KTNA Blitar Mengeluh Kebijakan Pemerintah Ciptakan Kerumitan ke Petani
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Blitar, Mujib, mempertanyakan program dan kebijakan pemerintah kepada petani. Yaitu soal peraturan pemerintah pusat yang menciptakan labirin (sistem dengan jalur rumit Red) bagi petani.
“Sebetulnya program dan kebijakan pemerintaha ke petani berpihak kepada siapa?” ujarnya di rumahnya di Desa Tlogo Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Minggu 15 September 2024.
Dikatakan Mujib, banyak program yang digelontorkan ke petani dengan berbagai slogan pemerintah. Seperti terkait ketahanan pangan dan kemandirian pangan yang digaungkan. Nyatanya membawa persoalan dimana posisi petani semakin terhimpit dengan berbagai macam regulasi.
Contohnya, lanjut Mujib, seperti peraturan akses petani dalam memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, peraturan perizinan pengeboran sumur bor. Juga munculnya intimidasi aparat penegak hukum bagi petani yang memproduksi dan mengedarkan pupuk organik padat di tengah-tengah pengurangan kuota pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non subsidi,
Mujib mengeluhkan peraturan daerah tentang perlindungan dan pemberdayaan petani Nomor 19 Tahun 2019 seperti tidak ada artinya. “Itu ketika peraturan pemerintah pusat tidak berpihak kepada petani,” tandasnya.
Kemudian, lanjut Mujib, banyak program daerah melalui dinas pertanian yang digelontorkan kepada petani mileneal bagaimana cara membuat pupuk padat dari kotoran ternak atau kohe ( kotoran hewan ), ketika dijual diperkarakan oleh aparat penegak hukum (APH). “Pernah teman kita di Wates itu (wilayah Kecamatan Wates Kabupaten Blitar) dipanggil ,diinterogasi dan dipersoalkan oleh aparat penegak hukum,” tandasnya.
Menurut Mujib, harusnya petani didorong untuk bisa produktif, tidak hanya dalam budidaya tetapi kalau bisa hulu-hilir. “Kan begitu?” Bisa membuat pupuk organik, bisa mengolah tanah, lalu ketersediaan alsintan,” ujarnya.
Mujib menambahkan, perlunya petani tidak hanya bertani, kalau bisa ada kegiatan usaha. Bisa dari pupuknya, bisa dari alsintan. Dari pengolahan hasil produksi pertanian. “Tetapi faktanya seperti itu, lha ini kenapa di Indonesia seperti ini?” ujarnya bertanya.
Contoh kedua, lanjut Mujib, petani kalau beli solar ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) harus ada surat keterangan dari kepala desa. Itu pun hampir setiap bulan harus diregristasi, diupdate dan petani beli tidak boleh membeli untuk kebutuhan satu bulan.
“Kalau satu hari kebutuhan BBM solarnya 10 liter per hari membeli satu bulan atau satu minggu tidak boleh, belum lagi kalau stok solar di-SPBU habis, ini berpihak kepada siapa?” ujarnya bertanya.
Mujib menyebut, harusnya ada solusi masalah solar, dimana pemerintahan paling bawah yaitu pemerintah daerah yang merupakan perwakilan dari pemerintah pusat. “Daerah harusnya diberi kewenangan agar petani diberikan konpensasnsi, karena yang lebih berhak nelayan dan petani, agar apabila berangkat pagi untuk membajak sawah selalu tersedia BBM solar,” tandasnya.
Masalah lain, panjut Mujib, yaitu adanya peraturan tentang pengeboran sumur bor untuk petani harus melalui perizinan dari pemerintah pusat, “Adanya aturan yang baru ketika ngebur sumur harus ada izin, tidak hanya kepada pemerintah daerah dari Kabupaten Blitar tetapi izinya ke pusat, dan itu nanti disurvei, dan apabila izin disetujui ada masa tenggangnya. Kalau izin sudah diberikan untuk segera dikerjakan kalau molor, berarti izin itu hangus,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Mujib meminta di jajaran Forkopimda untuk digelar rapat koordinasi. Yaitu bagaimana bisa memberikan perlindungan pada petani-petani lokal. Misalkan membuat pupuk bisa dipasarkan di Kabupaten Blitar, tidak keluar dari Kabupaten Blitar tapi untuk lingkungan sendiri.
“Berilkan rangsangan kepada petani untuk menekan biaya produksi, di saat pupuk subsidi dikurangi, ayo pak! minta tolong kepada penegak hukum kejaksaan dan kepolisian, agar hal-hal seperti ini tidak terjadi,” pintanya.
Mujib juga menyoroti soal ketahanan pangan nasional. Harusnya bukan mencanangkan ketahanan pangan tetapi kemandirian pangan.
“Kalau bisa pangan untuk kebutuhan dalam negeri kita produksi di negeri sendiri, tetapi faktanya tidak seperti itu. Beras kita masih impor, jagung kita juga masih impor,” paparnya.