Kritik Ya Lal Wathon saat Sa’i, Tapi tak Didasari Ilmu. Ini Penjelasan Profesor dari Australia
Prof. Nadirsyah Hosen melalui akun twitter miliknya, memberikan komentar terhadap seorang yang menilai minor terhadap lantunan Ya Lal Wathon saat ibadah Sa’i yang viral di media sosial.
“Komentar @AzzamIzzulhaq ini bukan berdasarkan ilmu, hanya karena kebencian thd Banser dan NU. Dia tidak tahu Umar bin Khattab pun berdendang saat haji. Syi’ir dan nasyid pun dibolehkan saat haji & umrah. Ini penjelasan dari kitab Syarah al-Yaqut an-Nafis fi Mazhab Ibn Idris”.
Demikian komentar Guru Besar Ilmu Hukum Islam dari Universitas Monash, Australia.
Tentang kitab “Al-Yaqut An-Nafis” (الياقوت النفيس), berikut penjelasannya. “Yaqut” bermakna “safir/rubi”, yakni sejenis batu mulia yang tembus pandang dan berwarna biru atau kemerahan. “Nafis” bermakna “berharga”. Jadi “Al-Yaqut An-Nafis” secara bahasa bermakna safir/rubi yang berharga. Seakan-akan pengarang memaksudkan kandungan ilmu yang ditulis dalam kitab ini sangat berharga bagaikan batu mulia yang mahal harganya. Nama lengkap yang diberikan pengarang adalah ““Al-Yaqut An-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris”. Jadi, terlihat dari namanya, kitab ini sesungguhnya ditulis untuk menerangkan mazhab fikih imam Asy-Syafi’i. Ibnu Idris yang disebut dalam judul tersebut adalah Asy-Syafi’i, karena nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
“Al-Yaqut An-Nafis” dikarang oleh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, seorang ulama yang lahir di Tarim Hadhromaut tahun 1312 H. Beliau dipuji sebagai seorang ulama yang cerdas, lekas paham dan kritis.
Motivasi penulisan kitab ini adalah permintaan guru pengarang, Abdullah Asy-Syathiri yang sangat dihormatinya. Tujuan penulisannya adalah untuk memudahkan para santri yang ingin memahami mazhab Asy-Syafi’i dan juga memudahkan para guru yang mengajarkannya, sehingga tidak perlu mengarang “modul” sendiri yang membutuhkan kerja keras.
Sebagai kitab fikih mazhab Asy-Syafi’i, pengarang menulis kitab ini dalam bentuk “mukhtashor”. Melihat masa hidup Ahmad Asy-Syathiri yang berada pada abad ke 14 H, bisa dipahami bahwa kitab ini lahir setelah masa kematangan terakhir perkembangan mazhab Asy-Syafi’i. Dari sini, menjadi wajar jika nilai abstraksinya sangat tinggi dan mendapatkan perhatian serius dari ulama-ulama Syafi’iyyah. Bisa dikatakan kitab ini meringkas tahqiq-tahqiq ulama Asy-Syafi’iyyah muta-akkhirin sehingga dijadikan sebagai salah satu referensi penting kajian fikih mazhab Asy-Syafi’i.
Bahasa yang digunakan mudah dipahami dan dicerna. Tidak salah jika dikatakan “Al-Yaqut An-Nafis” adalah kitab yang berisi pembahasan fikih klasik tetapi dibahasa-ulangkan dengan bahasa kontemporer.
Sebelum memulai pembahasan topik-topik fikih, dalam muqoddimah, pengarang menjelaskan 10 dasar-dasar (principles) suatu bidang ilmu tertentu agar pelajar mana pun mendapatkan basis yang kokoh untuk menyerap ilmu secara maksimal dan menguasai aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Kesepuluh prinsip dasar itu adalah;
1. Al-Hadd/definisi (الحد)
2. Al-Maudhu’/subjek/topik (الموضوع)
3. Al-Fa-idah/manfaat (الفائدة)
4. Al-Masa-il/pokok persoalan/issues (المسائل)
5. Al-Ism/nama disiplin ilmu (الاسم)
6. Al-Istimdad/sumber disiplin ilmu (الاستمداد)
7. Hukmu Asy-syari’ fih/hukum syara’ terhadap displin ilmu (حكم الشارع فيه)
8. An-Nisbah Ila Sa-iri Al-Ulum/penisbatan suatu disiplin ilmu terhadap ilmu-ilmu yang lain (النسبة إلى سائر العلوم)
9. Al-Fadhlu/keutamaan suatu disiplin ilmu (الفضل), dan
10. Al-Wadhi’/penemu/pencipta/pelopor disiplin ilmu (الواضع)
Di antara ciri menonjol “Al-Yaqut An-Nafis” dibandingkan “mukhtashor” yang lain adalah perhatian khusus pengarang terhadap definisi-definisi istilah fikih pada awal pembahasan topik tertentu. Ahmad Asy-Syathiri selalu menjelaskan makna bahasa dan makna syar’i istilah-istilah fikih saat diperlukan. Umumnya kitab “matan/mukhtashor” tidak ada yang memberi perhatian definisi singkat seperti ini.
Susunan babnya bagus. Cara meletakkan bab-bab (“kutub”/chapters), subbab (“abwab”/sections), masa-il (subsections), dan “fushul” (subsubsection) menunjukkan pengarangnya memiliki pengetahuan mendalam terhadap bidang yang ditulisnya.
Perhatiannya terhadap cara pengorganisasian pemikiran fikih juga sangat bagus. Hal itu tampak pada perhatian pengarang yang sangat tinggi terhadap pembahasan “syuruth” (syarat-syarat), “arkan” (rukun-rukun), “wajibat” (hal-hal wajib), “mustahabbat” (hal-hal yang dianjurkan), “sunan” (sunnah-sunnah), “nawaqidh” (hal-hal yang membatalkan), dan “mubthilat” (hal-hal yang membuat batil). Orang yang membaca kitab fikih dengan cara penyajian seperti ini benar-benar akan dimudahkan untuk memahami topik fikih tertentu yang dipelajari dalam bentuk kerangka pemikiran yang utuh dan terkristal.
Kitab ini juga memiliki keistimewaan dalam mendeskripsikan kasus. Seringkali di akhir pembahasan dicantumkan contoh dan gambaran kasus yang sedang dibicarakan dengan mengatakan “washuurotu kadzaa an yaquula zaid…” Dengan cara ini, orang akan tahu bagaimana mempraktekkan sebuah muamalah syar’i yang memenuhi syarat dan rukunnya secara lengkap.
Segala kelebihan kitab “Al-Yaqut An-Nafis” di atas, disempurnakan dengan kerja murid pengarang yang bernama Salim Bukayyir. Beliau meluangkan waktu untuk memberi komentar ringkas baik berupa syarah singkat, “idhofat”, “taqyidat” dan lain-lain yang sangat membantu memahami isi kitab.
Pengaruh kitab ini cukup luas, terutama di negeri asal pengarang yakni Hadhromaut. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Tarim dan sekitarnya banyak yang menjadikan kitab ini sebagai kitab pegangan wajib bagi pemula yang belajar mazhab Asy-Syafi’i. (adi)