Kritik Pasemon Antologi 'Serat Plerok' Karya Yusuf Susilo Hartono
Komunitas Balai Pemuda Surabaya, Jumat lalu menggelar diskusi sastra secara daring. Fokus diskusi adalah membedah dan membahas geguritan karya Yusuf Susilo Hartono, wartawan, pelukis, penyair dan pegurit asal Bojonegoro yang mukim di Jakarta.
Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Setya Yuwana Sudikan, salah satu pembahas menilai puisi-puisi Jawa kontemporer dalam antologi “Serat Plerok” karya Yusuf Susilo Hartono mengandung kritik halus terhadap banyak hal. Kritik halus terhadap politik, etika dan kemerosotan moral, hidup yang memberhalakan kebendaan, dan sebagainya.
“Kritik secara halus dalam geguritan Yusuf tersebut, kalau meminjam istilah Goenawan Mohamad, merupakan kritik pasemon, sehingga tidak menimbulkan amarah,” tutur Yuwana yang juga Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jawa Timur
Bedah buku geguritan yang juga menampilkan peneliti sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo (Yogyakarta) dipandu dosen FBS- Unnes Semarang Ucik Fuadhiyah, ini mendapat perhatian medan sastra Jawa, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta hingga Jakarta, bahkan luar Jawa.
Di antara yang hadir, cendekiawan dan sastrawan Prof Budi Darma (Surabaya), Kepala Balai Bahasa Jatim yang baru Dr. Asrif , sastrawan dan wartawan Eka Budianta (Jakarta), dramawan Jose Rizal Manua (Jakarta), sastrawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Jaya Baya Widodo Basuki (Surabaya).
Menurut Yuwana, selain melakukan kritik, Yusuf dalam puisi-puisi Jawanya ini, juga melakukan dekonstruksi atau memberi pemaknaan ulang terhadap aksara Jawa Ha Na Ca Ra Ka. Baik dengan diksi yang bisa dipahami maknanya, maupun belum ada artinya dalam kamus. Hal yang disebut belakangan, mengingatkan pada puisi-puisi bahasa Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, meskipun proses dan dasar pikirnya berbeda.
“Geguritan-geguritan hasil perjalanan spiritualitas Yusuf ini terasa khas. Penggunaan metafornya khas dia, dan tidak ditemukan pada puisi Jawa lainnya,” tandasnya. Hal ini diharap dapat menginspirasi kalangan sastra, khususnya penyair-penyair muda dalam mencari kebaruan.
Ideolek Baru
Peneliti sastra Jawa Dhanu Priyo Prabowo dalam paparannya mengatakan, Serat Plerok ini upaya Yusuf mencari kebaruan, supaya sastra jawa agar tidak beku. Penggunaan diksi yang belum ada artinya, menurut mantan pegawai Balai Bahasa Yogyakarta, adalah upaya menyampaikan getaran jiwa dan ideolek baru.
“Bahasa dalam film fiksi ilmiah petualangan AS yang disutradarai James Cameron berjudul Avatar (2009), juga tidak bisa kita pahami. Itu juga ideolek baru,” katanya memberi contoh bandingan.
Kumpulan geguritan Yusuf sebelumnya berjudul “Ombak Wengi” (2011) meraih Hadiah Sastra Rancage 2012 dari Yayasan Rancage yang dikelola Ajip Rosidi (alm). Jika dibandingkan dengan “Serat Plerok” (2016), corak puisinya berbeda.
Dhanu Priyo Prabowo sependapat dengan Yuwana, bahwa karya-karyanya ini terkait dengan perjalanan spiritualitas pribadi. Alam bawah sadarnya menyuarakan kegelisahan, di antaranya tentang hilang dan kehilangan, baik dalam konteks berkebudayaan, maupun berbangsa.
“Dari 58 puisi yang ada, Yusuf 21 kali menggunakan kata “kelangan” atau kehilangan, dan 13 kali kata “ilang” atau hilang. Pengulangan ini tentu hal penting,” tandasnya. Misalnya “tembang kelangan tembung” atau nyanyian kehilangan kata," kata Dhanu.
Lalu bagaimana kalau kita, kehilangan kata-kata dalam kehidupan global ini? (ys)