlak itu bersumber dari kebenaran. Etika saja itu sudah melanggar, apalagi akhlak.
Sampai di sini, tentu isu kudeta ini tidak kami sukai. Namun, bisa jadi, apa yang dibenci ini ada hikmahnya. Di balik yang riuh ini, ada manfaat baiknya. Hemat saya, ini menjadi instropeksi kami, bahwa kader kami, ada yang tidak militan.
Waktunya memperbaiki demokrat, sesuai dengan nilai demokrasi. Berkaca, mematut diri pada cermin. Sistem kaderisasi yang terkadang instan, tak ada pendampingan, tak ada kaderisasi yang terstruktur, hingga cara menjaga kepercayaan dan amanah dari konstituen. Jangan-jangan, selama ini hanya jadi partai menjelang pemilu saja.
Ini harus jadiĀ catatan kita semua. Memperbaiki dan kembali ke ruh lagi. Ini adalah sikap kami yang ada di Demokrat.
Tak lupa, juga menguatkan demokrasi. Bahwa fungsi Partai Demokrat bukan hanya untuk anggota saja, tetapi juga untuk rakyat. Harus diingat, partai ini hanya jalan menuju kekuasaan. Tujuannya tentu bukan untuk kepentingan golongan, apalagi sendiri. Tetapi untuk memberikan advokasi pada rakyat.
Sutiaji
Kader Partai Demokrat
Walikota Malang
Advertisement