Kritik Sejarawan Unair untuk Kota Lama Surabaya: Sejarah Tidak Boleh Dilihat Hitam-Putih
Menjelang peresmian kawasan Kota Lama Surabaya yang digadang-gadang akan menjadi destinasi wisata baru di Kota Pahlawan, Sejarawan Universitas Airlangga Dr. Sarkawi B. Husain menyampaikan pandangannya, terkait peluncuran tempat wisata bernuansa sejarah tersebut.
Dirinya menyambut positif langkah Pemerintah Kota Surabaya untuk merevitalisasi gedung tua dan mencoba untuk menghidupkan kembali suasana tempo dulu di sana.
"Terus terang saya senang dan menyambut positif, daripada itu menjadi mangkrak menjadi gudang, tempat yang menyeramkan, jadi lebih baik dialihfungsikan menjadi tempat yang bermanfaat antara lain menjadi tempat wisata kota lama, dengan menjaga aspek histori supaya tidak hilang serta penataannya dibuat baik supaya tidak menyalahi aturan pengelolaan cagar budaya," ucapnya saat dijumpai Ngopibareng.id di Ruang Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Kamis 27 Juni 2024.
Walaupun inovasi Pemkot Surabaya itu disambut baik olehnya, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan dan harus diperhatikan.
Seperti nama-nama jalan di Kawasan Kota Lama, yang ditambahkan dengan juga dengan nama jalan seperti saat masa Kolonial Hindia-Belanda. Misalnya Jalan Jembatan Merah ditambah juga dengan nama Jalan Willemskade.
"Menurut saya itu terlalu berlebihan, jadi itu namanya chauvinistis dan seolah-olah menganggap masa lalu itu sesuatu yang baik luar biasa. Lebih baik ditambah saja plang yang menceritakan jalan itu, tahun sekian tempat itu misalnya jadi tempat perdagangan, mending dibuat itu seperti itu dibanding meromantisasi masa lalu," ungkapnya.
Kepala Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini juga mengkritisi kebijakan lainnya yang ditelurkan Pemkot Surabaya untuk menata Kawasan Kota Lama, yakni pembagian atau segregasi tempat itu berdasarkan ras seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, seperti Zona Eropa, Zona Pecinan, dan Zona Arab.
Menurut Sarkawi, penduduk yang tinggal di Zona Pecinan di masa kolonial lalu, yang identik dengan nuansa Tionghoa, tidak melulu adalah mereka yang memiliki ras Timur Asing saja.
Begitu juga dengan Zona Arab yang terbentang di sekitar kawasan Ampel, juga penduduknya tidak hanya mereka yang memiliki keturunan Arab saja.
"Menurut saya, harus ada penjelasan mengapa dahulu terdapat pembagian kawasan. Sejarah tidak boleh dilihat secara hitam putih, bahwa ada orang Melayu yang tinggal di zona Eropa juga dan menunjukkan bukti-bukti. Itu malah akan memberikan persepsi negatif kepada pengunjung kalau tidak ada penjelasan historisnya," tegas Sarkawi.
Pemerintah Kota Surabaya, lanjut Sarkawi, tidak boleh hanya mengejar kepentingan profit semata dari proyek revitalisasi Kawasan Kota Lama tersebut. Edukasi terhadap masyarakat dan para pengunjung yang datang ke sana harus dijadikan sebagai tujuan utama kawasan bersejarah itu dihidupkan lagi.
"Bukan hanya profit saja dan tentu semangatnya segregasi ini tidak boleh diulang dan tentu sangat buruk pada masa sekarang. Di masa itu, dalam tanda kutip wajar, karena pribumi berada di struktur paling bawah dan itu tidak boleh berlanjut sampai hari ini. Prinsip eksklusifitas itu harus dihilangkan dan jadikan sejarah sebagai sesuatu yang lebih kohesif untuk masyarakat," jelasnya.
Sarkawi juga berharap, Pemkot Surabaya tidak juga bersemangat di awal dalam menghidupkan kembali kawasan yang menjadi pusat peradaban Surabaya di masa lalu ini.
Menurutnya, pemerintah kota harus tetap bisa menjaga sustainability kawasan itu dan memperhatikan aspek-aspek non teknis, seperti rawannya keamanan dan parkir liar yang merajalela.
"Pemkot kita juga harus belajar ke Pemkot Semarang dalam menata kota lama dan mereka melibatkan konsultan yang mumpuni, seperti Pauline van Roosmalen. Kota Lama Surabaya juga unik tempatnya dan butuh usaha keras agar terjaga dengan baik, kalau tidak bisa dijaga dengan baik, ya nantinya hanya buang-buang duit saja," pungkasnya.
Advertisement